Membendung Eskalasi Politik
Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Suhu politik di Tanah Air terasa meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Jika gejala ini tidak disikapi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, serta pejabat tinggi dan elite partai politik dengan kepala dingin dan pendekatan rekonsiliatif, boleh jadi keadaan tambah memburuk dan tidak kondusif bagi pemulihan negara-bangsa dari Covid-19 dan segala dampaknya dalam berbagai aspek kehidupan.
Harian Kompas dan penulis kolom ini, ketika jurnalis Kompas meminta komentar, berulang kali mengingatkan elite kepemimpinan nasional dan elite politik tentang urgensi membendung eskalasi politik yang dapat mengganggu stabilitas nasional (Kompas, 24/2/2022). Mencermati perkembangan, Kompas kemudian tegas menyatakan: “Akhiri Operasi Politik untuk Tunda Pemilu 2024” (12/3/2022). Sejauh ini, imbauan dan peringatan seakan “batu jatuh ke lubuk”.
Peningkatan eskalasi politik sudah bermula sejak bulan-bulan awal masa jabatan kedua Presiden Jokowi bersama Wapres Amin. Kini, dalam sisa masa jabatan sekitar dua tahun —mencakup Pemilu 14 Februari 2024— banyak indikasi dan fenomena menunjukkan menguatnya eskalasi politik. Semua ini terungkap jelas dalam pemberitaan dan wacana media cetak, media elektronik, dan media sosial, sekaligus mengendap laten di bawah permukaan yang dapat meletup.
Bisa dibayangkan, selesai Pemilu 14 Februari 2024 nanti, menjelang akhir masa jabatannya pada 19 Oktober 2024, Presiden Jokowi dan Wapres Amin —seperti terjadi di negara lain— menjadi lame duck, “bebek timpang”, yang tak lagi efektif menjalankan kekuasaan. Presiden Jokowi dan Wapres Amin mestinya duduk manis menunggu pelantikan presiden dan wakil presiden baru pada 20 Oktober 2024.
Tetapi menjelang Pemilu 14 Februari 2024 dan suksesi kepemimpinan nasional —yang diharap berjalan aman nanti— eskalasi politik laten berlanjut walau sumber kejadian terkait sudah relatif lama. Ada kontroversi dan kegaduhan terkait legislasi pemerintah dan DPR RI dalam perubahan UU atau pembahasan rencana UU. Ini terjadi dalam perubahan UU KPK No 30/2002 menjadi UU KPK No 19/2019; UU Cipta Kerja No 11/2020; perubahan UU Minerba No 4/2009 menjadi UU Minerba No 3/2020; dan UU IKN No 3/2022. Proses legislasi UU KPK dan penetapan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law menimbulkan gelombang unjuk rasa yang menewaskan beberapa mahasiswa demonstran.
Dampak fenomena ini lebih jauh adalah kemunduran demokrasi. Belum terlihat sampai sekarang upaya elite puncak eksekutif, legislatif, dan partai politik memulihkan demokrasi.
Warga berdesakan saat antre membeli minyak goreng di salah satu penyalur di Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Senin (21/3/2022). Pembelian minyak goreng seharga Rp 15.500 per kilogram di tempat itu dibatasi sebanyak 16 kilogram per orang. Menurut warga, minyak goreng dengan harga murah terus diburu karena semakin susah diperoleh. Harga minyak goreng di pasaran setempat saat ini berkisar Rp 25.000 per kilogram.
Eskalasi politik dan sosial juga laten berkenaan kondisi ekonomi dan perdagangan yang beberapa bulan terakhir kian tidak kondusif bagi kebanyakan warga. Ini terkait kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng; kedelai untuk tahu-tempe; daging sapi; gula dan bahan pokok lain. Berbarengan juga ada kenaikan harga BBM dan kelangkaan solar; kenaikan harga elpiji; dan peningkatan tarif jalan tol. Dehumanisasi terjadi ketika emak-emak antre ratusan meter, bahkan ribuan meter, untuk mendapatkan dua liter minyak goreng curah yang tidak “murah-murah amat”.
Pejabat tinggi pemerintah berdalih, kenaikan harga juga karena invasi Rusia ke Ukraina. Alasan mengada-ada, yang kemudian dibantah sendiri dengan menyatakan, kelangkaan minyak goreng disebabkan persekongkolan mafia, kartel, dan oligopoli jaringan produsen, distributor dan pengecer. Beredar pula pernyataan dari pihak yang disebut pejabat tinggi terkait; “pihaknya [pemerintah] tak sanggup melawan mafia perdagangan”. Jika pernyataan ini benar, Indonesia sedang menuju menjadi “negara gagal” karena tidak mampu melindungi rakyatnya dari “mafia”.
Eskalasi politik juga terus berlanjut terkait usulan tiga ketua umum parpol (Muhaimin Iskandar, PKB; Airlangga Hartarto, Partai Golkar yang juga Menko Bidang Perekonomian; Zulkifli Hasan, PAN) dan dua menteri kabinet (Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan). Laporan investigasi banyak media massa arus utama mengungkapkan, mereka “berkoordinasi” mengajukan usul terbuka tentang “penundaan Pemilu 14 Februari 2024” dan “perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi sampai 2027”, atau “perubahan masa jabatan Presiden (dan Wakil Presiden) dari dua periode menjadi tiga periode”.
Setelah kontroversi dan kegaduhan meningkat, Presiden Jokowi akhirnya menyatakan mematuhi konstitusi dan menyebut usulan itu “aspirasi demokrasi”. “Siapa pun boleh saja mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden”. Pernyataan ini gagal dan tampak tidak dimaksudkan mengakhiri kegaduhan politik; malah makin keruh, membelah koalisi politik Presiden Jokowi; PDI-P (beserta enam parpol lain) menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden; menutup rencana amendemen UUD 1945 yang dapat menjadi pintu masuk menambah masa jabatan Presiden menjadi tiga periode atau lebih.
Spanduk ketidaksetujuan atas penundaan pemilu terlihat di kawasan Mampang, Jakarta, Jumat (11/9/2022). Masyarakat sipil dan elite politik tetap harus mengawal Pemilu 2024 bisa berlangsung sesuai rencana. Sebab, pemilu periodik merupakan amanat konstitusi.
Kondisi politik pasti bisa lebih kondusif. Caranya, segera hentikan penggalangan kebulatan tekad yang melibatkan masyarakat, massa mahasiswa, dan kepala desa untuk mendukung masa jabatan ketiga Presiden Jokowi. Siapa pun aktor penggalang harus menghentikan aksi ini yang jelas bisa eksplosif memicu eskalasi politik dan konflik horizontal di antara kelompok warga pro dan kontra.
Bertahan, meningkat atau latennya eskalasi politik jelas tidak menguntungkan kehidupan-berbangsa bernegara. Sudah sepatutnya elite politik eksekutif, legislatif, dan parpol menghentikan kegaduhan once for all. dan berkonsentrasi membangun positive legacy demi kemajuan bangsa pasca-kepemimpinan nasional 2019-2024.
Sumber: Analisis Politik Kompas, Kamis, 31 Marer 2022. (sam/mf)