KETIKA NABI MUSA KELAPARAN

KETIKA NABI MUSA KELAPARAN

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Pascasarjana KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kalau ditelisik dalam kitab-kitab tafsir, tampak jelas bahwa ungkapan, “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” adalah doa Nabi Musa. Pertanyaannya adalah mengapa Nabi Musa berdoa seperti itu padahal Nabi Musa berada dalam kondisi biasa saja dan mengapa beliau memberi minum ternak untuk (menolong) keduanya. Apakah yang dimaksud Nabi Musa, “Aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”? Siapakah yang dimaksud “Keduanya” dalam ayat itu? Terakhir, apakah kebaikan yang didapat oleh kaum muslim di negeri ini apabila memanjatkan doa seperti yang diminta Nabi Musa?

Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir dan Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, Nabi Musa berdoa, “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” karena dia sangat lapar dan belum merasakan makanan selama tujuh hari. Dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan yang diminta Nabi Musa adalah sebelah biji kurma. Saat itu lapar yang menimpa Nabi Musa membuat perutnya menempel ke punggungnya. Syaikh Nawawi menambahkan saat itu Nabi Musa berteduh di bawah pohon Samurah untuk menghindari matahari yang sangat terik.

Tentang mengapa Nabi Musa memberi minum ternak untuk (menolong) keduanya, terungkap jawabannya dari ayat sebelumnya, “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya” (QS. al-Qashash/28: 23).

Selanjutnya pengarang Tafsir al-Maraghi dan pengarang Tafsir Jalalain, masing-masing tidak menyebutkan siapa yang dimaksud dengan “keduanya” dalam surat al-Qashash/28 ayat 25 di atas. Sementara Syaikh Nawawi, dengan mengutip Ibnu Ishaq, dikatakan bahwa kedua wanita itu yang besar bernama Safura dan yang kecil adalah Layya. Mereka tidak bisa memberi minum hewan ternak mereka karena tidak mampu bersaing dengan orang lain menuju sumber air. Mereka menunggu peternak lain selesai meminumkan hewan ternak mereka. Inilah makna, “Ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya)”.

Diriwayatkan, seperti ditulis Syaikh Nawawi, ketika Safura dan Layya kembali kepada ayah mereka dari tempat orang-orang yang menggembalakan ternak, sementara perut kambing yang mereka gembalakan tampak penuh (dengan air), maka ayah mereka bertanya, “Apakah yang menyebabkan kalian bisa pulang dengan segera?” Safura dan Layya menjawab, “Kami berjumpa dengan seorang laki-laki shaleh yang membantu kami meminumkan hewan ternak kami”. Lantas, ayah mereka berkata, “Pergilah dan undanglah dia kemari untuk menghadapku” Ada yang berpendapat nama “Bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya” adalah Nabi Syu’aib.

Kisah berikutnya, Allah SWT sampaikan secara apik, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan. Ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami’. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata, ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu itu” (QS. al-Qashash/28: 23). Menurut Syaikh Nawawi, dengan mengutip pendapat para ulama, yang diutus untuk bertemu dengan Nabi Musa adalah Safura, puteri tertua.

Selanjutnya kebaikan yang didapat oleh kaum muslim di negeri ini apabila memanjatkan doa seperti yang diminta Nabi Musa tentu harus diimani bahwa negeri ini akan terbebas dari bahaya kelaparan. Tentu disertai dengan beriman dan bertakwa kepada Allah SWT seperti dalam firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. al-A’raf/7: 96).

Indonesia harus menjadi negeri “Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafuur”. Caranya dengan bersyukur. Ini formula “Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafuur”, seperti firman Allah SWT, “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan),’Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (QS. Saba’/34:15).

Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi, kata “Saba’” dalam ayat ini adalah kabilah Saba. Di sana hidup raja-raja Yaman dalam kenikmatan dan rezeki yang luas. Mereka mempunyai kebun yang subur dan taman-taman yang lapang di sebelah kiri dan kanan lembah. Allah SWT juga telah mengutus para rasul-Nya yang menyuruh agar memakan rezeki Allah SWT dan bersyukur. Namun mereka berpaling dari semua karunia Allah SWT itu hingga akhirnya tersungkur dan hancur. Oleh karena itu, mari kita jaga Indonesia dengan bersyukur dan berbaagi.

Kita tidak ingin negeri kita seperti sebuah negeri yang diungkap al-Qur’an sebagai sebuah negeri yang dahulunya maju dan sejahtera, tapi akhirnya ditimpa azab dan malapetaka. Inilah firman Allah SWT itu, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS. al-Nahl/16: 112).(sam/mf)