Memelihara Rasa Optimisme
Prof. KH. DR. Nasaruddin Umar
Para jemaah haji seniscayanya memelihara optimisme, kalau perlu menjadi contoh di dalam masyarakat tentang sikap optimisme. Rasa optimisme sangat diidealkan di dalam Al-Qur’an. Lukman pernah memberikan nasehat kepada putranya:
"Wahai anakku, gantungkanlah harapanmu kepada Allah dengan harapan yang tidak membuat kamu merasa aman dari siksaan. Takutlah karena Allah dengan rasa takut yang tidak menjerumuskan kamu untuk putus asa dari rahmat Allah, sebab orang mukmin itu mempunyai dua hati; satu hati yang mengharap dan satu hati lagi yang merasa takut. Janganlah putus asa, sebab Tuhan Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. Janganlah berangkat tanpa perlengkapan, sebab dalam perjalanan ada hal ketakutan yang dikhawatirkan.
Lukman mengutip firman Allah SWT,: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Zumar/39: 53).
Optimisme yang kadang juga diistilahkan dengan pengharapan (raja’) memiliki beberapa makna. Bisa berari harapan, angan-angan, dan bisa juga berarti takut. Raja’ dalam arti harapan, yakni rasa optimisme seorang hamba setelah melakukan berbagai ketaatan dan secara maksimal telah berusaha menghindarkan diri dari segala larangan. Harapan seperti ini adalah harapan yang terpuji sebagaimana ayat disebutkan di atas.
Ada juga harapan dalam arti angan-angan, yang dalam bahasa Arab biasa diistilahkan dengan al-tamanna, konotasinya negatif. Al-tamanna hanya menghabiskan waktu untuk mengkhayal dan berangan-angan tanpa diiringi usaha yang konkret. Nabi menecla orang-orang yang suka memanjangkan angan-angan dan banyak mengkhayal, sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan atas umatku adalah mengumbar hawa nafsu dan panjang harapan. Mengumbar hawa nafsu akan menutupi kebenaran dan panjang harapan akan melupakan akhirat”.
Dalam hadis lain disebutkan “Aku ada sebagaimana dalam prasangka hamba-Ku, Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, Aku mengingatnya dalam Diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di tengah kumpulan orang banya, maka Aku mengingatnya dalam kumpulan orang banyak yang lebih baik dari itu. Jika ia mendekati-Ku sejarak satu jengkal, Aku mendekatinya sejarak satu hasta. Jika ia mendekati-Ku sejarak satu hasta, Aku mendekatinya sejarak sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku datang kepadanya dengan berlari.”
Raaja’ bisa juga berarti takut, seperti firman Allah SWT: “Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? (QS. Nuh/71: 13). Menurut kalangan ahli tasawuf, pengharapan ialah menggantungkan hati pada sesuatu yang dicintai agar terjadi di masa yang akan datang.
Raja’ diartikan dengan kepercayaan atas kemurahan Yang Maha Pemurah, mendekatkan hati kepada kemahalembutan Tuhan, menyenangkan hati dengan adanya janji baik, atau hidupnya hati dengan penuh harapan.
Raja’ dalam tulisan ini lebih ditekankan kepada makna pandangan keluasan rahmat Allah SWT. Optimisme tidak akan terwujud tanpa disertai rasa takut, sebagaimana rasa takut juga tak akan terwujud tanpa disertai harapan.
Ibarat sepasang sayap, keduanya tak dapat dipisahkan, harapan tanpa rasa takut, akan hilang esensinya. Rasa takut tanpa harapan, esensinya akan terbengkalai dan melahirkan sikap putus asa dari rahmat Allah.
Oleh karena itulah, sebagian ahli hakekat mengatakan, rasa takut dan harapan adalah seperti sepasang suami isteri, salah satu pihak tak berguna tanpa kerja sama antarkeduanya.
Jika diumpamakan sepasang sayap, jika keduanya seirama dan berfungsi normal maka burung akan terbang dengan seimbang. Jika salah satu sayapnya berat, maka terbangnya akan mengalami gangguan. Jika kedua sayapnya hilang, maka burung itu akan jatuh dan jadilah seperti bangkai. Idealnya jika kita merasa perfect, ketaatan sudah dipenuhi dan perbuatan dosa sudah dijauhi maka mood seseorang wajar merasa optimis berharap dengan penuh optimisme.
Sebaliknya ketaatan belum tuntas dan dosa pun dikoleksi, maka wajar jika mood yang bersangkutan merasa takut (khauf). Jangan sampai terbalik, ada orang merasa raja’ sementara ia berlepotan dosa dan maksiat, dan ibadahnya pun kurang.
Sebaliknya jangan juga terus menerus merasa takut sekalipun sudah mengamalkan ajaran agamanya secara sempurna dan sudah lama meninggalkan dunia dosa dan maksiat. Keseimbangan antara keduanya menentukan sukses tidaknya seseorang mengemban amanah sebagai hamba (‘ábid) dan sebagai khalifah di bumi. (tangselpos/zm)
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal. Artikelnya dimuat Tangsel Pos, Jumat 5 Agustus 2022, dan bisa diakses di https://tangselpos.id/detail/2066/memelihara-rasa-optimisme.