Kuasa Perempuan, Melihat Arab Saudi dan Indonesia
Anis Fuadah Z
NEGARA yang baik, tentu di dalamnya tak lepas dari peran perempuan. Perempuan menjadi bagian penting dalam pembangunan, melalui kecerdasan dan gagasan yang cemerlang.
Dalam sejarah Islam, perempuan tercatat memiliki peran yang sangat penting dalam kesuksesan di belakang negara. Seperti istri Nabi Muhammad SAW, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar, Nusayba binti Ka’ab, yang seorang dokter relawan pada perang Badar, perang Khaibar, perang Hunain, dan perang Yamamah, dan masih banyak lagi.
Pada masa kini, pemerintah Arab Saudi dengan Visi Saudi 2030, memiliki dukungan penuh terhadap perkembangan pendidikan perempuan, penempatan perempuan pada posisi-posisi strategis, dan memberi ruang besar bagi perempuan untuk berkontribusi dalam mengembangkan gagasan atau ide-idenya.
Reformasi yang telah digagas oleh mendiang Raja Abdullah bin Abdul Azis Al-Saud, mengawali estafet kepemimpinan yang ramah terhadap perempuan melalui tangan penjaga dua masjid suci, Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud.
Dukungan pemerintah Saudi terhadap peran perempuan, di antaranya dengan penetapan Hanan bin Abdurrahim bin Mutlaq Al-Ahmadi, perempuan bergelar doktor dari Universitas Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, sebagai salah satu pimpinan Majlis Al-Shura pada 20 Oktober 2020. Penunjukan duta besar perempuan pertama Kerajaan Arab Saudi untuk Amerika Serikat, Reema bin Bandar bin Sultan bint Abdul Azis Al Saud pada 23 Februari 2019, serta pengangkatan Shuruq al-Jadaan, sebagai wakil direktur urusan tunjangan oleh Menteri Kehakiman Saudi, Waleed al-Sama’ani.
Sebagai perempuan Indonesia yang belum lama tinggal di Arab Saudi, saya melihat secara langsung bagaimana para perempuan gigih dalam menuntut ilmu. Inisiatif perempuan, dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya seperti yang tertuang dalam berbagai ekspose media. Salah satu kelas di British Council setempat misalnya, lembaga yang menjadi rujukan kursus bahasa Inggris ini didominasi oleh perempuan Saudi. Waktu belajar tidak hanya pagi atau siang hari. Namun, mereka juga mendapatkan kelas selepas Magrib, yaitu pukul 18.00-20.00 waktu Arab Saudi. Kelas tidak hanya terdiri dari perempuan, tetapi juga terdapat kelas yang juga mengakomodasi diskusi antara perempuan dan laki-laki.
Seorang perempuan di salah satu kelas, bahkan bergabung dalam lembaga kursus hanya untuk menambah pengetahuan bahasa asingnya, setelah pensiun dari pekerjaannya. Kelas-kelas itu tak hanya didominasi perempuan muda dan belum berkeluarga, tetapi juga dengan berbagai latar belakang usia, pendidikan, dan profesi yang beragam.
Peran perempuan di Indonesia Sejarah Indonesia mencatat, peran pahlawan perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Perempuan tidak hanya sebagai pendukung suami di rumah, tetapi juga perempuan-perempuan masa sebelum kemerdekaan, juga menjadi bagian penting dalam pertempuran melawan penjajah. Sebut saja misalnya Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan Nyi Ageng Serang, atau bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.
Saat ini Indonesia memiliki srikandi-srikandi dalam pembangunan bangsa dan mempunyai pengaruh besar seperti presiden pertama perempuan RI, Megawati Soekarnoputri, Sinta Nuriyah Wahid (istri almarhum Gus Dur), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan masih banyak lagi. Kemudian, baru-baru ini, untuk pertama kalinya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), hasil dari Muktamar 34 di Lampung dengan terpilihnya KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam dan Ketua Umum, KH Yahya Cholil Staquf, memasukkan 11 orang perempuan dalam struktur kepengurusan organisasi yang baru.
Perempuan-perempuan dalam susunan kepengurusan PBNU tersebut ialah Hj Nafisah Sahal Mahfudz, Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Hj Machfudhoh Aly Ubaid di jajaran Mustasyar. Kemudian, Hj Nafsiah Ali Maksum, Hj Badriyah Fayumi, Hj Ida Fatimah Zainal, Hj Faizah Ali Sibromalisi, dan Hj Masriah Amva di A’wan. Di jajaran ketua Tanfidziyah, ada Hj Khofifah Indar Parawansa dan putri almarhum Gus Dur, Allisa Qatrunnada Munawarah Wahid, dan Wakil Sekretaris Jendral, Ai Rahmayanti. Masuknya perempuan, dalam kepengurusan NU dianggap sebagai ikhtiar, dalam prinsip al-akhdu bil jadidil ashlah atau mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
Terobosan Gus Yahya tersebut berangkat dari kebutuhan mendesak peran perempuan dalam masalah-masalah besar yang berhubungan dengan perempuan. Mereka yang masuk jajaran kepengurusan merupakan tokoh-tokoh perempuan tangguh sesuai rekam jejaknya selama ini.
Budaya Patriarki Perjuangan terhadap perempuan juga dibarengi aksi nyata Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden keempat RI, yang memelopori terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender, yang kemudian berkembang UU Keadilan dan Kesetaraan Gender (NU Online, 2014).
Akan tetapi, budaya patriarki di masyarakat masih cukup kuat hingga sekarang. Saya teringat cerita salah satu teman. Dia telah berkeluarga dan dikaruniai dua anak. Suatu hari bercerita bahwa efek penggunaan kontrasepsi atau sering juga disebut suntik KB terasa tak nyaman pada tubuhnya. Kekurangnyamanan yang dialami telah disampaikan pada pasangan, dan meminta kerelaan suaminya untuk menggunakan salah satu alat kontrasepsi laki-laki, dengan jenis suntik hormon. Suaminya menolak dan mengatakan bahwa jika dirinya (istrinya) tak mau lagi suntik KB, maka (sebaiknya) tidak ada hubungan intim di antara mereka. Kuasa laki-laki ialah segalanya, seolah tanpa melihat sudut pandang dari lawannya.
Warren (dalam Susilo & Kodir, 2016) menyebutkan sistem yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan pengontrol utama, menjadikan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh di dalam masyarakat.
Setidaknya, terdapat tiga hal dalam kerangka kerja sistem patriarki di Indonesia. Pertama, cara berpikir dengan nilai-hierarkis, misalnya “atas-bawah”, cara berpikir yang menempatkan nilai, prestise, status sebagai “yang atas” dan yang lainnya “yang bawah”. Kedua, nilai dualisme, misalnya, bersikap oposisional (bukan saling melengkapi), eksklusif (bukan inklusif), status dan prestise, menjadi dasar dualisme ini. Dualisme yang memberikan nilai tinggi pada “akal”, “rasio”, “laki-laki” dan bukan pada “tubuh”,”emosi” dan “perempuan”, dan ketiga, penekanan pada logika dan dominasi, misalnya struktur argumentasi yang membenarkan subordinasi.
Warren (dalam Susilo & Kodir, 2016) menambahkan, pemikiran hierarkis, dualistic (biner), dan menindas ialah pola berpikir maskulin yang mengancam keselamatan perempuan. Perempuan yang harus mengikuti aturan yang dibuat laki-laki, harus bersikap sebagaimana aturan yang dibuat laki-laki, dan berperan hanya sebatas aturan yang dibuat laki-laki.
Bahkan, di wilayah tertentu di Jawa Timur, terdapat ungkapan yang sering kali sangat menyudutkan perempuan, yang ingin berperan, berpendidikan, dan mengembangkan kariernya. “Apa gunanya perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh kembalinya juga bertugas di sumur, dapur, dan kasur. Itu sebenarnya kewajiban seorang perempuan”. Kalimat tersebut tentu tak lagi cocok diungkapkan masa sekarang, pola penguncian perempuan pada aspek-aspek domestik seharusnya sudah ditinggalkan sejak 1900-an.
Dalam UUD 1945, Pasal 27 ayat 1 berbunyi, "Segala warga negara bersama kedudukannya di mata hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ayat dalam pasal itu bukankah sudah jelas bahwa laki-laki dan perempuan tak pernah dibedakan.
Walaupun banyak tokoh perempuan berkiprah di negeri ini yang sejajar dengan laki-laki. Tapi, pandangan patriarki tetap masih cukup kuat di masyarakat. Saatnya perempuan dan laki-laki mempunyai kuasa yang sama dalam keseimbangan dan kemampuan masing-masing. Perempuan sudah seharusnya mendapatkan haknya, berkuasa penuh atas tubuh, pikiran, dan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliknya. Sejarah Indonesia, telah memberikan contoh terbaik melalui sosok Kartini yang membuka ruang kesetaraan bagi kaum perempuan.
Jika perempuan-perempuan dari berbagai masanya saling menguatkan dalam aspek kesetaraan, gerakan atas penerimaan hak kuasa penuh kendali tubuh, pikiran, dan untuk memaksimalkan potensinya bagi perempuan di Indonesia ialah tugas bersama menyukseskannya.
Penulis adalah Pengajar di UIN Jakarta, Pendiri Yayasan AB Jaya Inisiatif, filantrop di dunia kependidikan, dan kini tinggal di Arab Saudi. Artikelnya dimuat kolom Opini Harian Umum Media Indonesia, Sabtu 29 Januari 2022.