Mencegah Kekerasan di Pesantren
Jejen Musfah
KEMATIAN santri sebuah pesantren di Jawa Timur belum lama ini menambah catatan kelam pendidikan keagamaan. Disayangkan karena pihak pesantren sempat menutupi penyebab kematian yang sebenarnya, yaitu kekerasan oleh senior ke yunior. Sebelumnya santri pesantren di Tangerang, Banten, juga meninggal karena kekerasan.
Perundungan di pesantren, baik verbal maupun fisik, yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, apalagi kematian harus menjadi perhatian bersama dan dicegah. Kekerasan antarsantri, senior-yunior, merupakan fenomena gunung es, hanya tampak yang di permukaan saja. Kasus kerap terjadi namun ditutupi atau tidak terekspose oleh media.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, pasal 3 dinyatakan, santri, selain diharapkan menjadi ahli ilmu agama juga berakhlak mulia. Artinya yang pertama dan utama adalah pembentukan karakter welas asih kepada para santri. Alasan mayoritas orangtua memasukan anak-anak mereka ke pesantren juga agar mereka menjadi orang yang berakhlak.
Tiga Faktor
Kekerasan di pesantren atau sekolah berasrama bisa terjadi karena pertama, kurang komitmen pada antiperundungan. Tidak ada orang atau divisi khusus yang bertugas mencegah perundungan. Pimpinan dan ustaz kurang atau jarang bicara tentang bahaya perundungan dan pentingnya mengembangkan sifat welas asih sesama santri.
Bisa jadi aturannya ada tapi dilupakan dan tidak ada orang yang bisa diminta laporan tentang tingkat atau fakta perundungan di pesantren. Aturan itu menjadi tidak efektif karena tidak ada yang menegakkannya. Komitmen pada antikekerasan penting seperti sebuah sekolah swasta di Depok yang menyebut sekolahnya sebagai “Sekolah Welas Asih”.
Kedua, pengawasan sangat lemah. Pengasuh santri tidak maksimal memonitor pergerakan dan aktivitas santri karena jumlah santri yang sangat banyak, dan banyak ruang-ruang di luar jangkauan mereka. Jumlah pengasuh tidak sebanding dengan jumlah santri, dan tidak ada kamera pengawas (CCTV) di pesantren. Santri melebihi kapasitas pesantren.
Kinerja pengasuhan tidak mudah sehingga membutuhkan orang yang berpendidikan khusus seperti Guru Bimbingan Konseling (BK). Intinya, pengasuh harus bisa melembutkan hati santri-santri yang keras, jiwa tidak stabil, suka kekerasan, dan menjadikan mereka santri baru yang memiliki sikap welas asih kepada sesama santri. Maka kekerasan bisa dicegah atau diminimalisir. Kompetensi dan komitmen pengasuh santri sangat penting untuk mencegah kekerasan di pesantren.
Ketiga, sanksi ringan atau tidak tegas. Seharusnya santri yang melakukan kekerasan diberhentikan dan dipulangkan ke keluarganya. Ini aturan yang harus dipahami santri dan orangtua sejak awal masuk pesantren. Sanksi ringan pelaku kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan di masa datang karena tidak ada efek jera bagi santri-santri lainnya.
Kerap kali justru santri yang dirundung yang harus meninggalkan pesantren karena trauma. Pesantren malah menutupi kasus-kasus kekerasan karena takut citranya buruk di mata masyarakat. Atau pesantren mementingkan kuantitas santri karena alasan ekonomi pesantren, atau benar-benar ingin memperbaiki akhlak santri pelaku perundungan?
Tanpa sanksi yang tegas dan berat, perundungan di pesantren akan terus berulang. Maka tugas orangtua juga semestinya adalah selalu mengingatkan anak-anak mereka agar welas asih terhadap teman-temannya di pesantren.
Orangtua tidak boleh melakukan kekerasan terhadap anak. Orangtua tidak boleh sepenuhnya pasrah kepada ustaz dan kiyai, lalu tidak memberikan nasihat-nasihat atau pendidikan kepada anak-anaknya.
Dukungan Semua Pihak
Pesantren sangat potensial terhadap kekerasan antarsantri sehingga yang dibutuhkan tidak hanya aturan selevel menteri atau pesantren tetapi dukungan pengasuh yang kompeten, pengawasan, evaluasi, dan penegakkan aturan yang semestinya. Komitmen pengawasan dan penegakkan aturan pesantren dijalankan oleh kiai.
Hal ini bukan berarti pesantren hanya mau mendidik santri-santri yang baik, tapi agar mereka belajar bertanggung jawab atas perbuatannya, dan memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi santri-santri lainnya. Peristiwa ini juga pelajaran bagi para orangtua bahwa mereka juga masih dibutuhkan sebagai pendidik utama anak-anak mereka.
Terakhir, kiai memiliki peran besar dalam pembentukan karakter santri. Hal ini diakui dalam UU Pesantren Pasal 9, bahwa kiai sebagai pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan pesantren.
Diharapkan kiai menaruh perhatian besar atas potensi kekerasan senior-yunior di pesantren sehingga selalu mendakwahkan pentingnya welas asih kepada para santri. Bahwa pesantren tidak menoleransi sikap kekerasan, bahkan andai baru niat sekalipun.
Pengasuhan, figur, dan keteladanan kiai diharapkan mampu meredam jiwa anarkis, dendam, dan pemarah santri tertentu yang sedang dalam fase pertumbuhan menjadi manusia dewasa. Bisa jadi jiwa santri yang buruk ini merupakan bawaan dari rumah atau pengaruh buruk lingkungan sebelumnya, atau mungkin juga ada kultur kekerasan di pesantren atau sekolah berasrama yang disadari atau tidak disadari.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a., Rasulullah SAW bersabda: ”Orang-orang yang berbelas kasih akan mendapatkan belas kasih dari (Allah) Yang Maha Pengasih. Karena itu, berbelas-kasihlah kepada setiap makhluk di bumi, niscaya “penduduk langit” akan mengasihimu.” (zm)
Penulis adalah Dosen Kebijakan Pendidikan Magister UIN Jakarta dan artikelnya Jum'at 23 September 2022. Artikelnya bisa dilihat pada: https://nasional.sindonews.com/read/893367/18/mencegah-kekerasan-di-pesantren-1663927750?showpage=all