Khotmul Quraan II Fikes: Transformasi Puasa pada Kesalehan Sosial

Khotmul Quraan II Fikes: Transformasi Puasa pada Kesalehan Sosial

Ciputat, Berita UIN Online-- Memasuki Jumat kedua Ramadhan, Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) UIN Jakarta kembali menggelar Khotmul Qur’an Putaran Kedua secara virtual pada Jumat (23/4/2021).

Acara yang bertajuk “Ramadhan Sarana Membina Kesalehan Individu Menuju Kesalehan Sosial” itu dimulai dengan pembacaan tahlil dan doa Khotmul Quran. Berkesempatan membuka acara Dekan Fikes Dr apt Zilhadia MSi.

Zilhadia dalam sambutannya mengatakan integrasi nilai keislaman dan kesehatan perlu dikorelasikan dengan mata kuliah di Fikes.

“Ini merupakan bagian dari implementasi dari visi misi Fikes dalam mengintegrasikan aspek keilmuan kesehatan dan keislaman pada tahun 2023,” ujar Zilhadia.

Selain itu, kata Zilhadia, melalui wasilah Alquran yang dibaca semoga semakin mendatangkan keberkahan untuk Fakultas, Universitas, Indonesia, lebih khusus lagi bagi yang membacanya.

Berkesempatan menyampaikan taushiah Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta Suparto MEd PhD.

Suparto menyampaikan fadhilah bersyukur dan juga keutamaan serta kewajiban menjalankan ibadah puasa.

Menurutnya, puasa diibaratkan sebagai sekolah yang inputnya adalah orang-orang beriman dan outputnya adalah orang-orang bertakwa.

Iman dan takwa itu, sambungnya, terefleksi di dalam Ramadhan yang oleh para ahli hadis dibagi menjadi tiga lapisan, rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan dosa), dan itqun minan nar (dibebaskan dari api neraka)”.

“Ketika manusia merasakan dahaga dan lapar, maka kemudian manusia diajak untuk merefleksikan diri dengan orang-orang yang lapar dan dahaga,” ujar Suparto.

Dengan merasakan lapar dan dahaga, lanjutnya, Islam membuat umatnya mengerti definisi lapar dan dahaga dengan praktik sederhana melalui puasa, sehingga melahirkan rasa kasih sayang atau welas-asih untuk saling tolong-menolong dan berbagi ke sesama.

Mengenai kata kasih ini, menurutnya, masyarakat perlu memahami perbedaannya dengan syukur. Selama ini, lanjutnya, ada kebiasaan yang tertanam di masyarakat yang menakar kasih berdasarkan transaksi.

“Kalau dia berbuat baik kepada saya, maka saya akan berbuat baik pada dia. Ketika saya memilih teman, maka akan saya pilih teman yang bermanfaat untuk kehidupan saya. Transaksional, tanpa sadar kata terima kasih itu ketika saya menerima, maka saya mengasih ada satu transaksi,” tegasnya.

Beda dengan kata syukron, sambungnya, yang artinya bersyukur. Itu lepas dari transaksi, syukurnya hamba pada Allah itu adalah non transaksional.

“Karena dalam kondisi apapun, seorang hamba harus bersyukur,” imbuhnya.

Ditegaskannya, rahmat adalah kasih sayang sebagai basis utama peradaban dan kehidupan manusia. Berkembang biaknya manusia di muka bumi karena adanya refleksi manusia dengan manusia yang lain.

Disimpulkannya, puasa itu adalah pengendalian fisik yang bertransformasi pada pengendalian jiwa. Ketika dalam proses puasa mampu mengendalikan jiwa, maka relevan dengan semangat Rasul SAW sepulang perang Badar yang menyatakan itu adalah jihad kecil dan jihad yang besar adalah melawan diri sendiri.

“Puasa individu fisik berubah menjadi pengendalian jiwa yang mewarnai komunitas Muslim melalui pancaran takwanya, sehingga memberikan manfaat baik saat bahagia maupun susah,” tandasnya.

Sebagai penutup, menurut Suparto Ramadhan ini seharusnya menjadi momentum untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya dengan saling tolong-menolong, memberi, dan mengasihi sesama guna mencapai rahmat-Nya.

“Orang-orang yang mampu menjalankan itu adalah orang yang termasuk saleh dalam sosial dan merupakan produk dari puasa untuk pengendalian jiwa agar suci,” tutupnya.

Untuk melihat Taushiah lengkapnya dapat diklik di sini: Ramadhan Sarana Membina Kesalehan Individu Menuju Kesalehan Sosial. (mf/fikes journalist team).