Literasi Digital dan Etika Informasi
BEREDARNYA informasi telur palsu di media sosial dan terbongkarnya Muslim Cyber Army (MCA) oleh aparat penegak hukum menuai kontroversi. Terlepas siapa otak dan aktor intelektual di balik MCA, dunia maya dan media sosial banyak digelayuti awan kelam penyebaran informasi hoaks, berita bohong, ujaran kebencian (hate speech), fitnah, dan sebagainya yang sangat berpotensi memicu disintegrasi bangsa.
Sebagai warga negara yang baik (good citizen), kita harus bersikap bijak dalam menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, Telegram, blog, website, dan sebagainya agar sikap harmoni, kedamaian, dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat diwujudkan.
Jika fenomena penyalahgunaan media sosial tidak dikelola dan tidak diatasi secara sungguh-sungguh, dipastikan dampak negatifnya akan sangat membahayakan masa depan bangsa, karena berpotensi menyulut konflik sosial horizontal, perang saudara, dan disintegrasi bangsa, di samping menguras energi bangsa secara sia-sia.
Literasi Digital
Setidaknya ada lima faktor maraknya informasi bohong, hoaks, fitnah, adu domba, dan sebagainya. Pertama, rendahnya kesadaran moral dan minimnya literasi digital tentang etika penyebaran informasi dan komunikasi di ruang publik, khususnya dalam bermedia sosial (medsos). Komunikasi simpatik, santun, dan beradab belum sepenuhnya menjadi kesadaran dan komitmen etis dari semua pihak. Masing-masing pihak masih mengedepankan egoisitas dan kepentingan sendiri-sendiri sehingga kepentingan umum dan bangsa tidak diindahkan.
Kedua, literasi digital dengan mengedepankan etika dalam memposting, menyiarkan, dan memviralkan berita, opini, video, poster, dan sebagainya belum sepenuhnya dipertimbangkan dampak negatifnya. Padahal, viralitas posting-an dalam medsos sangat cepat tersebar dan berdampak masif. Medsos berubah menjadi “pengadilan sosial” yang dapat membunuh karakter (character assasination) seseorang gegara fitnah viral tanpa bisa dibendung.
Bukan hanya menyasar seorang yang dibunuh karakternya, tetapi juga membunuh harga diri dan marwah keluarga, bahkan almamaternya. Sungguh dahsyat fitnah yang diviralkan itu sehingga Alquran menegaskan bahwa fitnah itu jauh lebih kejam dari pembunuhan (QS Albaqarah [2]:191). Ketiga, sering tidak disadari, sentimen psikologis akibat viralitas hoaks dan fitnah menyulut sensitivitas yang dapat menghancurkan masa depan pribadi, keluarga, dan persahabatan. Tidak sedikit perbedaan pilihan dan ideologi politik dalam sebuah keluarga berakibat perseteruan dan konflik lantaran saling sharing informasi hoaks yang sesuai dengan pilihan masing-masing.
Keluarga dan kesatuan bangsa ini harus dijaga dengan literasi etika informasi yang mengedukasi semua pihak agar menahan diri untuk tidak menyebarluaskan berita atau opini yang belum diverifikasi dan dipastikan kebenarannya.
Keempat, terkuaknya kelompok Saracen membuktikan bahwa produksi hoaks, fitnah, dan sejenisnya kini menjadi “lahan bisnis baru” yang menguntungkan, terutama di musim kampanye, pilkada, atau pilpres. Ternyata, kelompok Saracen itu diduga memproduksi aneka hoaks atas permintaan dan pesanan pihak tertentu.
Kelima, sikap permisif dalam bermedsos mungkin disebabkan oleh minimnya kesadaran moral, ketaatan spiritual dalam beragama, dan lesunya “darah” nasionalisme. Karena itu, gerakan literasi digital dengan peneguhan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan penting disosialisasikan melalui semua jalur pendidikan: formal, informal, dan nonformal. Dengan kata lain, keadaban dan kesantunan berkomunikasi sosial harus menjadi budaya konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kelima faktor tersebut sangat strategis dijadikan sebagai landasan gerakan literasi etika penyebaran informasi secara holistik dan sistematis agar masyarakat dan bangsa tidak mengalami krisis referensi kebenaran dan kesantunan sosial. Jika gerakan literasi digital dan etika penyebaran informasi ini dapat dikembangkan, terutama melalui media sosial dan media massa, niscaya energi masyarakat dan bangsa tidak terkuras habis untuk merespons hal-hal kontraproduktif.
Kesadaran MoralSelain penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan, ujaran kebencian dan hoaks perlu dihadapi dengan kesadaran moral terhadap fikih informasi yang mencerdaskan. Literasi digital dalam penyebaran informasi idealnya menjadi kesadaran moral kolektif demi terwujudnya interaksi sosial yang sehat, beradab, santun, dan penuh kearifan.
Literasi digital berbasis etika informasi dan komunikasi mengharuskan kita belajar hidup bersama (learning to life together) dalam spirit integrasi, budaya toleransi, menghormati perbedaan dan kebhinekaan, kebebasan berekspresi dan berpendapat secara harmoni. Dalam literasi etika penyebaran informasi dan komunikasi, salah satu prinsip yang harus dipertimbangkan adalah “saring sebelum sharing.“ Sebab, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah dapat menimbulkan efek domino yang viral sehingga daya rusak sosialnya akan sangat cepat dan masif.
Dr Muhbib A Wahab, Dosen dan Kepala Prodi Magiser PBA FITK UIN Jakarta. Sumber: Koran Sindo, Senin, 26 Maret 2018 - 08:45 WIB (mf)