Melacak Sanad Keilmuan: Merajut kembali Rihlah Ilmiah
Murodi al-Batawi
Para ulama dahulu, selalu melakukan perjalanan keilmuan untuk mencari ilmu pengetahuan dari sumber aslinya, para Syeikh. Ada ulama yang memperdalam Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan berbagai ilmu pengetahuan Islam. Mereka, para Ulama tersebut, melakukan Rihlah Ilmiah dari satu guru ke guru lainya. Dari suatu daerah ke daerah lainnya hanya untuk memperdalam suatu disiplin ilmu pengetahuan. Ada yang belajar dengan seorang cuma satu tahun atau lebih. Ada juga yang hanya singgah sementara hanya untuk menguji kemampuan ilmu yang dimilikinya. Dengan cara seperti itu, banyaklah mata rantai atau Sanad keilmuan seseorang, sehingga ia boleh disebut sebagai seorang ilmuan yang mumpuni dalam bidang tertentu, misalnya Ustadz Marzuki, ia terus belajar dan memperdalam ilmu fiqh, maka mata rantai keilmuannya terus bersambung sanadnya hingga ke imam fiqh empat mazhab; Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi. Begitu juga mereka yang memperdalam keilmuan Islam lainnya, pasti semua memiliki sanad yang jelas. Ternyata, tidak hanya mereka yang memiliki mata rantai keilmuan, kita juga memilikinya.
Dahulu kita pernah belajar keilmuan Islam di IAIN Syatif Hidayatullah, Jakarta. Kita mencari ilmu dan belajar dari para dosen yang sangat hebat. Misalnya, Kita belajar Bahasa Arab dari Prof.Dr. D. Hidayat,MA. Beliau, sekira tahun 1980-an masih sangat energik. Pintar, muda dan ganteng. Ia menjadi salah seorang dosen favorit, karena wajahnya yang mirip musisi musik pop legendaris, A.Riyanto.
Kemudian di fakultas yang sama, kita juga belajar ‘Arudh dari Prof. Khotibul Umam. Sepertinya, saat itu, hanya beliau yang bisa mengajar ilmu ‘Arudh, sebuah disiplin ilmu yang jarang dikuasai seseorang. Begitu juga dengan materi Ilmu Bayan dan Ma’ani, yang diberikan oleh Dr. AM. Hidayatullah, MA. Dosen yang satu ini memiliki khas tersendiri. Selain menguasai ilmu tersebut, beliau juga seorang qari’. Suaranya sangat bagus. Itu kami buktikan sendiri. Hampir di setiap acara fakultas, ia menjadi pembaca al-Qur’an.
Selain mereka, ada salah seorang dosen asli Betawi, yang pernah menjabat pemantu dekan. Kemudian ia menjadi dekan fakultas Adab periode pasca prof. Dr. Nabilah Lubis. Ia juga mengajar kami ilmu sejarah. Ia adalah Dr. Abdul Choir, MA. Bahkan saya sendiri saat menulis Risalah Sarjana Muda (BA), beliaulah yang menjadi pembimbing. Saat itu, ia tengah menjabat Pembantu Dekan I Bidan Akademik.
Di samping yang telah disebutkan di stas, ada salah seorang dosen asli Mesir, bernama Prof.Dr. Nabilah Lubis, MA. Ia juga pernah menakhodai fakultas Adab pada periode ‘96-an. Kita belajar banyak tentang bahasa dan Sastra Arab. Belajar Bahasa Arab dari native speaker, menjadi lebih menarik.
Kini, mereka sudah pensiun dan tinggal menikmati masa tua yang bahagia. Karena itu, untuk memperkuat ikatan tali silaturrahmi antara guru-murid, kami punya program melakukan kunjungan ke tempat tinggal mereka. Harapannya, ilmu yang kita peroleh bermanfaat untuk umat bangsa dan negara. Selain tengah melacak jaringan dan sanad keilmuan kita. Semoga bermanfaat.
Demikian
Penulis adalah Guru Besar Sejarah Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi