Membincang Capres di Alma Ata
Prof. Dr. Azyumardi Azra CBE MA
Perbincangan tentang calon presiden (capres) yang akan bertarung dalam pemilu presiden (dijadwalkan 14 Februari 2024) mengalami eskalasi sejak akhir 2021. Beberapa nama yang digadang-gadang sebagai capres juga sudah tampil ke depan publik.
Tingkat popularitas dan elektabilitas masing-masing juga turun naik—sering bergantung dari lembaga survei yang melakukan jajak pendapat.
Juga pernah terjadi kehebohan terkait isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi selama tiga tahun ke depan misalnya. Ada pula isu dan kontroversi tentang usul dan manuver melakukan amendemen UUD 1945.
Alasan pokoknya, memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Namun, manuver ini ditolak banyak kalangan karena amendemen bisa seperti membuka kotak Pandora atau sekadar pintu untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden-wakil presiden, yang disebut maksimal dua kali menjadi tiga kali atau lebih.
Kini wacana terbuka di kalangan publik tentang penundaan Pemilu 14 Februari 2024, perpanjangan masa jabatan presiden atau amendemen UUD 1945 surut—pimpinan MPR menegaskan, tidak ada amendemen UUD 1945 dalam periode MPR sekarang.
Walhasil, kegaduhan terkait soal ini juga berhenti—menciptakan situasi politik dan sosial lebih kondusif. Meski demikian, perbincangan tentang sosok-sosok yang diprediksi banyak kalangan bakal maju sebagai capres tetap berlangsung.
Berbagai lembaga survei dan polling baru dengan nama agak ganjil juga terus muncul, merilis ‘survei’ atau ‘jajak pendapat’ yang indikatif bisa menimbulkan keraguan di banyak kalangan publik.
Penulis Resonansi ini sering juga terlibat dalam perbincangan tentang Pemilu (Pilpres dan Pileg) 14 Februari 2024 dan Pilkada 27 November 2024. Perbincangan terakhir bertajuk ‘Dialog Kebangsaan: Memilih Pemimpin yang Bersih dan Tangguh di Tahun 2024'.
Berupa talk show yang dilaksanakan Universitas Alma Ata, Yogyakarta (18 Juli 2022). Narasumbernya KH Ahmad Mustofa Bisri, pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Tholibin yang juga budayawan, dan penulis Resonansi ini.
Perbincangan di Universitas Alma Ata istimewa karena diadakan di auditorium Hadhratus Syaikh Hasyim Asyari, lantai 9 Menara al-Musthofa yang diresmikan pemakaiannya sebelum Dialog Kebangsaan dimulai.
Menara megah ini membanggakan karena seperti dijelaskan Rektor Profesor Hamam Hadi, dibangun secara swadaya. Menara ini juga simbol kemajuan pendidikan tinggi Islam yang mencakup Universitas Alma Ata yang resmi berdiri relatif belum lama, 21 Desember 2015.
Dengan begitu, membincang calon pemimpin nasional sekaligus merayakan Universitas Alma Ata. Dialog Kebangsaan dihadiri sekitar 60 rektor perguruan tinggi NU dari berbagai kota Tanah Air, yang kemudian mengadakan pertemuan seusai dialog.
Selain itu, hadir cukup banyak rektor PTN dan PTS lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai kisi-kisi yang disampaikan Rektor Hamam Hadi, perbincangan banyak membahas tantangan (calon) presiden RI ke depan.
Tercakup dalam tantangan itu adalah korupsi yang tampak tetap meluas, sementara KPK tampak tidak bisa berbuat banyak.
Oligarki kian mencengkeram kekuasaan, baik di tingkat nasional maupun lokal; sangat boleh jadi kebanyakan pemilih tidak menyadari betul dampak dan bahaya oligarki politik dan oligarki bisnis terhadap kehidupan kebangsaan.
Pada segi lain, pemahaman dan praksis umat Islam sebagai blok pemilih terbesar belum mantap dan mapan. Akibatnya, umat cenderung terkotak-kotak ke dalam berbagai kubu politik yang bertentangan.
Tidak jarang, di antara satu kelompok umat dengan kelompok lain terlibat dalam penggunaan sebutan (name calling) bernada peyoratif dan merendahkan.
Menuju Pemilu dan Pilkada 2024, sepatutnya seluruh umat Islam lebih mengedepankan prinsip wasathiyah, seperti tawasuth, tawazun, i’tidal, tasamuh, islah, dan muwathanah sesama anak bangsa.
Jika umat-bangsa menyadari berbagai tantangan yang dihadapi (calon) presiden ke depan dan berusaha melakukan pilihan dalam pemilu dengan pertimbangan rasional, “selebihnya adalah takdir”, ujar Gus Mus.
Penulis Resonansi ini mengamini pandangan tersebut: kemunculan dan keterpilihan kepemimpinan nasional tidak hanya terkait usaha keras menyangkut popularitas dan elektabilitas, akhirnya juga berhubungan dengan ‘garis tangan’—percaya atau tidak.
Dialog Kebangsaan menyangkut tanggung jawab dan tantangan negara-bangsa Indonesia ke depan, khususnya kepemimpinan nasional, jelas sangat penting untuk menumbuhkan dan memperkuat literasi politik di lingkungan civitas academica.
Kampus seperti Universitas Alma Ata, pastilah memiliki tugas pokok memajukan kualitas pendidikan tinggi.
Namun, pada saat yang sama mesti menunjukkan perhatian dan kepedulian pada tugas dan amanat kebangsaan, untuk berdiri terdepan membangun Indonesia yang lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan. (Republika/zm)
Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom Resonansi REPUBLIKA, Kamis 28 Juli 2022. Lihat https://www.republika.id/posts/30348/membincang-capres-di-alma-ata