Manna dan Salwa
Oleh: Syamsul Yakin Dosen MKPI FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Allah berfirman, "Kami turunkan kepadamu manna dan salwa" (QS. al-Baqarah/2: 57). Menurut Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir tempat diturunkannya manna dan salwa adalah Padang Tih. Padang Tih adalah sebuah lembah yang letaknya antara Syam dan Mesir. Luasnya diperkirakan sembilan farsakh. Farsakh adalah ukuran klasik untuk jarak. Satu farsakh adalah 5 atau 5,5 kilometer.
Sebelum manna dan salwa turun, di Padang Tih itu Allah turunkan awan tipis untuk menaungi kaum Nabi Musa. Diketahui bahwa awan itu ikut berjalan bila mereka berjalan, baik pada malam hari maupun siang hari. Allah juga menurunkan tiang dari cahaya sebagai penerangan malam hari. Sementara Allah membuat pakaian mereka tidak kotor dan tidak pudar selama empat puluh tahun.
Menurut Syaikh Nawawi, manna adalah sesuatu seperti lilin yang jatuh ke atas pepohonan. Rasanya manis seperti madu. Manna Allah turunkan sejak fajar menyingsing hingga terbitnya matahari. Masing-masing mendapat jatah satu sha' manna atau sekitar 2,7 kilogram, jumlah yang sangat banyak. Namun mereka berteriak-teriak kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak sanggup kalau hanya makan manna. Mereka ingin mengkonsumsi daging.
Seperti potongan ayat di atas, kemudian Allah menurunkan salwa. Menurut Syaikh Nawawi, salwa adalah semacam unggas yang tidak berekor dan jarang terbang. Pengarang Tafsir Jalalain menyebut salwa sebagai burung puyuh panggang. Jadi kaum Nabi Musa tinggal menyantapnya. Ulama menggambarkan salwa selebar satu mil dan panjangnya sekitar satu jarak tombak.
Salwa digambarkan hidup menempati pulau-pulau yang tidak ada hujan dan tidak ada petir. Sebab salwa adalah burung yang mati kalau mendengar gelegar petir, sama seperti burung sawaliti atau walet yang mati karena tak tahan dingin.
Setiap orang mengambil salwa seukuran yang cukup sehari semalam. Manna turun dari Senin hingga Jumat. Sabtu manna tidak Allah turunkan. Oleh karena itu pada setiap Jumat orang boleh mengambil manna untuk dua hari. Hanya saja, tulis Syaikh Nawawi, selain Jumat, kaum Nabi Musa dilarang menyimpan manna untuk keesokan harinya. Namun karena mereka serakah, mereka menyimpannya. Akibatnya manna yang mereka simpan dipenuhi ulat.
Sebenarnya ada hikmah ketika Allah menghidangkan mereka salwa. Misalnya, seperti yang dikatakan Syaikh Nawawi, bahwa salwa yang dimakan kaum Nabi Musa akan dapat membuat hati mereka lembut, tidak keras. Dalam sejarah diketahui ungkapan kerasnya hati mereka, misalnya, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan mata kepala kami sendiri" (QS. al-Baqarah/2: 55). Sesudah mengatakan hal itu mereka disambar petir hingga mereka tewas.
Namun agar mereka bersyukur, Allah hidupkan kembali mereka. Seperti firman Allah, "Setelah itu, Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur" (QS. al-Baqarah/2: 56). Nyatanya, mereka tetap kufur, serakah, dan sering menyangkal.(sam)