Menekan Ego Spiritual

Menekan Ego Spiritual

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Kata ego umumnya berkonotasi negatif walaupun disandarkan kepada urusan agama dan spiritual. Imam Al-Gazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din mengutip sebuah riwayat bahwa di suatu tempat ada seorang alim dan ahli ibadah yang semata-mata mencurahkan waktu dan pikirannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ia banyak mengasingkan diri dari keramaian untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi dosa dari orang-orang awam. Suatu ketika seorang pelacur mencari ulama untuk curhat dan sekaligus meminta nasihat bagaimana meninggalkan dunia hitam yang selama ini digelutinya.

Ia juga akan menanyakan masih adakah harapan Tuhan memaafkan dan menerima tobatnya setelah hidupnya malang melintang di tengah lumpur dosa.

Menanggapi keinginan tersebut, sang ahli ibadah menolak harapan perempuan nakal itu dengan mengatakan, “Aku tidak mau menodai diriku dengan berkomunikasi dengan orang kotor seperti itu.”

Mendengarkan cerita itu, Nabi mengatakan sang ahli ibadah itu penghuni neraka dan perempuan yang karena ketulusannya ingin bertobat adalah penghuni surga.

Kisah ini mengingatkan kita kepada QS Al-Ma'un, yang intinya menjelaskan kriteria kualitas keberagamaan seseorang tidak diukur dari banyaknya ibadah mahdhah yang dilakukan, tetapi ibadah sosial, seperti memperhatikan nasib fakir-miskin dan anak yatim-piatu.

Bahkan dalam surah itu juga dinyatakan celakalah bagi orang salat yang salatnya tidak membawa dampak sosial kemasyarakatan. Aktivitas ibadah dan spiritual yang dilakukan tanpa memedulikan lingkungan masyarakat di mana ia berada malah dikhawatirkan terjebak dengan apa yang disebut dengan ego spiritual.

Kekuatan ego tidak semata-mata bisa diukur berdasarkan ukuran-ukuran fisik, seperti keinginan kuat untuk memiliki jabatan atau kekayaan fisik lainnya, tetapi juga dalam bidang spiritual. Seringkali seseorang terlihat low profile, tetapi secara spiritual menyimpan sesuatu yang tercela di mata Tuhan.

Ego spiritual terjadi ketika orang-orang yang terlalu mengedepankan hubungan vertikalnya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingkungan masyarakat sekitarnya. Bahkan ia cenderung menghindarinya karena seolah-olah dirinya sudah tidak selevel dengan mereka. Ia mengklaim dirinya sebagai orang-orang kelas atas dalam dunia spiritual. Ia memilih-milih sahabat dan menghindari orang-orang yang justru memerlukan perhatian dan kasih sayang serta bimbingan.

Jika orang-orang ini dijauhi lantas mereka semakin jauh dengan Tuhan, sementara kita dengan asyiknya beribadah sendirian tanpa kehadiran mereka yang boleh jadi menyita waktu, tenaga, pikiran, dan materi, maka kita termasuk kategori ego spiritual.

Ego spiritual tak ada ubahnya dengan ego duniawi yang lebih menekankan ego individualitasnya. Orang-orang seperti inilah yang disebut di dalam Alquran tidak memiliki bekas-bekas sujud (atsar al-sujud). Bekas sujud dalam Alquran bukan dengan sengaja menghitamkan dahi di atas kening seperti dilakukan segelintir orang yang memahami secara tekstual ayat tadi. Atsar al-sujud ialah komitmen sosial yang tinggi dimiliki seseorang sebagai bagian dari penghayatan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya, termasuk juga dalam ego spiritual ialah menikmati pujian orang-orang yang mengaguminya lantaran banyaknya ibadah yang dilakukan. Mungkin ia melaksanakan puasa Senin-Kamis, salat-salat rawatib tidak ada yang ditinggalkan, dan zikirnya jalan terus, lalu memandang enteng orang lain yang tidak seperti dengannya.

Semua amal kebajikannya lebih banyak digunakan untuk mengaktualisasikan diri sehingga orang takjub dan menikmati pujian-pujian mereka. Hanya karena keterampilannya menggunakan topeng-topeng kepalsuan, ia tidak dipermalukan orang lain.

Sumber: Media Indonesia, Rabu 20 April 2022. (sm/mf)