LP2M Bersama FAH Selenggarakan Diskusi Pengasuhan Anak dan Institusi di Indonesia pada Masa Kolonial
Teater FAH, Berita UIN Online– Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) bekerja sama dengan Program Studi (Prodi) Sejarah Peradaban Islam dan Fakultas Adab Humaniora (FAH) UIN Jakarta dalam menyelenggarakan acara bertajuk “Public Lecture: "Children's Upbringing and Institutional Care in the Dutch East Indies/Indonesia, 1808-1950: Stories from the Archives”. Acara tersebut bertempat di Teater FAH lantai lima pada Jumat (14/6/2024).
Acara tersebut turut mengundang Postdoc Fellow, Radboud Institute for Culture and History, Radboud University, Nijmegen, Dr. Maaike Derksen dan Postdoctoral researcher at KNAW Humanities Cluster, Dr. Chiara Candaele. Moderator pada acara tersebut yaitu Nurul Azizah, M. Hum.
Tak hanya itu, Dr. Ida Farida, MLIS sebagai Wakil Dekan (Wadek) 1 FAH, Prof. Amelia Fauzia, Ph.D selaku Kepala LP2M, dan beberapa kepala Prodi FAH turut hadir.
Acara tersebut bertujuan untuk mengkaji sejarah pengasuhan anak dan lembaga-lembaganya di Hindia Belanda/ Indonesia, termasuk ruang lingkup, dinamika dan perkembangannya. Praktik pengasuhan anak, khususnya di institusi, tidak hanya menggali pengetahuan tentang kebijakan, praktik, tetapi juga pengalaman anak, yang semuanya didokumentasikan dalam arsip. Oleh karena itu, acara tersebut didasarkan pada kajian arsip kolonial pada periode 1808-1950 yang berkaitan dengan topik tersebut.
Dalam sambutannya, Dr. Ida Farida, MLIS menyampaikan acara tersebut sangat berkesan dan bisa menambah wawasan bagi para mahasiswa, baik mahasiswa sarjana maupun magister. Penelitian yang diteliti oleh kedua ahli tersebut sangat menarik karena mengambil Indonesia sebagai tempat penelitiannya.
Lanjut, Ida mengungkapkan, harapannya agar mahasiswa bisa saling berkomunikasi dan bertanya terkait penelitian tersebut. Data yang diambil oleh para ahli bisa menjadi sumber data baru bagi mahasiswa, tak hanya bertanya, mahasiswa bisa saling berdiskusi dan memberikan pengetahuan kepada para ahli.
“Mudah-mudahan siang ini, bisa menjadi waktu yang bermanfaat untuk kita semua,” harapnya.
Dr. Maaike Derksen, menjelaskan, wacana kolonial tidak hanya secara metaforia merepresentasikan masyarakat terjajah sebagai anak-anak yang harus dibesarkan. Akan tetapi, dalam praktiknya, proyek kolonial sering kali menargetkan anak-anak. Campur tangan terhadap kehidupan anak-anak telah menjadi inti pemerintahan kolonial.
"Bukan hanya soal penyelenggaraan pendidikan, tapi juga soal penerapan gaya hidup dan nilai-nilai moral tertentu serta penciptaan batas-batas dan hierarki kolonial yang tegas," ungkapnya.
Dr. Chiara Candaele memaparkan, terdapat dua studi kasus mikro historis yang digunakan. Pertama, anak-anak Papua. Pemerintahannya bertujuan untuk mengubah penduduk yang terjajah/menciptakan subjek yang terjajah/generasi baru. Kedua, anak-anak Indo-Eropa. Pemerintahannya mengatur secara hirarkis rasial batas-batas wilayah jajahan (penjajah/terjajah).
Dr. Chiara melanjutkan, dalam masyarakat Eropa Barat sebelum tahun 1700, anak-anak dipandang sebagai orang dewasa kecil. Hal ini yang menyebabkan anak-anak sebagai targetnya. Pendidikan kolonial dan pendidikan kelembagaan, beralih menjadi organisasi amal/filantropis. Salah satunya adalah yayasan Orange-Nassau di Magelang, yang didirikan pada tahun 1893 oleh misionaris protestan Johannes 'Pa' Van Der Steur.
"Di sana menerima sekitar 7000 anak laki-laki dan perempuan Indo-Eropa antara tahun 1896 dan 1945," ujarnya.
Nurul Azizah, M. Hum, menyimpulkan, penelitian tersebut berfokus pada perhatian atau pengasuhan terhadap anak di Indonesia. Pada penerapannya, tentara kolonial Belanda tak hanya membawa misi perhatian anak tetapi ada misi kolonialisme juga. Terdapat peran-peran dan menjaga hegemoni orang-orang kolonial yang kemudian mendorong dinasti baru untuk menjadi atau tidak menjadi bagian dari kolonialisme.
“Penelitian ini menarik untuk dilanjutkan. Bisa dilanjutkan dari masa setelah kemerdekaan, apakah pemerintah Indonesia menggunakan cara yang sama dengan kolonialisme atau berbeda,” pungkasnya.
(Muhammad Naufal Waliyyuddin/Fauziah Muslimah/Noeni Indah Sulistiyani/Foto: Adib Taufiqur'Rachman)