Lebaran dan Keadaban Manusia
Achmad Ubaedillah & Fokky Fuad Wasiatmadja
MERAYAKAN Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam sedunia ialah salah satu bagian penting dalam rangkaian ibadah puasa Ramadan. Setelah sebulan berpuasa, perayaan Idul Fitri sekaligus sebagai momen kebudayaan yang unik di setiap negara, di Indonesia salah satunya.
Kultural Lebaran
Lebaran ialah sebuah perayaan kultural manusia Nusantara untuk merayakan Idul Fitri sebagai sebuah ibadah keagamaan dalam ajaran Islam. Lebaran dan Idul Fitri tampaknya serupa, tetapi jika diamati tampak terdapat perbedaan. Idul Fitri ialah perayaan kaum muslimin setelah selama sebulan menahan dan membakar ego. Idul Fitri ialah hasil kembalinya fitrah manusia melalui proses detoksifikasi Ramadan terhadap kondisi mentalitas manusia. Ia diwujudkan dalam pelaksanaan salat Idul Fitri dan santunan zakat fitrah kepada kaum miskin.
Lebaran lebih bernuansa kultural, ia ialah rangkaian sukacita manusia Nusantara yang diselimuti nilai-nilai religiusitas Islam. Lebaran menjadi sarana untuk mewujudkan segenap rasa, yakni siapa pun dapat berinteraksi dalam festival perayaan ini. Lebaran identik dengan kebaruan, khususnya baju baru. Lebaran meningkatkan angka jual-beli pakaian dengan penyajian makanan khas tertentu yang hanya disajikan saat Lebaran.
Lebaran menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi keagamaan masyarakat Nusantara sejak masa Hindu-Buddha. Ia merupakan festival dari perayaan keagamaan yang telah ada sejak Kerajaan Mataram Kuno (Pranita, 2020). Ketika Islam masuk ke Nusantara, tradisi itu dengan segala kebaikannya tetap dilanjutkan.
Lebaran ialah sukacita rakyat Nusantara, apakah sebelumnya menjalankan puasa Ramadan sebulan penuh atau tidak. Semua terlibat dalam festival perayaan itu. Lebaran dengan segenap nilai-nilai tradisi masyarakat Nusantara, mulai mudik, berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat, saling mengucapkan maaf, menyajikan hidangan Lebaran yang memiliki nilai tertentu, dan lainnya.
Lebaran diikuti sebuah tradisi mudik, yakni setiap kaum muslim urban perkotaan melakukan proses pulang ke kampung halaman. Proses gerak masif jutaan manusia menuju kampung halaman merupakan bentuk terapan ajaran Islam ke dalam budaya Nusantara. Proses mudik itu tidak dapat digantikan kecanggihan teknologi metaverse sekalipun. Bertemu dengan orangtua, keluarga, dan teman sekampung halaman ialah sebuah kesadaran kolektif yang berkarakter intuitif. Bahwa kembali ke udik atau pulang kampung juga memiliki makna historis, mengenang sebuah cita-cita untuk mengarungi kesuksesan di kota besar.
Di Lebaran, terdapat ketupat yang melambangkan kelapangan hati untuk meminta maaf dan memaafkan sesama manusia. Di Lebaran terdapat sebuah gerakan masif untuk bersilaturahim dengan keluarga dan sesama manusia lainnya. Saling memaafkan dan menghubungkan rasa kekeluargaan dan persaudaraan menjadi sebuah ciri khas kaum muslim di Nusantara.
[caption id="attachment_239941" align="alignleft" width="300"] Fokky Fuad Wasiatmadja[/caption]Nilai-Nilai Kemanusiaan
Lebaran, menarik setiap orang masuk ke pusaran sukacita perayaannya. Siapa pun, tanpa terkecuali, bahkan umat beragama apa pun bisa terlibat di dalamnya. Lebaran menjadi sebuah perayaan inklusif manusia Nusantara. Idul Fitri sebagai sebuah peristiwa ibadah, diselubungi peristiwa kultural berbentuk perayaan Lebaran.
Lebaran menjadi festival sukacita yang juga membawa nilai-nilai keadaban manusia. Setiap jiwa yang terlibat di dalam perayaan suka-cita ini membagi kebahagiaan kepada sesama manusia lainnya. Pemberian hadiah Lebaran, saling menghantar makanan Lebaran kepada tetangga, saling berkunjung dengan mempererat silaturahim, merupakan bentuk balutan nilai-nilai kemanusiaan dalam tradisi Lebaran.
Konsep pulang kampung atau mudik yang ada di dalamnya ialah bentuk dari sebuah relasi humanis manusia Nusantara. Ia sebagai subjek yang dulu tak bermakna, dengan Lebaran mengingatkan dirinya bahwa keberhasilan masa kini, ialah juga berkat dari doa dan dukungan orang-orang sekampungnya.
Bagi yang tidak melaksanakan tradisi mudik, Lebaran juga memiliki makna tersendiri. Tidak mudiknya seseorang juga tidak menghilangkan makna Lebaran itu sendiri. Kebersamaan penuh kebahagiaan, bersama teman dan keluarga atau siapa pun itu di masa Lebaran, menyatukan jiwa-jiwa yang terlibat dalam pusaran Lebaran ini. Kebahagiaan tetap dirasakan yang mudik ataupun yang tidak.
Tradisi saling memaafkan, mengakui sebuah kesalahan, merupakan ekspresi budaya Lebaran masyarakat Nusantara yang membuktikan sebuah keberanian tersendiri. Mau mengakui sebuah kesalahan yang pernah dilakukan membutuhkan sebuah tekad tersendiri untuk meruntuhkan dinding-dinding keangkuhan. Acap kali meminta maaf menjadi begitu sulit terucap karena tampak bagai menjatuhkan harga dirinya. Maka, Lebaran ini menjadi sarana sekaligus momentum memohon maaf tanpa harus merasa jatuh harga diri. Inklusivitas Lebaran telah mampu meruntuhkan keangkuhan hati anak Adam.
Lebaran dengan kekhasan yang dimilikinya telah mengajarkan sebuah kesadaran pertemuan agama dan budaya telah mampu menciptakan sebuah nilai keadaban manusia. Perintah dalam sebuah ajaran agama dilaksanakan manusia yang berbudaya. Manusia dengan segenap eksistensi budayanya mencoba untuk menafsirkan kehendak Tuhan terhadap dirinya.
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Qs Al-A’raf 7: 199)”. (zm)
Achmad Ubaedillah adalah Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU, sedang Fokky Fuad Wasitaatmadja merupakan pengajar di Universitas al-Azhar Jakarta. Artikel keduanya dimuat Media Indonesia, Kamis 20 April 2023. Artikel bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/575694/lebaran-dan-keadaban-manusia