Meneladani Kenegarawanan Nabi

Meneladani Kenegarawanan Nabi

Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar MA

 

MESKIPUN pemilu masih lama, suhu politik sudah mulai ramai, terutama di media-media sosial. Sebagai negara yang memiliki dasar negara Pancasila dan warganya dipadati umat beragama, terutama agama Islam, ada baiknya kita mengambil iktibar dan pembelajaran dari Nabi Muhammad SAW, yang bulan ini kita peringati kelahiran dan kewafatannya.

Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabiulawal dan juga wafat persis pada hari, tanggal, dan bulan yang sama. Jika kita mendalami kisah hidup Nabi Muhammad SAW, kita akan terkesan bahwa beliau hidup jauh melampaui zamannya. Gagasan dan sikapnya relevan untuk dicontoh sepanjang zaman dunia kemanusiaan. Bukan saja dalam urusan sosial keagamaan, melainkan juga dalam bidang politik kenegaraan.

Kita mengambil salah satu contoh ketika Nabi Hijrah ke Yatsrib kemudian kota ini diganti namanya menjadi Madinah (secara harfiah berarti ‘tempat berbudaya’) atas undangan dua komunitas suku utama, yaitu suku Aus dan suku Khazraj.

Kedua suku itu meminta Nabi untuk bermukim ke lingkungan suku mereka. Hampir saja terjadi konflik. Untungnya Nabi memberikan solusi bijak dengan mengatakan, kita putuskan berdasarkan unta ini. Di mana unta ini berhenti di situlah saya akan bermukim. Unta yang membawa Nabi dibawa berkeliling Kota Yatsrib dan akhirnya berhenti di suatu tempat yang kini menjadi masjid dan maqam Nabi. Kebetulan tempat itu persis berada di perbatasan geografis kedua etnik itu. Kebijakan Nabi ini mempunyai arti penting di dalam pembinaan masyarakat yang plural.

Di Madinah, Nabi melihat tanda-tanda membahayakan kalau para pengungsi dari berbagai daerah terus membanjiri kota ini yang daya dukungnya terbatas. Untuk mengantisipasi ketegangan antara kelompok, Nabi mengganti nama dengan kaum Anshar (penolong) untuk kelompok pribumi dan kaum Muhajirin (pengungsi) dari Mekah dan sekitarnya.

Nabi juga sejak dini menerapkan program yang populer dengan nama Al-Ikha’, program persaudaraan secara permanen antara kedua kaum, yaitu melakukan perkawinan silang. Para pemuda dan pemudi Anshar dikawinkan dengan pemuda dan pemudi Muhajirin. Akhirnya kedua kaum ini menjadi satu kesatuan utuh karena dipersatukan oleh anak dan cucu mereka.

Fenomena fanatisme suku dan perang saudara selalu menjadi pemandangan sehari-hari di kawasan ini. Program penggantian nama Yastrib menjadi Madinah dan program al-Ikha pun membuahkan hasil positif.

Yatsrib dalam salah satu teori diambil dari rumpun suku Atsiris di Mesir yang menyeberangi Laut Mati karena tidak tahan dengan kekejaman Fir’aun. Mereka mendiami wilayah tertentu dan diberi nama Yatsrib, yang mengesankan etnik pelarian, kemudian mencaplok tanah orang lain. Nabi memilih Madinah yang berarti kota atau tempat permanen (madany/sedentary), yang mirip artinya dengan hadharah (berperadaban).

Dengan begitu, hilanglah nama Yastrib yang memiliki beban sejarah dan sewaktu-waktu memicu konflik. Program al-ikha malah menjadi kebanggaan tersendiri karena perkawinan lintas suku jarang terjadi ketika itu.

Nabi sebagai negarawan tak terbantahkan. Ia sering mengambil kebijakan yang tidak populis, tetapi perfect untuk masa depan, seperti terlihat dalam Perjanjian Hudaibiyah yang monumental itu.

Nabi bersedia menerima tawaran kafir Quraisy yang meminta orang-orang mereka yang ditangkap di wilayah Madinah segera dikembalikan ke Mekah. Sebaliknya, orang Madinah yang ditangkap di Mekah dibiarkan ditahan di sana. Redaksi ganjil yang mencoret basmalah dan kata Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin Abdullah juga diterima Nabi.

Dalam sejarah kemanusiaan, tidak pernah ada tokoh sekaliber beliau. Pengakuan diberikan Michael H Hart dalam buku monumentalnya, The 100 A Ranking of The Most Influential Persons in History, yang menghimpun 100 tokoh terkemuka dan menempatkan Nabi Muhammad di urutan pertama. Thomas Carlyle membatasi lagi dengan hanya 11 tokoh terkemuka di muka bumi dan Nabi Muhammad tetap sebagai the best.

Marshall GS Hodgson dalam The Venture of Islam yang menelusuri sejarah Nabi Muhammad berpandangan serupa. Selain tentu saja kapasitasnya sebagai nabi dan rasul, disimpulkan kekuatan Muhammad sebagai the best leader sekaligus the best manager. Banyak tokoh hanya tampil sebagai pemimpin (leader), tetapi tak maksimal sebagai manajer.

Dalam kurun waktu hanya 23 tahun, Islam yang dibawa Nabi Muhammad membentang ke seluruh jazirah Arab, kemudian berpenetrasi ke belahan bagian timur yang saat itu di bawah protektorat Kerajaan Persia yang berpusat di Iran. Juga di dunia bagian barat, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Romawi-Byzantium yang sekarang Istanbul.

Nabi menjadi besar tanpa menimbulkan tragedi kemanusiaan. Nabi menjadi populer karena selalu mengedepankan aspek kemanusiaan di setiap perjuangannya. Semoga maulid Nabi yang selalu ramai diperingati di masyarakat kita membawa dampak positif untuk terwujudnya kesantunan politik dalam kehidupan berpolitik di Tanah Air. (zm)

 

Guru Besar UIN Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal. Artikelnya dimuat kolom opini Media Indonesia, Jumat 7 Oktober 2022, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/527990/meneladani-kenegarawanan-nabi