Kurban dan Kemerdekaan

Kurban dan Kemerdekaan

Ibadah dalam setiap agama selalu memiliki dimensi ganda, vertikal dan horizontal. Shalat dan puasa, misalnya, bukan sekedar pendekatan diri kepada Allah SWT, melainkan juga pendekatan diri dengan sesama, bahkan dengan alam semesta.

Beribadah juga tidak sekedar menggunakan kewajiban, berhenti pada tataran legal formal atau memenuhi syarat dan hukumannya, tetapi juga harus membuahkan kesalehan sosial, akhlak mulia, dan integritas moral.

Idul Fitri dan Idul Adha merupakan manifestas integrasi ibadah vertikal dan horizontal.

Ritualisasi shalat dengan menghadap kiblat merupakan ibadah vertikal, pelaksanaannya secara berjamaah, penyembelihan kurban, dan pembagian dagingnya kepada yang berhak merupakan ibadah sosial horizontal.

Kedua dimensi ibadah ini harus bermuara kepada ketakwaan sosial, keteladanan moral, dan kedermawanan sosial. Mengapa Nabi Ibahim AS diperintahkan untuk mengurbankan putranya, Ismail, bukan menyembelih hewan kurban?

Mengapa perintah penyembelihan Ismail melalui mimpi itu dilakukan di Mina ketika Ibrahim sedang menikmati fase perkembangan putranya yang mulai sanggup berusaha bersamanya?

Mengapa Ibrahim mengajak berdialog dan berdiskusi dengan Ismail tentang perintah Allah untuk ‘menyembelihnya’ sebagai kurban? Mengapa pula Ismail begitu tegar dan sabar dalam menerima ujian iman, padahal dia akan menjadi ‘korban’ penyembelihan oleh ayahnya sendiri?

Mengapa ‘drama penyembelihan Ismail’ berlangsung sangat ‘melelahkan,’ sehingga harus berpindah tempat sampai tiga kali dan Ibrahim harus melempari setan berkali-kali?

Jawaban terhadap pertanyaan itu sangat menarik jika dilihat dari perspektif teologi pembahasan berbasis tauhid  melalui kisahnya yang penuh keteladanan dan autentik di Alquran (QS ash-Shaffat [37]: 100-111).

Merayakan Kemerdekaan

Sedemikian agung dan mulia perjuangan Nabi Ibrahim dalam membangun kembali Ka’bah sebagai kiblat dan poros tauhid, juga dalam meneladankan ibadah kurban, sehingga syariat kurban itu dilanjutkan dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sekaligus, dinapaktilasi dengan ritual pelontaran jumrah oleh jamaah haji pada tiga tugu jamarat di Mina. Tidak hanya itu, setiap kali shalat, umat Islam selalu diingatkan pembacaan doa shalawat dan keberkahan kepada beliau dan keluarganya sebagai apresiasi dan rekognisi terhadap kontribusi agungnya dalam memurnikan tauhid.

Karena itu, shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban idealnya bukan sekadar ritual tahunan biasa, melainkan juga harus menjadi orientasi pendekatan diri yang terintegrasi antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan, pemerdekaan hati dari segala sifat kebinatangan, dan pemerdekaan hati dari segala sifat kebinatangan, dan pemerdekaan pikiran dari segala bentuk penjajahan,

Dengan kata lain, Idul Kurban dan penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu strategi ilahi dalam mencerdaskan, mencerahkan, dan membebaskan umat manusia dari segala tirani penjajahan hati dan pikiran, termasuk penjajahan dalam berbagai aspeknya oleh manusia terhadap sesamanya atau oleh suatu bangsa kepada bangsa lain.

Idul Fitri dan Idul Kurban memiliki pesan kemerdekaan yang saling menyempurnakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Idul Fitri adalah merayakan kemerdekaan atas kemenangan dan kesuksesan dalam berpuasa totalitas, puasa lahir batin.

Sedangkan merayakan Idul Kurban adalah merayakan kemerdekaan hati dan pikiran dari karakter buruk binatang: serakah, kikir, amarah, dengan menumbuhkan etos peduli, berbagi, berempati, dan bemurah hati kepada sesama.

Kedua perayaan hari besar tersebut berisi pesan pembebasan dan penyuciaan diri. Shalat Id merupakan manifestasi rasa syukur dan panggilan ketaatan kepada Allah, sedangkan berkurban merupakan pangilan cinta Ilahi, keikhlasan tanpa batas.

Melalui ibadah kurban, Ibrahim sukses mengaktualisasikan ketulusan cintanya dengan pasrah dan tanpa ragu mempersembahkan kurban terbaiknya, yaitu anak yang sangat dicintainya.

Cinta Allah harus dibuktikan dengan memerdekakan pekurban dari segala bentuk godaan duniawi dan materi, termasuk anak sendiri. Karena semua yang ‘dimiliki dan dinikmati’ manusia, termasuk diri sendiri, sejatinya adalah milik Allah.

Perjuangan Ibrahim dalam melakukan penyembelihan anaknya dihadapkan pada bujuk rayu dan godaan setan yang luar biasa dasyat. Dalam melawan provoksi setan, Ibrahim terbukti berhati ikhlas dan merdeka dari segala bujuk rayu jahat setan.

Karena itu, berkurban tidak semata merupakan proses transendensi berupa peneguran relasi spiritual dengan Tuhan, tetapi juga merupakan proses liberasi dari segala godaan setan keduniaan dan sekaligus humanisasi dengan menyucikan hati melalui sikap peduli.

Dengan cintanya yang ikhlas, auntentik, dan heroik, Ibrahim melandakan kepada kita pentingnya tauhid cinta sejati kepada Allah. Tauhid cinta mengantarkan seseorang menemukan kebenaran dan kebaikan dalam menjalani kehidupan penuh makna.

Tauhid cinta meneguhkan bahwa sumber kebenaran, kebaikan, kedamaian, dan, kebahagiaan itu adalah cinta sejati kepadanya. Sebagai teladan tauhid cinta, Ibrahim sukses menemukan kehadiran Tuhan dalam hati, pikiran, dan kehidupannya.

Nilai kemanusiaan ibadah kurban adalah kemerdekaan dan kebebasan manusia dengan segala hak-hak asasinya, terutama hak untuk hidup secara layak. Itulah mengapa Allah hidup ‘menggagalkan’ penyembelihan Ismail dengan mengganti sembelihan yang besar.

Dengan demikian, esensi dan spirit berkurban adalah pemerdekaan umat manusia dan bangsa. Kemerdekaan bangsa yang sudah diproklamasikan para pendiri bangsa dengan perjuangan dan pengorbanan yang tulus harus terus diwarisi para pemimpin dan generasi muda negeri tercinta agar cita-cita mulia para pendiri bangsa dapat diwujudkan.

Ibrahim pada akhirnya sukses menggapai cinta Ilahi dan cinta kemanusiaan sejati berupa aktulisasi cita-cita mulia, yakni memerdekakan ‘Ismail’ yang dicintainya menjadi generasi penerus perjuangannya.

Dalam konteks ini, tiap-tiap warga harus melestarikan spirit berkurban dengan memerdekakan kembali bangsa ini dari segala bentuk penjajahan: merdeka dari sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai pancasila, merdeka dari hegemoni bangsa lain.

Jadi, kemerdekaan tanpa perjuangan dan spirit berkurban yang tulus tidak bermakan apa-apa.

Dr Muhbib Abd Wahab MA, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Republika, 9 Agustus 2019. (lrf/mf)