Meneguhkan Kesetaraan Profesionalisme Pustakawan di Era Digital
Agus Rifai Ph.D.
Tanggal 7 Juli 2025 ditetapkan sebagai Hari Pustakawan Indonesia, sebuah tonggak penting yang menandai pengakuan negara terhadap peran strategis pustakawan dalam membangun masyarakat berbasis pengetahuan. Namun, di balik euforia peringatan ini, masih menyisakan satu persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian, yaitu tentang kesetaraan profesionalisme pustakawan di antara profesi lainnya, khususnya dalam lanskap digital yang terus berkembang.
Selama ini, pustakawan kerap diposisikan sebagai pelengkap dalam sistem pendidikan dan informasi. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pustakawan secara tegas diakui sebagai tenaga profesional yang memiliki kompetensi, kode etik, dan tanggung jawab sosial yang setara dengan profesi lain seperti guru, dosen, atau peneliti. Namun dalam praktiknya, pengakuan ini belum sepenuhnya terwujud dalam bentuk kebijakan afirmatif, penghargaan karier, maupun akses terhadap pelatihan dan pengembangan kompetensi digital.
Dikotomi tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan dalam regulasi sistem pendidikan kita juga telah menjadi bagian pemicu terjadinya dikotomis struktural yang menempatakan profesi pustakawan sebagai sub ordinat dari profesi lainnya. Alih-alih sebagai mitra, kehadiran pustakawan hanyalah menjadi pelengkap dalam sistem pendidikan.
Di era digital, tantangan yang dihadapi pustakawan semakin kompleks. Mereka tidak hanya dituntut untuk mengelola koleksi fisik, tetapi juga harus menguasai teknologi informasi, manajemen data, literasi digital, hingga kecerdasan buatan. Pustakawan kini menjadi information specialist dan pengajar literasi yang membantu masyarakat memilah informasi yang valid, menghindari disinformasi, dan mengakses sumber pengetahuan secara etis dan efisien. Peran ini sangat vital, terutama di tengah maraknya hoaks dan banjir informasi yang tidak terverifikasi.
Sayangnya, transformasi peran ini belum diiringi dengan transformasi struktural yang memadai. Banyak pustakawan di Indonesia masih menghadapi keterbatasan dalam hal akses pelatihan, jenjang karier yang stagnan, serta minimnya pengakuan sosial atas kontribusi mereka. Padahal, di negara-negara maju seperti Finlandia dan Korea Selatan, pustakawan diposisikan sebagai mitra strategis dalam pendidikan dan riset, dengan dukungan penuh dari negara dalam hal pengembangan profesional.
Informasi penting disajikan secara kronologis
Oleh karena itu, Hari Pustakawan Indonesia harus menjadi momentum untuk meneguhkan kesetaraan profesionalisme pustakawan. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang menjamin hak-hak profesional pustakawan, termasuk dalam hal sertifikasi, insentif, dan akses terhadap teknologi. Institusi pendidikan dan riset juga perlu membangun kemitraan yang setara dengan pustakawan, bukan sekadar menjadikan mereka pelengkap administratif, atau menjadikannya sebagai sub ordinatif dari profesional lainnya.
Lebih jauh, masyarakat pun perlu mengubah cara pandang terhadap profesi ini. Pustakawan bukan sekadar penjaga buku, melainkan penjaga peradaban. Mereka adalah jembatan antara pengetahuan dan masyarakat, antara data dan kebijaksanaan. Dalam dunia yang semakin digital, peran ini justru menjadi semakin penting dan tak tergantikan.
Kesetaraan profesionalisme bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal efektivitas. Bangsa yang ingin maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus menempatkan pustakawan sebagai bagian integral dari ekosistem inovasi. Tanpa itu, kita hanya akan membangun gedung perpustakaan yang megah, tetapi kosong dari semangat dan daya hidup pengetahuan. Oleh karena itu, di Hari Pustakawan Indonesia ini, pustakawan perlu meneguhkan kembali profesionalisme dalam melaksanakan tugas-tugas kepustakawanan, dan menunjukan karya inovatif nya, terutama dalam menghadapi tantangan digital.
Salam Satu Indonesia, Pustakawan Berjaya!
Penulis adalah Kepala UPT Perpustakaan/Pustakawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom opini Kumparan