Melindungi Daya Beli Masyarakat
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal untuk meningkatkan pendapatan negara, salah satunya menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini tentu menuai beragam reaksi, terutama dari kalangan kelas menengah yang merasakan dampak langsung dari kenaikan harga barang dan jasa. Seiring dengan itu, muncul kekhawatiran mengenai penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, yang menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, dengan rencana untuk terus meningkat menjadi 12% pada tahun-tahun mendatang. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada sumber pendapatan lainnya, seperti pajak penghasilan dan penerimaan dari sumber daya alam.
Kebijakan ini diambil dalam konteks kebutuhan pemerintah untuk menyeimbangkan anggaran setelah pandemi COVID-19, yang menyebabkan defisit fiskal meningkat tajam. Selama pandemi, belanja negara melonjak karena pemerintah perlu menyediakan stimulus ekonomi dan bantuan sosial untuk menjaga kestabilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, penerimaan pajak menurun akibat penurunan aktivitas ekonomi.
Selain itu, pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN juga sejalan dengan upaya untuk memperkuat basis perpajakan dan memperbaiki rasio pajak (tax ratio) yang tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Rasio pajak Indonesia berkisar antara 10-12%, lebih rendah dibandingkan negara-negara seperti Malaysia dan Thailand, yang memiliki rasio pajak di atas 15%. Oleh karena itu, pemerintah melihat kenaikan PPN sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kontribusi pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kenaikan tarif PPN tentu berdampak langsung pada harga barang dan jasa di pasar. Ketika tarif PPN naik, harga barang-barang konsumsi, seperti kebutuhan pokok, pakaian, dan barang elektronik ikut mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan pada konsumsi akhir, sehingga pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.
Kenaikan harga ini mungkin tidak terlalu signifikan untuk beberapa produk, tetapi akumulasi dari kenaikan harga berbagai barang dan jasa dapat berdampak pada anggaran rumah tangga, terutama bagi kelas menengah yang sangat bergantung pada pendapatan tetap. Sebagai contoh, barang-barang yang termasuk dalam kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, transportasi, dan layanan kesehatan, semuanya mengalami kenaikan harga sebagai dampak dari kenaikan tarif PPN. Hal ini berpotensi mengurangi daya beli konsumen, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pertumbuhan konsumsi domestik.
Selain itu, kenaikan PPN juga berdampak pada sektor-sektor yang memiliki keterkaitan dengan barang-barang konsumsi, seperti sektor ritel, manufaktur, dan perdagangan. Dalam beberapa kasus, perusahaan-perusahaan mungkin harus menanggung sebagian dari kenaikan harga tersebut untuk menjaga daya saing mereka di pasar. Ini berarti margin keuntungan perusahaan bisa tertekan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada investasi dan lapangan kerja.
Tekanan Ganda
Kelas menengah di Indonesia telah lama menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Dengan pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan kelas pekerja atau kelas bawah, kelas menengah memiliki peran penting dalam meningkatkan konsumsi domestik, yang menjadi salah satu pilar utama perekonomian Indonesia. Konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 55-60% terhadap PDB Indonesia, dan sebagian besar dari konsumsi tersebut berasal dari kelas menengah.
Namun, kenaikan PPN dan inflasi yang menyertainya bisa berdampak negatif pada daya beli kelas menengah. Mereka yang sebelumnya memiliki ruang lebih untuk pengeluaran konsumtif kini harus berhemat atau mengurangi pengeluaran untuk barang-barang non-esensial. Dalam jangka pendek, ini bisa menekan permintaan barang-barang sekunder dan tersier, seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan liburan, yang merupakan sektor-sektor yang sangat bergantung pada pengeluaran kelas menengah.
Kelas menengah yang tertekan daya belinya juga berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi pasca pandemi. Ketika konsumsi rumah tangga melemah, sektor-sektor yang bergantung pada permintaan konsumen akan mengalami kesulitan untuk tumbuh. Ini dapat memicu penurunan investasi di sektor-sektor tersebut, yang pada akhirnya akan mempengaruhi penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Selain dampak langsung dari kenaikan PPN, inflasi juga menjadi tantangan lain yang dihadapi oleh kelas menengah. Inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli masyarakat, terutama jika kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok lebih cepat daripada kenaikan pendapatan. Pada 2022, inflasi di Indonesia sempat mencapai tingkat yang relatif tinggi dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, dipicu oleh kenaikan harga energi dan bahan pangan akibat gangguan rantai pasok global serta ketidakpastian geopolitik.
Kombinasi antara kenaikan PPN dan inflasi menciptakan situasi di mana kelas menengah menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi, harga barang dan jasa naik karena inflasi dan kenaikan PPN, sementara di sisi lain pendapatan riil mereka tidak bertambah secara signifikan. Ini memaksa banyak rumah tangga kelas menengah untuk mengubah pola konsumsi mereka, dengan berfokus pada pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan pokok dan mengurangi belanja untuk barang-barang yang dianggap tidak mendesak.
Menyadari adanya kekhawatiran mengenai penurunan daya beli, pemerintah telah meluncurkan beberapa kebijakan untuk meredam dampak kenaikan PPN dan inflasi. Salah satunya adalah dengan memperluas bantuan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan. Pemerintah juga berupaya menjaga stabilitas harga bahan pangan dan energi dengan mengendalikan harga komoditas penting, seperti beras, minyak goreng, dan bahan bakar.
Namun, bagi kelas menengah, yang tidak termasuk dalam penerima bantuan sosial, tantangan tetap ada. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk melindungi daya beli kelas menengah. Pertama, pemerintah dapat memberikan insentif pajak, seperti pengurangan tarif pajak penghasilan atau penundaan pembayaran pajak untuk sektor-sektor tertentu yang terdampak oleh penurunan konsumsi. Langkah ini dapat membantu meringankan beban keuangan rumah tangga dan memberikan dorongan bagi sektor-sektor yang terdampak.
Kedua, upaya untuk menjaga stabilitas harga barang-barang kebutuhan pokok, seperti bahan pangan dan energi, sangat penting untuk mengurangi tekanan inflasi. Pemerintah bisa memperkuat pengawasan distribusi barang dan menghindari spekulasi harga yang dapat memperburuk situasi.
Ketiga, mendorong pertumbuhan pendapatan riil melalui peningkatan produktivitas dan kesempatan kerja. Pemerintah bisa mengimplementasikan program-program pelatihan keterampilan untuk memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia, terutama di sektor-sektor yang berkembang seperti teknologi informasi dan manufaktur berteknologi tinggi.
Keempat, penyederhanaan regulasi dan penurunan biaya usaha dapat mendorong sektor swasta untuk melakukan ekspansi dan menciptakan lapangan kerja baru. Semakin banyak lapangan kerja yang tercipta, semakin besar pula kesempatan bagi kelas menengah untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Pendekatan yang Tepat
Kenaikan tarif PPN yang diberlakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki rasio pajak yang rendah. Namun, kebijakan ini juga membawa dampak terhadap daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang berperan penting dalam perekonomian nasional. Penurunan daya beli kelas menengah dapat memperlambat pertumbuhan konsumsi domestik, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pemulihan ekonomi pascapandemi.
Oleh karenanya, sebaiknya pemerintahan baru menunda kenaikan PPN lebih lanjut pada 2025 sampai dengan kondisi perekonomian yang semakin stabil dan membaik. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi daya beli masyarakat, termasuk dengan memberikan insentif pajak, menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, dan mendorong pertumbuhan pendapatan riil. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan kenaikan PPN tidak akan berdampak terlalu signifikan terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, terutama kelas menengah, di tengah tantangan ekonomi global.
Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah dan Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia. Artikel ini telah tayang di detiknews pada Rabu, 09 Okt 2024 13:18 WIB