Makna di Balik Nama
KETIKA Anda memberi nama putra-putri tercinta, pasti terkandung makna dan mungkin juga disertai harapan atau doa.Setelah peristiwa 9/11 yang meluluhlantakkan menara kembar di New York, banyak orang Indonesia sulit memperoleh visa gara-gara nama. Warga Indonesia yang sudah menetap di Amerika Serikat (AS), Australia, ataupun Eropa, juga memperoleh perlakuan dan kecurigaan dari aparat keamanan setempat gara-gara namanya dianggap berbau teroris.Nah,lho! Maka itu, hatihati memberi nama anak. Seorang mahasiswa saya di UIN Jakarta secara resmi sudah diterima sebagai mahasiswa program master di AS, tetapi dipersulit memperoleh visa studi karena namanya Ahmad Zaky, berasal dari Ujungpandang (Makassar). Diduga kuat, pihak intelijen AS curiga bahwa anak ini punya jaringan dengan teroris Timur Tengah.Butuh setahun,Zaky baru terlaksana berangkat ke AS. Ada lagi teman lain, namanya Fuad Jabali. Dia memperoleh beasiswa doktoral dari Kanada. Tetapi ketika masuk ke AS, selalu saja diperlakukan tidak ramah, garagara namanya berbau Timur Tengah. Demikianlah, banyak sekali cerita ketidaknyamanan yang diterima dari aparat keamanan AS semata karena sebuah nama.Namun, cerita di atas memang bernuansa politis. Saya ingin mengajak Anda merenungkan dan mencoba mengamati kondisi masyarakat Indonesia sendiri, apa makna dan pengaruh dari sebuah nama. Asumsi Antropologis Di berbagai masyarakat dan suku di Indonesia,terdapat beragam tradisi yang berkaitan dengan pemberian nama kepada anak yang baru lahir. Karena mayoritas rakyatnya beragama Islam, banyak nama yang bernuansa Islam dan Arab yang biasanya datang dari wilayah kauman. Kata ”kauman”sendiri menunjuk pada masyarakat yang tinggal berdekatan dengan masjid dan mereka tekun beribadah. Masyarakat kauman biasa memberi nama yang diambil dari asma Allah dan Alquran, misalnya Abdul Azis,Abdurrahman, Abdul Gani.Kata abduberarti ’hamba’,lalu disambung dengan salah satu asma Allah yang berjumlah 99. Oleh karena itu, secara antropologis, kita bisa menduga asal-usul seseorang dengan mengenal namanya, meski tidak selamanya benar. Contohnya nama Andi, tidak selamanya berasal dari Sulawesi Selatan.Banyak nama yang dikaitkan dengan suku atau marga.Kalau itu paling mudah diketahui. Orang Sumatera Utara paling setia dengan marga ini. Lain lagi Sumatera barat. Di samping cirinya yang agamais, ada lagi ciri lain yang senang dengan huruf ”Z”dan ”R”,seperti Azyumardi Azra, Azrul Azwar, serta namanama asing yang mirip nama Barat yang kristiani, padahal mereka orang Islam. Mengapa mereka memilih nama bernuansa Barat dan semakin kurang populer nama-nama kauman, tentu hal ini mempunyai logika sendiri,sejalan dengan dinamika dan perubahan tata nilai masyarakat Minang. Demikianlah, mengingat masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, sungguh menarik mengkaji hubungan nama, makna, dan implikasi sebuah nama. Dalam masyarakat Jawa,misalnya, bisa dibedakan nama-nama yang populer di kalangan kaum santri, keraton, dan petani serta buruh yang lebih akrab dengan tradisi kuno, termasuk dunia pewayangan. Nama adalah doa dan harapan. Kalangan priyayi lebih senang memberi nama anaknya dengan nama wayang seperti Arjuna, Nakula, Sadewa, atau bahasa Sanskerta. Misalnya Sugiharto, dengan harapan kalau besar nanti anaknya akan jadi orang kaya. Sugih artinya ’kaya’, arto berarti ’uang’. Atau Suharto. Artinya orang yang bisa mencari harta agar hidupnya makmur dan indah dipandang, sedangkan Sutrisno diharapkan agar banyak orang yang menyayangi. Nama Budiharjo mungkin orangtuanya berharap agar anaknya berbudi dan hidupnya sejahtera. Demikianlah, jika dikaji lebih dalam, nama memiliki kekuatan magis dalam arti kandungan makna dan doa orangtua akan berpengaruh pada pertumbuhan jiwa anaknya.Terlebih lagi jika sebelum memberi nama,orangtuanya melakukan puasa serta mengadakan tasyakuran dan doa bersama, agar makna dan doa yang terkandung bagaikan sebuah energi dan cetak biru bagi masa depannya. Di lingkungan keraton, namanya sangat kosmologis, seperti Mangkubumi, Hamengku Buwono,Paku Alam, dan semacamnya yang konotasinya sangat jelas, yaitu sebagai penyangga dan penjaga jagat agar tidak gonjangganjing. Nama ini juga menunjukkan filosofi di baliknya, para raja di Jawa beranggapan bahwa jabatan sebagai penguasa itu anugerah dan amanat Tuhan untuk menjaga ketenteraman bumi, bukan pilihan rakyat sebagaimana dalam alam demokrasi. Bung Karno pun memberi nama anak-anaknya mirip tradisi keraton, tetapi lebih dinamis, mungkin karena pengaruh suasana revolusi, seperti Guruh, Guntur, dan Megawati. Kalau Pak Harto memberi nama anak-anaknya lebih bernuansa priyayi Jawa tradisional. Kalau orangtua memberi nama tidak sesuai dan tidak cocok untuk anaknya, biasanya anaknya sering sakit. Orangtua dan tetangga sering memberi saran agar namanya diubah, karena keberatan nama dan makna. Nama baru atau tambahan yang paling populer adalah Slamet, dengan harapan anaknya sehat dan hidupnya selamat. Maka itu, nama Slamet di lingkungan masyarakat Jawa cukup banyak. Sampai hari ini masih sering beredar kepercayaan bahwa untuk menjadi presiden itu mestilah orang Jawa tulen. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, penduduk Jawa adalah mayoritas. Kedua, diharapkan yang masih memiliki darah biru atau garis keturunan raja.Ketiga, orang Jawa dinilai lebih bijak, akomodatif, dan tidak senang konfrontasi; sebuah sikap yang cocok bagi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Dari ketiga ciri tersebut, masih ada satu lagi, yaitu namanya harus khas priyayi Jawa, seperti Soekarno, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau namanya tidak mencerminkan priyayi Jawa, posisi mereka sekadar sebagai selingan, misalnya Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Tren Baru Akhir-akhir ini saya amati muncul tren baru,bagaimana orangtua memberi nama anak-anaknya.Ini terjadi terutama di kalangan pasangan muda kota yang terpelajar.Di samping nama inti, biasanya nama agak panjang,mengandung berbagai unsur yang dikombinasikan. Misalnya unsur gabungan antara nama ayah dan ibunya.Lalu,ada unsur tempat dan bulan kelahiran. Nama inti sering diambil dari tokoh-tokoh teladan yang dikagumi orangtuanya, baik dalam sejarah maupun kitab suci, lalu diubah sehingga terasa modern dan enak didengar. Unsur rasa modern dan funky kelihatannya menjadi pertimbangan pasangan muda dalam memberi nama putraputrinya. Pada generasi kakek-nenek, mereka memberi nama anaknya Jamilah, misalnya. Sekarang lalu diubah menjadi Jameela,Anisah menjadi Anisa, Maryam menjadi Maria, dan seterusnya.Pada dasarnya maknanya tidak berubah, tetapi bunyi dan panggilan dipandang lebih berbau kota dan terpelajar. Namun, ada juga nama-nama tanpa makna, karena yang lebih dipentingkan adalah bunyi dan ingin menghilangkan kesan asal-usul komunitas primordialnya. Ini sering dilakukan bagi mereka yang ingin merintis karier di dunia artis.Perhatikan saja namanama penyanyi,yang ternyata tidak lagi sesuai dengan nama asli yang tercantum dalam akta kelahiran. Nama saya sendiri Komaruddin Hidayat. Komar berarti ‘bulan’, din artinya ’agama’, hidayat artinya ’petunjuk’. Dari segi nama,jelas saya berasal dari lingkungan kauman, meski pergaulan saya lintas agama. Orangtua berharap agar saya menjadi penyebar cahaya agama, tetapi tidak menyengat sebagaimana matahari. Rasanya cocok harapan orangtua, sebab saya sendiri memang senang belajar dan menyampaikan pesan agama, tetapi dengan cara lembut seperti bulan, enggan berkonfrontasi. Itu pun tidak selalu konstan, adakalanya bulan tampak penuh, adakalanya sembunyi di balik awan. Jadi, renungkan baikbaik, sertai pula dengan doa dan harapan ketika Anda memberi nama putra-putri tercinta.Yang memiliki nama priyayi Jawa, boleh mimpi jadi presiden pada pemilu mendatang,kalau saja asumsi dan tradisi antropologispolitis itu masih relevan. (*) Penulis adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 11 Juli 2008
|