Mencontoh Kenegarawan Nabi (1)
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal
Ketika Nabi Muhammad SAW Hijrah ke Yatsrib (kemudian diganti nama Madinah), atas undangan dua suku utama yaitu suku Aus dan suku Khazraj, kedua suku ini masing-masing meminta Nabi untuk bermukim ke lingkungan suku mereka. Hampir saja terjadi konflik gara-gara memerebutkan Nabi.
Untungnya, Nabi memberikan solusi dengan mengatakan, kita putuskan berdasarkan unta ini. Di mana unta ini berhenti di situlah saya akan bermukim. Unta yang membawa Nabi dibawa berkeliling kota Yatsrib dan akhirnya unta nabi berhenti di suatu tempat yang kini menjadi masjid dan maqam Nabi. Kebetulan tempat itu persis berada di perbatasan geografis kedua etnik itu. Subhanallah, perpecahan bisa terselesaikan.
Nabi melihat tanda-tanda membahayakan kalau para pengungsi dari berbagai daerah terus membanjiri kota Yatsrib yang daya dukungnya terbatas itu. Mengantisipasi ketegangan antara kelompok pengungsi dan pribumi, maka Nabi mengganti nama kelompok ini dengan kaum Anshar (Penolong) untuk kelompok pribumi dan kaum Muhajirin (Orang-orang yang hijrah) dari Mekkah dan sekitarnya.
Bukan itu saja, Nabi juga sejak dini menerapkan program yang popular dengan nama Al-Ikha’, program persaudaraan secara permanen antara kedua kaum, yaitu melakukan perkawinan silang. Para pemuda dan pemudi Anshar dikawinkan dengan para pemuda dan pemudi Muhajirin. Akhirnya kedua kaum ini menjadi satu kesatuan utuh karena dipersatukan oleh anak dan cucu mereka yang blasteran Anshar-Muhajirin.
Beberapa kali, Nabi tampil melerai ketegangan antar kabilah dan antar suku di kawasan Yatsrib dengan penuh kearifan. Mulai dari persoalan tanah, oase (wadi) yakni mata air di tengah padang pasir, sengketa perbatasan, sampai kepada pencurian atau pengambilalihan binatang ternak oleh para pihak.
Sumber: rm.id. (mf)