Memilih Pemimpin

Memilih Pemimpin

oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah mengatakan bahwa kepimpinan itu adalah satu tema yang terkait dengan menggantikan kepemimpinan Nabi SAW. Fungsinya adalah menjaga agama dan mengatur negara. Karena itu, seperti kata Imam al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad, agama dan negara seperti saudara kembar. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Urusan agama dapat ditegakkan manakala terdapat keteraturan negara. Begitu juga urusan negara baru dapat ditegakkan manakala ajaran agama diamalkan. Keteraturan negara itu sendiri bergantung kepada pemimpin yang ditaati. Indikasi keteraturan agama dengan ilmu pengetahuan dan ibadah. Keduanya tidak dapat terwujud kalau badan tidak sehat, hidup tidak tenteram, dan pakaian, tempat tinggal dan keamanan tidak terjamin. Kalau waktu dihabiskan hanya untuk melindungi diri dari ancaman pedang, hanya untuk mencari makan, tentu tidak ada waktu lagi untuk mencari ilmu dan ibadah. Bila demikian kebahagiaan akhirat tidak akan terwujud. Ketenteraman negara dan keselamatan harta dan jiwa hanya dapat diraih dengan adanya pemimpin yang ditaati. Berbagai tindak anarkis pada saat terjadinya pembunuhan seorang khalifah menjadi indikasinya. Jika kerusuhan tersebut terus-menerus terjadi, sedangkan yang pemimpin ditaati rakyat tidak kunjung diangkat, maka kekacauan bisa dipastikan kian menjadi, pedang berbicara, kelaparan merajalela, hewan dan ternak turut jadi korbannya. Antar-kekuatan bisa dipastikan saling merobohkan dan begitu selanjutnya.

Dalam konteks seperti di ataslah, kiranya biasa dipahami pernyataan al-Ghazali bahwa agama dan penguasa adalah saudara kembar. Jadi, kata al-Ghazali, kebutuhan akan seorang pemimpin yang ditaati adalah sesuatu yang bersifat eksistensial yang tidak dapat disangkal. Dan hal itu menjadi formula bagi upaya untuk mempersatukan rakyat dengan berjuta keinginan dan cita-cita yang berbeda. Pilihannya, kata al-Ghazali, jika tidak ada pemimpin yang ditaati negara akan hancur, agama akan runtuh dan kekuasaan akan sia-sia.

Untuk menjaga agama dan mengatur negara, tulis al-Mawardi, bagi masyarakat yang tinggal di suatu wilayah negara dan kekuasaan tertentu, wajib hukumnya memilih seorang pemimpin berdasar ijmak ulama. Jadi, ulama manapun di kolong langit ini tidak merekomendasikan kepada siapapun untuk memilih tidak memilih (golput). Memilih untuk tidak memilih bukanlah pilihan. Dalam konteks pemilu di Indonesia, harus dikompromikan antara idealitas ajaran agama dengan realitas empirik negara.

Al-Ghazali dalam Fadhaih al-Bathniyiah mengajukan sejumlah kualitas dalam diri seorang pemimpin. Ia harus laki-laki dewasa, berakal sehat, sehat pendengaran dan pengelihatan, merdeka, punya kekuasaan nyata (al-nadjat), memiliki kemampuan (kifayat).

Lalu wara’ yang diartikan menjalankan ajaran dan moral Islam sebaik-baiknya. Najdat secara lebih luas adalah kepala negara yang memiliki perangkat pemerintahan lengkap dengan aparat militer. Kekuatan militer penting untuk melindungi rakyat dan membasmi pemberontak dari dalam negeri.

Sedangkan kifayat adalah kemampuan berpikir dan mengelola negara serta kesediaan bermusyawarah, sebagai sarana untuk menerima kritik dari orang lain agar terhindar dari seni memerintah yang otoriter dan berlaku tiran. Sebab pada pemerintahan apapun dan di manapun, di mana agama dijadikan simbol perekat dan legitimasi kekuasaan, problem-problem moral kekuasaan akan tetap ada. Kekuasaan di manapun punya kecenderungan destruktif, korup. Dan kekuasaan yang absolut bahkan korup juga secara mutlak.

Secara lebih terperinci tentang syarat kifayat, menurut al-Ghazali, adalah bahwa secara fungsional, makna manusia sebagai wakil Tuhan bagi makhluk-Nya bisa diinterpretasikan sebagai peluang untuk memperbaiki dan membangun manusia. Orang yang tidak mampu membangun manusia di dunia ini, bisa dipastikan tidak mampu memperbaiki warga negaranya.

Orang yang tidak mampu membangun warga negaranya bisa dipastikan tidak mampu membangun rumah tangganya. Itu artinya, orang yang tidak kuat membangun rumah tangganya adalah orang yang tidak mampu memperbaiki dirinya sendiri. Orang yang tidak kuat memperbaiki dirinya sendiri, maka haruslah memulai untuk memperbaiki hatinya dan mengendalikan nafsu. Adapun orang yang tidak mampu membangun dirinya sendiri sedangkan keinginannya sangat besar untuk membangun orang lain, itu adalah menipu diri. Jadi, seorang pemimpin adalah perpaduan segalanya: fisik-psikis dan lahir-batin.*(sam/mf)