Memahami Rasionalitas Ibadah Haji
Prof Dr HM Ridwan Lubis MA Guru Besar Fakultas Ushuluddin Magister Studi Agama Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam beberapa hari ke depan, kita disuguhkan pemandangan indah, sakral, dan kebersamaan yang diikat nilai-nilai agung yang sulit dicari padanannya dalam sejarah kehidupan manusia. Yakni, keberangkatan saudara-saudara kita menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Disebut pemandangan indah, ditandai dengan gelombang demi gelombang keberangkatan rombongan besar menuju tempat yang agung untuk berjumpa dan bercakap-cakap dengan Tuhannya. Setiap jamaah dihadapkan kepada pilihan hidup atau mati.
Betapapun calon jamaah haji dihadapkan kepada berbagai tantangan, khususnya cuaca amat panas tetapi sedikitpun tidak membuat gentar mereka. Umumnya, jamaah diliputi rasa gembira yang tidak ada taranya sekalipun mereka menghadapi situasi berat seperti ancaman kematian.
Segala usaha untuk memelihara kesehatan jamaah telah dipersiapkan dengan baik Kementerian Kesehatan mulai dari Tanah Air sampai di Tanah Suci. Ini menandakan, ajaran tauhid tentang al kasb dan al ikhtiyar telah diyakini sungguh-sungguh, lalu ditutup dengan tawakal.
Mereka telah menyadari, datangnya kematian merupakan hak sepenuhnya Allah SWT. Sebab, peristiwa kematian pada dasarnya sekadar pintu gerbang perpindahan dari satu alam fana ke alam yang abadi.
Dari seluruh rangkaian prosesi keberangkatan haji serta manasik selama menunaikan ibadah di Tanah Suci, para jamaah mampu berupaya mengabaikan semua persoalan kehidupan yang membebani dirinya.
Apabila selama di Tanah Air mereka telah memperoleh pengalaman unik yaitu mampu menunda kenikmatan, sementara untuk meraih kenikmatan abadi maka di sana dalam proses haji, mereka telah merasakan kenikmatan yang abadi itu.
Hal itu ditandai dengan lantunan ungkapan kerinduan bercampur rasa gembira karena telah berada sedekat mungkin dengan titik simpul alam semesta yaitu tempat bertakhtanya Ka’bah sebagai perlambang istana kedamaian.
Lantunan percakapan dengan khaliqnya berbunyi labbaika alahumma labbaik. labbaika la syarika laka labbaik inna al hamd wa al ni’mata laka wa al mulk, la syarika laka.
Pada masa lalu, calon jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci bervariasi. Mulai dari rombongan yang tergolong anak-anak menjelang remaja sampai yang berusia renta sehingga mereka didera beragam penyakit sehingga muncul risiko tinggi.
Namun, sedikitpun mereka tidak gentar memenuhi panggilan suci tersebut sekalipun akan dijemput ajalnya dalam rangkaian perjalanan ibadah yang memakan waktu lebih kurang satu bulan.
Rangkaian perjalanan sakral disebabkan apabila para calon jamaah diajak berdialog tentang berbagai kemungkinan terburuk selama keberangkatan, kepulangan, serta kegiatan selama di sana sedikitpun tak gentar berinteraksi dengan ratusan ribu bahkan jutaan manusia.
Mereka mampu melarutkan diri tanpa dilengkapi bekal pengetahuan bahasa memadai di tengah gelombang lautan umat manusia. Sebab, setiap orang memiliki perasaan, mereka sesungguhnya laksana orang yang kembali ke rumahnya sendiri, yaitu Baitullah.
Karena itu, sekalipun sebagai jamaah haji yang datang dari jauh sehingga layak disebut tamu Allah (duyuf al Rahman) tetapi mereka pada hakikatnya menjadi tamu terhormat Sang Maha Pencipta.
Pengertian rumah di sini, mencakup dua hal yaitu rumah kehidupan sekaligus rumah kematian. Di tengah puncak pertentangan itulah yaitu kehidupan dan kematian bertemu dalam kesadaran psikologis yang dahsyat yaitu Engkaulan ya Allah yang aku maksud dan keridaan-Mu yang aku cari (ilahi anta maqsudi wa ridaka mathlubi).
Keberangkatan menunaikan ibadah haji merupakan titik kulminasi perjuangan hamba Allah menuju kehidupan paripurna. Karena itulah, setiap umat Islam yang memiliki kemampuan baik secara fisik maupun psikis, diwajibkan berangkat ke Tanah Suci.
Perjalanan ke Tanah Suci bukanlah pelesiran biasa tetapi dilukiskan sebagai perjalanan muhibah rohani. Setiap orang berupaya menemukan jati dirinya yang selama puluhan tahun sempat hilang.
Padahal, sewaktu di alam azali setiap calon manusia telah mengikrarkan jawaban ketika Allah bertanya "Apakah engkau mengakui Aku (Rabb) adalah Tuhanmu?’’ Semua makhluk tanpa kecuali, sekalipun kemudian dalam perjalanan kehidupan mereka menyimpang dari ikrar tauhid, mereka berkata ketika itu,’’ Betul ya Tuhan kami.’’
Di tengah samudera ilahi yang dilukiskan dengan hamparan padang pasir, manusia berkumpul untuk berdiam diri sejenak yang disebut wukuf, berupaya mereproduksi memorinya dengan merenungi perjalanan hidupnya sebagai hamba Allah.
Wukuf di Padang Arafah lebih kurang setengah hari pada 9 Zulhijjah dapat dilukiskan sebagai mencitrakan perjalanan pra Padang Mahsyar di tengah lautan umat manusia sebelum mereka menjalani perhentian yang sesungguhnya.
Ketika dalam suasana hening di tengah pelaksanaan wukuf, setiap orang melakukan penelusuran kembali perjalanan hidupnya, berbagai nikmat Allah yang tidak terkira jumlahnya.
Allah dengan kemurahan-Nya telah menganugerahkan hadiah hidayah tanpa diminta, tetapi dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya menganugerahkan hidayah untuk menuntun perjalanan hidup umat manusia.
Namun sayang, sebagian orang tidak menyadari betapa besarnya kegunaan nikmat itu malah yang terjadi sebaliknya, manusia tenggelam dalam kebodohan. Ironisnya lagi, manusia seakan bangga dengan penyimpangan perilaku sehingga mereka tenggelam dalam kekufuran.
Kesadaran identitas itu teraktualisasi dari rintihan tekad seorang Muslim mencari ma’rifah kepada Allah melalui ucapan yang mengikrarkan sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata tertuju kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Berbagai sudut penjuru bumi orang datang berbondong-bondong menunaikan ibadah haji sebagaimana telah dinyatakan dalam Alquran, umat Islam berdatangan dari segala penjuru yang jauh (fajjin ‘amiq).
Hal itu menandakan, ajaran tentang haji merupakan salah satu bukti kebenaran ajaran Islam yang tanpa rekayasa, tetapi semua umat Islam bercita-cita datang berziarah ke Tanah Suci di tengah berbagai hal yang akan dihadapinya.
Dalam pada itulah, Islam telah berkembang dalam suatu ikatan global alam semesta yang melintasi perbedaan ruang dan waktu. Cita-cita Islam terlepas dari kepentingan sempit seperti etnis, ras, aliran politik, dan budaya.
Namun, semuanya terdorong membangun semangat kosmopolitan yang merindukan perintah Ilahi.
Demikianlah sekilas gambaran respons umat manusia terhadap Islam yang dibuktikan melalui kesungguhan untuk berkorban menunaikan perintah Ilahi dan akhirnya akan menikmati ampunan dan balasan dari Yang Maha Kuasa.
Sumber: Opini Republika, 8 Juni 2022. (sam/mf)