Membendung Oligarki

Membendung Oligarki

Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Fakultas Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Meningkatnya oligarki merupakan salah satu fenomena paling menonjol di tengah perkembangan politik Indonesia beberapa tahun terakhir. Peningkatan oligarki sering disebut banyak lembaga dan pengamat politik Indonesia salah satu indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia. Oligarki terus meningkat dengan menguatnya koalisi politik gemuk di DPR. Koalisi besar pemerintah, yakni F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PKB, F-Gerindra, F-PPP, dan F-PAN, dapat melakukan banyak langkah politik. Dua fraksi sisanya, F-PKS dan F-Partai Demokrat, hampir tak berdaya membendungnya.

Meningkatnya oligarki yang hampir tidak terbendung terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik puncak dan elite politik di eksekutif dan legislatif. Mereka yang bisa disebut “oligark” (oligarch) politik sering mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dilingkaran mereka sendiri, tanpa sevara signifikan melibatkan warga yang diwakili masyarakat madani, serikat profesi, ormas, LSM.

Kenyataan ini jelas terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak UU KPK dan UU minerba direvisi serta pengajuan RUU cipta kerja yang disusun dengan metode omnibus law. Perubahan dan pengesahan semua UU itu ditentukan oligarki eksekutif dan legislatif, tanpa melibatkan publik secara signifikan. Dalam gugatan masyarakat sipil terhadap UU tersebut, oligarki politik didukung lembaga yudikatif (MK dan MA).

Fenomena pertumbuhan oligarki politik di Indonesia dalam segi tertentu berbeda denga oligarki dibeberapa negara lain. Menurut “oligarchy Countries” (2021), daftar negara oligarki mencakup 11 negara antara lain, China, Rusia, dan Amerika Serikat. Oligarki di negara-negara ini terbentuk di antara oligarki ekonomi-finansial, yaitu orang sangat kaya (superrich) atua kaya (the rich) yang memiliki persengkokolan kuat dengan oligarki politik. Di AS, oligark korporasi besar dan supperich sangat menentukan pembuatan keputusan politik dibandingkan dengan ratusan juta pemilih.

Bagaimana tipologi oligark dan oligarki di Indonesia? Di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto praktik oligarki politik dan finansial belum terlalu eksis. Presiden Soekarno pada masa Demokrasi terpimpin (1959-1965) menjadi “penguasa tunggal”. Semua keputusan praktis terpusat pada dirinya. Presiden Soeharto dengan demikrasi Pancasila, awalnya kekuasaan terpusat pada dirinya, mengambil keputusan tanpa melibatkan tiga parpol, apalagi publik luas. Walakin, sejak era Presiden Soeharto, berkembang gejala “oligark dinansial” yang disebut “cukong”.

Oligarki politik yang memiliki jaringan dengan oligark cukong – supperich di tingkat nasional dan the rich di tingkat lokal tumbuh pesat di masa reformasi. Alasanya; pertama, politik Indonesia dengan demokrasi liberal terfragmentasi dalam banyak parpol. Karena keuangan tak memadai, elite parpol berusaha mendapatkan dukungan finansial dari supperrich atau the rich. Kedua, sejak pemilu legislatif 1999,biaya calon dalam kontestasi elected offices kian mahal. Menurut Institut Otda (2021) contohnya biaya caleg DPR berkisar Rp. 1 miliar – Rp. 2 miliar dan calon presiden Rp. 5 triliun – Rp. 20 triliun.

Liberalisasi politik dengan bermacam pemilu membuat posisi oligark cukong dan politik terus menguat, serta menimbulkan dampak negatif terhadap demokrasi dan penegakan hukum kasus tergamblang adalah pelemahan KPK. Oligark selalu berusaha agar proses legislasi dan penegakan hukum menguntungkan dan posisi merka dalam oligarki politik dan ekonomi finansial kian kuat.

Demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai sistem dan praksis politi Indonesia tidak selaras dengan oligarki politik yang berkelindan dengan oligarki ekonomi finansial; dan karena itu mesti dibendung. Oligarki politik bukan praktik umum; dari 195 negara, hanya 11 negara oligarki.

Ada skeptimisme di kalangan ahli ilmu politik dan publik berdasarkan teori “hukum besi oligarki” (iron law of oligarchy). Menurut teori sosiolog Jerman, Robert Michels, dalam bukunya political parties (1911): “kekuasaan oleh elite terbatas (oligarki) adalah hukum besi yang tidak terelakkan dlam negara demokrasi sebagai bagian keharusan taktis dan teknis”. Atas dasar kasus partai Demokratik Sosial Jerman, Michels berargumen partai politik buruh yang dibangun secara demikrasi akhirnya dikuasai “elite pemimpin” (oligarki).

Namun, teori hukum “hukum besi oligarki”telah dibantah banyak ahli politik lain, seperti Seymour Martin Lipset (1956) yang mengungkapkan pengecualian bisa dikembangkan sejak dari raison d’etre pendirian indtitusi seperti negara sesuai prinsip demikrasi; proses pembentukan dan suksesi kepemimpinan melaui kontrol dan keseimbangan; serta pengembangan kesejahteraan ekonomi sosial warga.

Saran Lipset relevan dengan upaya membendung oligarki di Indonesia. Saran itu dapat dikembangkan dengan memodifikasi kerangka yang dijukan Zephyr Teachout dan Kelly Nuxoll dalam “three Solutions to the Oligarchy Problem” (2013). Pertama, perlu perubahan UU pemilu, khususnya menyangkut “ambang batas parlemen”. Kedua, perlu meninjau ulang pilkada dengan kembali melakukan pemilihan melalui lembaga perwakilan, ketiga, perlu penegakan hukum tegas tentang pendanaan partai dan calon sejak masa pencalonan dan kampanye pemilu.

Masyarakat sipil perlu mobilisasi kewaspadaan warga terhadap bahaya oligarki. Selain itu, juga membangun sikap asertif warga menolak setiap bentuk oligarki politik dan ekonomi finansial yang sangat merugikan negara bangsa.

Sumber: kompas.id. (mf)