Mencampuri Problem Internal Agama Lain

Mencampuri Problem Internal Agama Lain

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Hampir semua gama mempunyai problem internal. Salah satu hal yang sering mengganggu dalam kehidupan antar umat beragama ialah mencampuri problem internal agama orang lain. Sering kita jumpai orang-orang rajin mengomentari prob­lem internal agama orang lain yang terkesan memperparah keberadaan problem yang terjadi. Boleh jadi ia membela kelompok minoritas atas nama HAM atau atas nama keadilan, tetapi sesungguhnya malah mencipta­kan situasi makin tambah keruh.

Ibaratnya, seorang pengurus Parpol tertentu mengomentari problem internal yang terjadi pada Parpol lain juga di­anggap tidak etis. Sama dengan seorang Gubernur atau Bupati mengomentari kebijakan Gubernur atau Bupati lain juga dipandang kurang etis. Sebaik apapun tujuan seseorang yang sudah memiliki atribut sosial tertentu lalu mengomentari satu kelompok yang memiliki atribut lain tetap dianggap masalah. Pemerintah sekalipun tidak pada tempatnya mencampuri urusan internal rumah tangga orang lain.

Lain halnya kalau problem itu sudah merambah ke dunia publik, artinya sudah keluar dari koridor privat aga­manya, dan sudah bersentuhan dengan persoalan ketenteraman masyarakat umum, maka negara harus hadir di situ. Kalau bisa diupayakan, oknum pemerintah yang menangani kasus itu seagama atau sealiran dengan pihak-pihak yang berkonflik.

Jika berlainan agama agak riskan dicurigai para pihak yang bertikai di sana. Contoh kasus, penyerbuan kelompok teroris di salah­ satu kompleks masjid di Poso sempat menimbulkan persoalan lain, karena di antara oknum yang terlibat di dalam penyerbuan itu berasal dari agama lain. Jadi semua pihak harus memilki sense of sensitivity di dalam mengurai perso­alan keagamaan.

Sering terjadi se­orang aktifis LSM atau penggiat HAM tiba-tiba memberikan komentar terhadap sebuah isu atau problem internal dalam suatu agama, padahal yang bersangkutan penganut agama lain. Mungkin niat dan tujuannya bagus, tetapi dibaca oleh kedua kubu yang berseteru sebagai sesuatu yang tidak etis. Jangankan anggota masyarakat biasa, pemerintah atau neg­ara yang terlalu jauh ikut cawe-cawe dengan problem internal suatu agama juga dinilai salah. Bagaimapun setiap agama memiliki tokohnya masing-masing. Biarkanlah para tokoh agama yang bersangkutan menyelesaikan problemnya secara kekeluargaan.

Kadang-kadang seseorang tidak sadar mengomentari problem yang terjadi di dalam masyarakat, tetapi ternyata menimbulkan persoalan baru, karena dianggap mencampuri persoalan inter­nal. Lain halnya kalau para pihak yang bertikai bersama-sama menyepakati se­orang tokoh yang berbeda agama untuk ikut membantu menyelesaikan problem internal suatu agama.

Penulis masih ingat almarhum Gusdur yang sering diminta menyelesaikan berbagai konflik internal yang terjadi di dalam agama lain di luar agama Islam yang dianut Gusdur, dan hasilnya selesai secara memuaskan para pihak.

Demikian pula, sejumlah persoalan dalam lingkungan umat Islam diselesaikan oleh seorang tokoh non-muslim di suatu daerah, terutama di daerah dimana komunitas muslim minoritas di wilayah tersebut.

Jika seseorang dari kelompok agama lain dengan sengaja berkontribusi terhadap perpecahan penganut agama atau aliran tertentu, entah caranya sep­erti apa, maka itu dapat dikategorikan Religious-Hate Speech (RHS) karena ikut “memanas-manasi” ketegangan in­ternal.

Sebaiknya semua pihak menahan diri untuk tidak gampang memberikan komentar terhadap problem internal keagamaan di luar agama yang dianut­nya, sebab itu bisa menimbulkan persoalan baru. Mungkin persoalan internal­nya sudah selesai tetapi pernyataan sang pengamat belum selelsai karena diang­gap memiliki kepentingan lain.

Sumber: rm.id. (mf)