Lembaga Filantropi Islam Perlu Direstrukturisasi

Lembaga Filantropi Islam Perlu Direstrukturisasi

Auditorium, BERITA UIN Online – Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta Asep Saepudin Jahar mengungkapkan, lembaga-lembaga filantropi Islam, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Zakat Nasional (Laznas) sebaiknya direstrukturisasi. Perbaikan lembaga filantropi ini perlu dilakukan secara menyeluruh dalam konteks posisi dan peran negara dalam menfasilitasi keberlangsungan filatnropi Islam dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan zakat.

Asep Jahar mengungkapkan hal itu dalam saat dikukuhkan sebagai guru besar FSH dalam bidang Sosiologi Hukum Islam di Auditorium Harun Nasution, Rabu (16/12/2020). Ia menyampaikan pidato berjudul “Transformasi Filantropi Islam Indonesia di Era Industri 4.0”.

“Kehadiran jumlah lembaga zakat yang banyak dan tersebar di berbagai tempat berdampak kepada sistem zakat. Di satu sisi, ia bisa dilihat dari semangat syiar zakat. Namun, di sisi lain, secara organisasi dan manajemen, ia justru menghalangi tujuan zakat,” katanya.

Asep mengatakan lembaga-lembaga zakat yang ada berusaha mengumpulkan dana dari masyarakat justru berdampak pada persaingan antarlembaga zakat, bukan kerja sama satu sama lain. Di sinilah, jelasnya, sinergi antarlembaga zakat menjadi kebutuhan utama, walaupun faktanya masih rendah.

Rendahnya pengumpulan zakat yang hanya mencapai Rp 8,1 triliun dibanding dengan potensinya sebesar Rp 233 triliun sangat berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat kepada lembaga zakat.

“Di samping itu, adanya persoalan manajemen dan efisiensi pengelolaan lembaga zakat, berakibat pula pada rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga zakat tersebut,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Asep, ada beberapa langkah yang perlu disiapkan dalam penguatan kelembagaan tersebut. Pertama, perlu didirikan lembaga otorita zakat.

Asep menjelaskan, saat ini kewenangan sistem manajemen lembaga zakat secara kelembagaan diperankan oleh Baznas, LAZ, dan Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf.

Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2011, Baznas berperan ganda, pertama sebagai pengawas lembaga zakat dan kedua sebagai pengelola zakat. Di sinilah letak ambiguitas Baznas sehingga menimbulkan kelemahan dalam dirinya sendiri.

Fungsi pengawasan atau kontrol Baznas dalam praktiknya menimbulkan kerumitan karena tidak ditopang oleh sistem dan infrastruktur. Pengontrolan atau pengawasan pun berjalan lebih pada posisi pasif dan administratif. Artinya, Baznas tidak memiliki otoritas mengintervensi secara kuat dan atau melakukan sinergi program untuk proyek tertentu di antara lembaga-lembaga zakat.

“Maka di sinilah perlunya dibuat lembaga otorita zakat di luar Baznas atau lembaga zakat yang ada,” katanya.

Jika lembaga otorita zakat didirikan melalui revisi UU Nomor 23 Tahun 2011, maka lembaga ini akan berperan dalam mengontrol secara aktif lembaga-lembaga zakat, seperti Baznas, Laznas, dan semua lembaga pengelola zakat. Lembaga otorita zakat berperan untuk melakukan  standarisasi lembaga zakat dan pembuatan proyek bersama dalam pengembangan zakat.

Bahkan lembaga ini juga akan menyinergikan lembaga-lembaga zakat dalam konteks pengembangan zakat secara produktif, berbasis proyek, dan koordinasi yang efektif di antara lembaga-lembaga zakat. Peran ganda Baznas sebagai pengelola dan pengawas zakat akan berdampak pada tingkat efektivitas zakat dan perkembangan zakat di Indonesia.

Kedua, menurut Asep, penguatan peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dengan melakukan perbaikan regulasi. Penguatan BWI diarahkan pada otoritasnya dalam akses dan kewenangan mengembangkan aset wakaf untuk tujuan produktif bersama para nazir di lembaga wakaf yang tidak berkembang.

BWI mempunyai wewenang kuat mengambil alih wakaf untuk tujuan produktif, misalnya bekerja sama dengan nazir wakaf dalam usaha investasi dengan dunia usaha atau lembaga keuangan. Dalam perubahan regulasi juga perlu dibuatkan flexibilitas aset wakaf supaya bisa dikembangkan dengan pengawasan ketat dari BWI.

Sementara langkah ketiga, lanjutnya, dengan pendirian holding institusi lembaga zakat sebagai upaya untuk memperkuat fundraising, proyek pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, pendirian lembaga zakat perlu dilakukan moratorium untuk memberikan ruang lebih luas dan produktif bagi lembaga-lembaga zakat yang sudah ada untuk berkembang.

Rendahnya literasi zakat yang berakibat pada rendahnya pengumpulan zakat bukan semata-mata disebabkan kurangnya lembaga zakat melainkan karena lemahnya improvisasi dan inovasi teknologi lembaga zakat.

“Pertumbuhan lembaga zakat yang tidak dibatasi akan melahirkan persaingan antarlembaga zakat dan lemahnya sinergi. Bahkan, hal ini juga bisa mendorong upaya-upaya kelompok sempalan memanfaatkan dana zakat untuk tujuan-tujuan radikalisme,” ujar Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta itu.

Acara pengukuhan guru besar Asep Saepudin Jahar dihadiri Ketua Senat Universitas Abuddin Nata, Rektor UIN Jakarta Amany Lubis, Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid, dan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Ali Ramdhani. Selain pengukuhan Asep Saepudin Jahar, dalam waktu bersamaan juga dilakukan pengukuhan terhadap Muhammad Nur Rianto Al Arif sebagai guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis bidang Ilmu Ekonomi Islam. (ns)