LHS: Moderasi Beragama Ikhtiar Beragama di Tengah Kemajemukan

LHS: Moderasi Beragama Ikhtiar Beragama di Tengah Kemajemukan

Auditorium Utama, BERITA UIN Online— Moderasi beragama harus dimaknai sebagai ikhtiar dan proses dinamis dari upaya membangun cara pandang, sikap, dan praktek beragama dalam kehidupan bersama. Ia diperlukan karena realitas keindonesiaan yang majemuk menghadapi banyak tantangan serius sehingga dibutuhkan strategi memperkuat tatanan kehidupan harmonis umat beragama di tengah keragaman.

Demikian disampaikan Menteri Agama RI periode 2009-2014, KH Lukman Hakim Saifuddin (LHS), dalam pidato ilmiah atas anugerah Doktor Kehormatan Pengkajian Islam Peminatan Moderasi Beragama. Anugerah ini diterimanya dalam proses Sidang Senat Terbuka UIN Jakarta di Auditorium Utama, Selasa (31/5/2022).

“Moderasi beragama hakekatnya adalah ikhitar, proses, yang tidak berkesudahan, upaya untuk bagaimana membangun cara pandang, sikap, dan praktek beragama dalam kehidupan bersama,” ujarnya.

Dalam moderasi beragama, sebutnya, pengejawantahan nilai-nilai esensial agama terutama dilakukan dalam konteks perlindungan nilai-nilai kemanusiaan, baik melalui orientasi memanusiakan manusia maupun membangun kemaslahatan bersama. “Ini dua pesan agama dari banyak pesan agama yang dalam konteks saat ini amat sangat penting untuk jadi perhatian kita bersama,” tandasnya.

Merujuk pada latar historis pendirian Indonesia, ujarnya, kemerdekaan maupun pedoman hidup bernegara lahir dari cara pandang moderasi para tokoh pendiri bangsa. Relasi negara-agama yang dibangun terjadi dalam proses simbiosis mutualisme dimana agama dan negara saling menopang satu sama lain sebagai sumber nilai sekaligus fasilitasi implementasinya.

Relasi demikian terjalin dengan baik karena relasi keduanya tidak memungkinkan hadirnya mayoritanisme satu kelompok agama sehingga terhindari dari kerentanan hadirnya kesewenangan satu umat agama terhadap yang lain. “Namun realitas keindonesiaan demikian menghadapi sejumlah tantangan serius,” ujarnya.

Menurut Lukman, tantangan serius itu muncul dalam sejumlah fenomena keberagamaan yang muncul belakangan ini. Salahsatunya, hadirnya fenomena keberagamaan yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan, bertentangan dengan pesan agama sendiri untuk melindungi harkat martabat kemanusiaan.

“Beragama menjadi ekslusif, padahal harusnya inklusif. Beragama jadi segregatif, padahal harusnya integratif. Membangun sikap konfrontatif, padahal agama bersikap tegas dan mengajak kooperatif, jadi destruktif padahal pesan agama sangat konstruktif,” paparnya.

Fenomena keberagamaan juga mengambil tampil dalam kemunculan tafsir-tafsir yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis, bahkan cenderung memutarbalikan makna-maknanya. Misalnya, jihad dan hijrah difahami sempit sebagai aksi yang mengancam pihak lain dan sikap hidup sempit.

“Tafsir-tafsir tidak berdasar secara ilmiah ini dipaksakan berlaku untuk semua kalangan dengan diiringi tindak kekerasan,” tuturnya.

Fenomena lainnya adalah hadirnya kecenderungan orang beragama yang justru mengoyak ikatan-ikatan kebangsaan dan sendi kehidupan bernegara atas nama agama. Misalnya men-thogut-kan Pancasila, Bendera Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya. “Semua ini mengancam, merusak kehidupan kebangsaan kita,” katanya.

Lebih jauh, Lukman juga menyebutkan masih kuatnya kompetisi dua kutub ekstrem yang berpengaruh pada kehidupan beragama. Keduanya, kutub yang mendorong formalisasi Islam, sedang kutub lainnya mendorong sekularisasi.

Berbagai situasi demikian, sebutnya, membutuhkan strategi agar umat tidak terjebak ke dalam salah satu kutub ekstrem tertentu. Konteksnya makin relevan mengingat umat juga hidup dalam realitas sosial yang plural.

“Maka terhadap tantangan-tantangan itu, beberapa solusi yang ditawarkan adalah bagaimana kita bersama membangun kesadaran yang memiliki faham dan amalan keagaman yang tidak berlebih-lebihan, yang tidak melampaui batas, yang tidak ekstrim dalam kehidupan bersama di tengah-tengah bangsa ini,” paparnya.

Solusi demikian, sebutnya, bisa disebut sebagai penguatan moderasi beragama sebagai ikhtiar dinamis untuk membangun cara pandang, sikap, praktek beragama dalam kehidupan bersama yang mampu mengedepankan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslatan bersama. “Diterapkan dengan prinsip-prinsip keadilan, keberimbangan, dan mentaati konstitusi berbangsa,” sambungnya.

Moderasi beragama sendiri, tuturnya, harus menjadi tugas bersama. Ia perlu diimplementasikan dalam setiap sisi kehidupan berbangsa, mulai dari menjadikannya sebagai program kementerian/lembaga, revitalisasi forum kerukunan umat beragama, perhatian perguruan perguruan tinggi, dan perspektif berbagai upaya pemberdayaan masyarakat. (zm)