Mencermati RUU Sisdiknas (5)
Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jelas banyak kontroversi tentang proses penyusunan dan substansi RUU Sisdiknas dan dalam batas tertentu juga naskah akademisnya. Belakangan ini, publik tidak tahu lagi berbagai perkembangan naskah RUU Sisdiknas.
Memang masih ada beberapa kelompok terbatas yang mengkajinya, tetapi tidak jelas hasilnya—tidak terungkap ke publik.
Penulis Resonansi ini berterima kasih banyak kepada seorang kolega guru besar yang mengirim kajian pentingnya, membandingkan pasal demi pasal antara UU No 20 Tahun 2003 dengan RUU Sisdiknas.
Teman guru besar ini, menemukan banyak poin pokok amat mendasar dalam pendidikan nasional sesuai UU No 20 Tahun 2003 hilang dalam draf RUU Sisdiknas. Profesor pemikir pendidikan ini menyimpulkan, RUU Sisdiknas bukan ‘penyempurnaan’ UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Draf RUU Sisdiknas adalah reduksi luar biasa, bukan hanya dari sudut perundangan, melainkan juga dari substansi pendidikan. Juga bukan mengintegrasikan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pada dasarnya, kedua UU ini dibuang. Hanya sedikit norma kedua UU itu yang diambil. Karena itu, dia menyimpulkan, tidak ada urgensi merevisi UU No 20 Tahun 2003 atau mengajukan RUU Sisdiknas baru.
Sebaliknya, pendidikan nasional menjadi compang-camping jika RUU Sisdiknas dengan naskah akademisnya tidak direvisi menyeluruh.
Karena itu, publik dan semua pemangku kepentingan pendidikan nasional harus tetap mewaspadainya, apalagi jika draf RUU Sisdiknas berhasil masuk Prolegnas 2023 atau 2024. Selama ini, kritik dari lembaga dan ormas penyelenggara pendidikan swasta telah bersambut.
Banyak pemikir, praktisi, dan pengamat pendidikan mendukung kritik dan keberatan tersebut. Kritik kemudian juga datang dari lingkungan DPR, khususnya Komisi X yang menangani bidang pendidikan, yang tidak dikonsultasi dalam penyiapan RUU Sisdiknas dan naskah akademisnya. Bahkan, pada awalnya, pihak DPR tidak memiliki naskah keduanya.
Sejauh mana kritik itu diakomodasi BSKAP Kemendikbudristek? Kita tidak tahu pasti, yang jelas sejauh ini hampir tidak ada perbedaan antara draf I RUU Sisdiknas dan draf II. Semestinya, BSKAP bisa lebih terbuka pada publik untuk melakukan uji publik dan urun pendapat dalam penyempurnaan RUU Sisdiknas itu.
RUU Sisdiknas mengandung banyak kontradiksi, Misalnya, pada satu segi RUU itu mengurangi peran pemerintah dalam pendanaan pendidikan, dengan mengarahkan pendidikan ke arah ‘marketisasi’—atau liberalisasi pendidikan sesuai dinamika ‘market’.
Namun, pada saat yang sama, RUU ini menekankan peran pemerintah lebih besar dalam mengatur pendidikan. Dari segi ini, RUU pendidikan tidak selaras dengan ‘pembebasan’ atau ‘pemerdekaan’ pendidikan dari represi birokrasi pemerintah yang membelenggu dan menindas.
Dengan demikian slogan ‘merdeka belajar’ atau ‘kampus merdeka’ atau semacamnya hanyalah gimik.
Meski jelas para penyelenggara pendidkan swasta telah memainkan peran penting dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa sejak masa kolonial Belanda, penghargaan dan apresiasi pemerintah kepada mereka relatif tidak memadai.
Sampai akhir 1980-an, pemerintah sedikit banyak membantu pendidikan swasta dengan, misalnya menyediakan guru atau dosen yang diperbantukan dalam jumlah terbatas.
Namun selanjutnya, diskriminasi terhadap lembaga pendidikan swasta meningkat—dalam dua dasawarsa terakhir, misalnya semakin sedikit bantuan guru dan dosen untuk perguruan swasta yang sangat merugikan peserta didik yang notabene juga anak bangsa sepenuhnya.
RUU Sisdiknas bukan hanya diskriminatif terhadap penyelenggara pendidikan swasta dan lembaga pendidikannya, melainkan juga dalam kategorisasi sekolah penggerak dengan sekolah mandiri atau sekolah unggul dengan sekolah biasa.
Juga ada diskriminasi di antara delapan wilayah pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada tingkat pendidikan tinggi, diskriminasi ada di antara perguruan tinggi sejak yang tertinggi berupa PTNBH dengan PTN BLU, PTN Satker dan PTN Baru.
Draf RUU Sisdiknas beserta naskah akademisnya yang penuh cacat itu pastilah tidak terlalu dibutuhkan sekarang ini—pada masa pascapendemi Covid 19. Banyak pekerjaan penting lain yang mesti dikerjakan para penanggung jawab, pelaksana, penyelenggara, dan praktisi pendidikan untuk pemulihan pendidikan daripada merancang revisi UU yang cacat.
Apalagi, dalam pertemuan dengan Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) di Istana Merdeka (30/5), Presiden Jokowi mengakui tidak tahu ada proses perubahan UU Sisdiknas.
Presiden Jokowi menyatakan, akan memanggil Mendikbudristek Nadiem Makarim terkait hal krusial ini. Dengan pernyataan Presiden Jokowi ini, jelas Kemendikbudristek mesti membatalkan pengajuan draf RUU Sisdiknas; jika masih mau mengajukan, mestilah menempuh prosedur dan substansi yang benar.
Sumber: Resonansi Republika, 2 Juni 2022. (sam/mf)