Mencontoh Kenegarawan Nabi SAW (2)

Mencontoh Kenegarawan Nabi SAW (2)

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Fanatisme suku yang sewaktu-wak­tu menimbulkan perang saudara di samping peperangan yang secara ekster­nal melawan kaum kafir Quraisy, dis­elesaikan Nabi den­gan mengganti nama Yatsrib menjadi kita Madinah.

Yatsrib dalam salah satu teori diambil dari rumpun suku Atsiris di kawasan Mesir yang menyeberangi laut mati, karena tidak tahan dengan kekejaman Fir’aun, sehingga mereka mendiami suatu wilayah tertentu dan diberi nama Yatsrib, yang mengesankan etnik pelarian, kemudian mencaplok tanah orang lain.

Nabi pilih nama Madinah, yang berarti kota atau tempat permanen (madany/sedentary), yang agak mirip artinya dengan hadharah (berperada­ban). Dengan demikian, hilanglah nama Yastrib yang memiliki beban sejarah masa lampau yang amat berat dan sewaktu-waktu memicu konflik.

Kepiawaian Nabi sebagai nega­rawan seringkali terlihat dalam setiap kebijakan yang diambilnya. Seringkali ada kebijakan yang menentang atau ditentang oleh penduduk atau mayoritas tokoh, seperti terlihat dalam Perjanjian Hudaibiyah yang monumental itu.

Nabi bersedia menerima tawaran ka­fir Quraisy yang meminta orang-orang kafir Quraisy yang ditangkap di wilayah Madinah agar dilepas dan segera dikembalikan ke Mekkah. Sebaliknya, orang-orang Madinah yang ditangkap di Mekkah dibiarkan ditahan di sana.

Redaksi ganjil yang mencoret Basmalah dan kata Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin Abdullah, diterima Nabi. Semula diprotes para sahabat, tetapi akhirnya sahabat kagum dengan keputusan Nabi tersebut.

Sumber: rm.id. (mf)