MEMINTA HIKMAH

MEMINTA HIKMAH

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Pascasarjana KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Allah SWT berfirman, “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam kelompok orang yang saleh” (QS. al-Syu’ara/ 26: 83).Ayat ini adalah doa Nabi Ibrahim. Selanjutnya beliau memohon, “Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. Dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan. Dan apunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat. Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. al-Syu’ara/ 26: 84-89). Sungguh mulia Nabi Ibrahim yang rendah hati dan masih saja merasa punya salah.

Padahal semasa hidupnya, Nabi Ibrahim tidak pernah berbuat salah, kecuali tiga kali berdusta. Pertama, seperti ditulis dalam hadits Imam Bukari dan Imam Muslim dan terekam dalam al-Qur’an, “Kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya aku sakit” (QS. al-Shaffat/37:89). Kedua, seperti perkataan Ibrahim dalam surat al-Anbiya/21 ayat 63, “Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang paling besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Terakhir, Nabi Ibrahim berdusta tentang Sarah. Sarah diminta tidak mengaku sebagai isterinya. Hal ini terkait kedatangan mereka ke suatu negeri yang dipimpin raja yang kejam. Tujuannya, agar raja itu tidak mengambil Sarah.

Terkait doa Nabi Ibrahim di atas, sebagian ulama menafsirkan kata hikmah adalah ilmu. Sementara, Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir menyebutnya dengan perbuatan yang sempura. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Munir memaknainya sebagai pemahaman dan pengetahuan terhadap suatu kebaikan dan mengamalkannya. Jadi bagi Wahbah al-Zuhaili, makna doa Ibrahim itu adalah “Wahai Tuhanku anugerahkanlah ilmu, pemahaman, dan pengetahuan yang bisa menerangi hatiku agar dapat mengenal sifat-sifat-Mu, dan mengetahui mana yang benar dan salah untuk menjadi pedoman dalam langkah hidupku”. Sungguh, Allah telah menjawab doa Nabi Ibrahim di atas.

Inilah jawaban Allah, “Dan kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak, dan Ya’kub, dan Kami jadikan kenabian dan kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang yang saleh” (QS. al-Ankabut/29: 27). Jadi, secara umum, manakala seseorang berdoa dengan doa di atas, Allah juga akan merespons dan akan memasukkannya menjadi bagian dari orang saleh di dunia dan di akhirat. Makna orang saleh dalam ayat di atas, menurut Syaikh Nawawi, adalah para nabi dan rasul. Yakni golongan yang mendapat derajat yang tinggi di surga. “Kumpulkanlah aku bersama para nabi dan rasul di surga”, demikian tulis Syaikh Nawawi.

Dengan begitu, kendati tidak menjadi nabi, dengan berdoa seseorang dapat dianugerahi sifat dan para perbuatan para nabi. “Ya Allah anugerahilah aku pemahaman para nabi, kuatnya hapalan para rasul, dan beri aku ilham seperti malaikat yang senanatiasa dekat dengan-Mu. Ya Allah Yang Maha Pengasih dari Yang Pengasih”. Ilham adalah pengetahuan yang didapat bukan melaui pikiran namun Allah bisikkan ke dalam hati hamba yang dicintai-Nya. Allah berfirman, “….Bertakwalah kepada Allah, (maka) Allah mengajarmu …” (QS. al-Baqarah/2: 282). Dalam hadits Imam Ahmad Nabi SAW bersabda, “Barang siapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan ilmu yang belum ia ketahui”.

Terkait rangkaian doa Nabi Ibrahim di atas, menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, semuanya tidak ada yang terkait dengan kenikmatan dunia, bahkan tidak untuk kesehatan jasmani. Sungguh, doa itu mengarah kepada ufuk yang lebih tinggi yang digerakkan oleh perasaan yang suci. Doa di atas adalah doa yang keluar dari hati yang mengenal Allah sehingga Nabi Ibrahim tidak meminta yang lainnya kepada Allah. Doa itu adalah refleksi hati yang telah merasakan kenikmatan sehingga Nabi Ibrahim meminta tambahan kenikmatan lainnya. Doa itu juga meluncur dari hati yang penuh harap dan khawatir. Karena itu Nabi Ibrahim pertama-tama meminta, “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah (ilmu)”. Bukan yang lainnya.

Dalam ayat lainnya, terdapat sejumlah kata hikmah yang bisa dipahami sebagai ilmu dan pengetahuan. Misalnya, Allah berfirman, “…Sungguh Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaaan (kekuasaan) yang besar” (QS. al-Nisa/4: 54). Begitu juga, “Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Daud membunuh Jalut. Kemudian, Allah memberinya (Daud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki …” (QS. al-Baqarah/2: 251). Dalam surat Shad/38 ayat 20, Allah berfirman, “Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan hikmah kepadanya serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara”.

Kedua, Nabi Ibrahim meminta “Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian” (QS. al-Syu’ara/ 26: 84). Doa ini, menurut Sayyid Quthb, dilantunkan karena didorong oleh keinginan untuk dikenang, bukan dengan keturunan tapi dengan akidah. Dengan kata lain, Nabi Ibrahim meminta agar dijadikan orang yang menjadi buah tutur tentang orang yang berdakwah kepada seluruh manusia untuk memegang kebenaran dan mengembalikan mereka kepada agama yang hanif, toleran, dan memihak kepada kebenaran. Buah tutur yang baik dalam doa itu, menurut Syaikh Nawawi, juga adalah kemuliaan yang indah yang terus diingat hingga hari kiamat.

Ketiga, Nabi Ibrahim meminta, “Dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan” (QS. al-Syu’ara/ 26: 85). Lagi-lagi yang beliau minta kepada Allah adalah kenikmatan akhirat (surga) yang tidak ada tara. Tentang kenikmatan surga, Allah berfirman, “Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat tinggi di surga) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (QS. al-Sajdah/32:17). Dalam hadits qudsi Nabi SAW bersabda seperti ditulis Imam Bukari dan Imam Muslim, “Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas dalam hati manusia”.

Keempat, Nabi Ibrahim meminta, “Dan apunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat” (QS. al-Syu’ara/ 26: 86). Tentang ayahnya ini, Allah memuji sikap Nabi Ibrahim, seperti firman-Nya, “Tatkala jelas Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari ayahnya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang lembut hati dan penyantun” (QS. al-Taubah/9: 114). Dalam episode ini, Nabi Ibrahim tentu merasa bersedih, seperti Nabi SAW yang berdoa untuk paman beliau, lalu Allah SWT merespons, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki …(QS.al Qashash/28: 56).

Terakhir, Nabi Ibrahim berdoa, “Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan” (QS. al-Syu’ara/ 26: 87). Lagi-lagi Nabi Ibrahim dalam doa ini yang diminta adalah terkait kemuliaan kehidupan setelah kematian. (sam/mf)