Mencermati RUU Sisdiknas (4)

Mencermati RUU Sisdiknas (4)

Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sepanjang kontroversi di lingkungan publik dan pembahasan draf dalam uji publik RUU Sisdiknas, ada sejumlah substansi dan poin yang menjadi sasaran tajam dan keberatan banyak kalangan masyarakat.

Beberapa kritik, keberatan, dan masalah fundamental terkait draf RUU Sisdiknas: pertama, penyiapan draf yang tergesa-gesa tanpa melibatkan pemangku kepentingan; kedua, tiada penelitian komprehensif mengevaluasi pendidikan selama ini dan arah pembaruan serta pengembangan pendidikan ke depan.

Secara substansi, semua kritik dan keberatan itu dapat dikelompokkan menjadi: pertama, ketidakjelasan fisafat pendidikan; ketidakjelasan kerangka kurikulum di tengah eksplosi sumber ilmu dan pengetahuan; ketiga, peningkatan ‘marketisasi’ dan komodifikasi pendidikan; keempat, pengurangan peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai kebajikan publik (public good); kelima, kelemahan apresiasi dan dukungan pemerintah pada kontribusi dan peran masyarakat atau pihak swasta dalam penyediaan dan pemajuan pendidikan; keenam, ketiadaan nomenklatur satuan pendidikan, seperti sekolah dan madrasah.

Merespons berbagai kritik dan keberatan banyak ahli pendidikan, lembaga dan ormas penyelenggara pendidikan, masyarakat luas, kalangan BSKAP Kemendibudristek disebut-sebut memperbaiki draf (1) RUU Sisdiknas yang menghasilkan ‘draf kedua’. Tiada informasi bagaimana ‘draf kedua’ itu disiapkan tim BSKAP; tahu-tahu sudah ada saja secara terbatas.

Lagi-lagi naskah yang disebut ‘draf kedua’ tidak mudah diperoleh—tidak tersedia untuk publik. Penulis 'Resonansi' ini menemukan dua kolega yang memilikinya. Sejauh ini hanya satu kolega yang mengirimkan naskah RUU Sisdiknas, yang katanya revisi atau penyempurnaan draf pertama. Pada halaman pertama di bagian atas tertulis: "Rancangan Terbatas. Tidak Untuk Disebarluaskan".

Jadi, naskah RUU Sisdiknas draf I dan draf II tidak dimaksudkan untuk diketahui publik pemangku kepentingan agar bisa berpartisipasi. Padahal, pendidikan adalah hajat setiap warga negara.

Membandingkan kedua draf RUU Sisdiknas, penulis menemukan ‘naskah draf II’ lebih pendek—hanya 66 halaman (50 batang tubuh RUU dan 16 halaman ‘Penjelasan’). Perbedaan hanya karena ada banyak catatan pinggir atau catatan antarbaris pada naskah draf I dibersihkan. Sedangkan substansi tetap sama: terdiri atas keseluruhan 19 bab (21 bagian dengan 155 pasal).

Naskah ‘draf pertama’ terdiri atas 77 halaman (62 batang tubuh RUU dan 15 halaman ‘Penjelasan’ pasal per pasal RUU Sisdiknas). Penting ditegaskan, ‘Penjelasan’ bukan bagian integral RUU (atau UU); dan penjelasan yang ada dalam berbagai segi tak  banyak menjelaskan.

Sejauh ini tidak ada info atau gosip tentang revisi ‘Naskah Akademik RUU tentang Sisdiknas’. Mengingat tak ada beda draf I dengan draf II RUU Sisdiknas, Naskah Akademik 260 halaman bisa diduga tak berubah; enam bab dengan 18 subbab, mencakup: teori dan praktik pendidikan; hal ihwal penyusunan norma; praktik penyelenggaraan, kondisi dan masalah yang dihadapi masyarakat; implikasi penerapan sistem baru; analisis peraturan terkait; landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis; jangkauan, arah, ruang lingkup pengaturan; juga simpulan dan saran. Sistematika ini memperlihatkan, pembahasan tidak logis, runut, atau sekuensial.

Salah satu subjek yang menjadi pusat kontroversi terkait ketiadaan eksplisit nomenklatur satuan pendidikan—baik pendidikan umum (sekolah) maupun pendidikan Islam (madrasah, pesantren atau pondok). Padahal, dalam pasal-pasal tertentu istilah ‘satuan pendidikan’ digunakan tanpa menyebut nomenklatur satuan pendidikan, contohnya dalam Bab XII tentang Kurikulum dan Pembelajaran, misalnya Pasal 94 sampai Pasal 100.

Setali tiga uang, dalam naskah yang disebut ‘draf kedua’ RUU Sisdiknas juga tidak disebutkan sama sekali jenis entitas atau nomenklatur satuan pendidikan. Padahal, banyak protes keras dari berbagai kalangan publik. Dalam draf itu tidak ada nomenklatur satuan pendidikan, seperti TK atau raudhatul athfal/bustanul athfal, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK. Nama satuan pendidikan ini selain absen di batang tubuh RUU, juga tiada dalam Penjelasan. Kalaupun ada di Penjelasan, mesti ditolak karena Penjelasan bukanlah RUU (atau UU). Jadi, entitas atau nomenklatur satuan pendidikan wajib ada di batang tubuh RUU (atau UU).

Kepala BSKAP menyatakan, tidak disebutkannya entitas atau nama satuan pendidikan dalam draf RUU Sisdiknas "supaya lebih fleksibel dan dinamis". Menurut dia, penamaan satuan pendidikan cukup dilakukan di level kebijakan teknis.

Dalih ini mesti ditolak karena bisa kemudian menjadi dasar penghilangan aktual eksistensi satuan pendidikan, apakah sekolah atau madrasah. Juga berbahaya karena satuan pendidikan, seperti sekolah atau madrasah, bisa tidak dibiayai APBN/APBD jika tak disebut eksplisit dalam UU—sama seperti lembaga pendidikan surau, yang tidak didanai pemerintah karena nomenklaturnya tak ada dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Akibatnya, lembaga pendidikan surau harus mengadopsi nomenklatur ‘pesantren’ untuk mendapat pelayanan dan dana dari pemerintah.

Sumber: Resonansi Republika, 19 Mei 2022. (sam/mf)