Masa Depan Kecerdasan Buatan Indonesia
Ahmad Tholabi Kharlie
Ketika Menteri Komunikasi dan Informatika, Meutya Hafid, menyampaikan komitmen peluncuran Peta Jalan Kecerdasan Buatan Indonesia pada Juni 2025, saya teringat kata-kata mendiang Ivan Illich (1973) tentang "tools for conviviality", alat yang membebaskan, bukan memperbudak manusia. Pertanyaannya, apakah artificial intelligence (AI) yang akan kita kembangkan akan memanusiakan manusia ataukah justru sebaliknya?
Saat ini kita sedang berhadapan dengan paradoks klasik dalam perumusan kebijakan teknologi: jika regulasi terlalu ketat, inovasi bisa terhambat; jika terlalu longgar, disrupsi etika tak terbendung. Tetapi lebih dari itu, persoalan utama terletak pada bagaimana posisi manusia kita tempatkan dalam relasinya dengan teknologi.
Pelbagai startup Indonesia memang mulai memanfaatkan teknologi AI, baik dalam sektor keuangan, perdagangan daring, maupun layanan publik. Namun perlu kehati-hatian agar kita tidak terjerumus dalam jebakan technological solutionism atau kepercayaan yang terlalu optimistik bahwa setiap masalah sosial akan terselesaikan dengan teknologi. Kita tahu, ketimpangan, kemiskinan, dan praktik koruptif tidak akan lenyap hanya karena hadirnya algoritma pintar.
Belajar dari Kampus
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi telah menerbitkan Cetakan II Buku Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Namun pada tataran implementatif masih bervariasi antarinstitusi.
Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, misalnya, telah diterbitkan Surat Edaran Rektor yang memberikan panduan penggunaan AI secara etis. Kebijakan tersebut tidak menempuh jalan pelarangan total melainkan mendorong pendekatan yang berimbang dengan menekankan transparansi dan integritas akademik. Mahasiswa diperbolehkan menggunakan AI sebagai alat bantu namun diharuskan mendeklarasikan penggunaannya secara jujur. Ini mencerminkan nilai amanah, yakni kejujuran dalam memikul tanggung jawab keilmuan.
Di Universitas Indonesia dilema serupa muncul. Beberapa fakultas telah menyusun panduan internal, namun kebijakan menyeluruh di level universitas belum sepenuhnya tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan institusi pendidikan tinggi terkemuka pun masih groping in the dark dalam menghadapi gelombang AI yang masif.
Institut Teknologi Bandung, dengan kekuatan tradisi teknologinya, tampak lebih terbuka dalam mengintegrasikan AI dalam pembelajaran. Namun muncul pertanyaan reflektif, apakah mahasiswa teknik telah cukup dibekali nalar etis dan tanggung jawab sosial terhadap ciptaan teknologi yang mereka lahirkan?
Universitas Gadjah Mada, dengan warisan intelektual humanistiknya, juga menghadapi tantangan, bagaimana memastikan nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi rujukan utama dalam menyikapi teknologi yang begitu cepat merambah ke ruang hidup manusia? Ironisnya, beberapa fakultas sosial dan humaniora justru menunjukkan resistensi paling tinggi terhadap pemanfaatan AI, padahal mereka seharusnya menjadi garda depan dalam membangun fondasi etika teknologi.
Yang lebih memprihatinkan, sebagian sivitas akademika, termasuk para pendidik, masih memandang penggunaan teknologi AI seperti ChatGPT sebagai bentuk ketidaketisan, tanpa terlebih dahulu memahami nilai, risiko, dan peluang dari teknologi tersebut secara utuh.
Bagi pelaku pendidikan yang akrab dengan teknologi pembelajaran tentu memandang AI tak lebih dari amplifier atau penguat dari karakter penggunanya. Bila ia berada di tangan orang jujur, AI akan meneguhkan integritas. Sebaliknya, di tangan mereka yang malas dan culas, AI bisa menjadi alat untuk menyebarkan keburukan.
Namun, ada kekhawatiran serius, generasi digital native kita tampaknya semakin bergantung pada teknologi. Padahal, justru di era ini, kemampuan berpikir kritis, bernalar tajam, dan merefleksikan nilai menjadi kebutuhan yang semakin esensial.
AI yang Berkeadaban
Saya bermimpi tentang AI Indonesia yang bukan hanya canggih, tetapi juga arif. AI yang hadir bukan untuk menggantikan guru, tetapi memperkuat misi kemanusiaan pendidikan. AI yang membantu petani meningkatkan produktivitas tanpa merusak ekosistem. AI yang membantu dokter mendiagnosis pasien tanpa menghilangkan sentuhan empati.
Mimpi ini bukanlah utopia. Beberapa perguruan tinggi sudah menapaki jalan itu. Namun mimpi ini hanya bisa diwujudkan bila kita sejak dini membangun budaya integritas, nalar kritis, dan tanggung jawab etis.
Peta jalan AI Indonesia 2025 harus menjawab pertanyaan filosofis: AI untuk siapa dan untuk apa? Jika jawabannya adalah untuk kemaslahatan publik dan kemajuan bangsa, maka itu adalah pilihan benar. Namun jika hanya menjadi alat segelintir elite maka kehancuran sosial menanti di ujung jalan.
Sebagai bangsa yang mewarisi nilai-nilai luhur peradaban, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa gelombang AI tidak meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang telah dibangun berabad-abad. Teknologi boleh berubah namun martabat manusia tidak boleh tergadaikan.[]
Penulis adalah Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini terbit di Koran Jawa Pos Edisi 1 Juli 2025 dengan judul yang sama.