Ketika Agama Berjarak dengan Pemeluknya
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal
Apa jadinya suatu masyarakat jika agama dan pemeluknya sedang berjarak? Ketika agama dirasakan terlalu ritual-dogmatis, membatasi, konservatif, tradisional, statis, kaku, tekstual, deduktif, kualitatif, dan terlalu berorientasi masa lampau, atau terlalu jauh meloncat ke hari akhirat.
Sementara itu, lingkungan pacu kehidupan kita dirasakan terlalu rasional, bebas, terkadang liberal, dinamis, mobile, canggih, kontekstual, kuantitatis, induktif, berorientasi kekinian-kedisinian; ketika hati dan pikiran tidak lagi merasakan kesejukan sentuhan agama atau ketika pola hidup sehari-hari kita semakin berjarak dengan ajaran luhur agama.
Ketika uang banyak, harta melimpah, jabatan tinggi, kedudukan strategis, pekerjaan mapan, anggota keluarga sukses, suami atau istri serasi, relasi usaha banyak, rumah besar, dan kendaraan cukup. Akan tetapi, belum mengantarkan kita kepada ketenangan, kebahagiaan, dan ketenteraman, bahkan hidup dan kehidupan ini terasa gersang, kering, dan hambar.
Ketika kenyamanan tidak lagi bisa terasa di dalam hotel berbintang, ketika kelezatan tidak lagi bisa terasa di restoran mewah, ketika kesejukan tidak lagi bisa dirasakan di sela rindangnya pepohonan, ketika kemerduan dan keindahan tidak lagi terasa saat mendengar kicau burung dan derunya ombak, ketika kebahagiaan tidak lagi bisa dirasakan di tengah tawa-canda keluarga, ketika keterharuan tidak lagi terasa di tengah kerumunan teman-teman semasa remaja, ketika kerinduan tidak lagi muncul saat menatap dalam-dalam foto wajah ibu, dan ketika air mata cinta tidak pernah lagi terurai di atas sajadah, kita harus segera istigfar dan bertobat.
Keadaan tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa kita sedang gamang menjalani kehidupan ini. Kita membutuhkan sesuatu yang lain. Kita harus menyiapkan waktu khusus untuk mencari sesuatu itu sebelum terlambat. Di saat-saat seperti ini kita perlu menyiapkan waktu khusus untuk melakukan kontemplasi/berkhalwat, menelusuri relung paling dalam jiwa kita.
Di saat-saat seperti ini kita memerlukan konsultan spiritual atau melakukan kontemplasi lebih mendalam untuk merenungi makna dan hakikat hidup. Saat-saat seperti ini boleh jadi bentuk lain dari undangan Tuhan untuk mengembalikan diri kita lebih intensif kepada-Nya. Kita perlu ibadah-ibadah khusus atau melakukan wisata rohani yang terprogram di bawah bimbingan seorang ‘guru spiritual’.
Jika kita melakukan pembiaran kegamangan hidup ini terjadi maka akan berdampak lebih jauh, yakni hidup dirasakan kurang bermakna, hidup ini hambar, kering, dan membosankan. Akibatnya lebih lanjut kekecewaan hidup semakin sering terjadi dan pada saatnya daya tahan tubuh berkurang, dan berbagai penyakit fisik dan psikologis juga akan ikut membebani diri kita.
Rekreasi ke luar negeri sekalipun tidak lagi menyenangkan, keluarga lebih sering dirasakan sebagai ‘penjara’ yang membosankan. Masjid dan ulama tidak lagi menenangkan dan mencerahkan, tetapi lebih terasa menambah ‘beban’ agama di pundak.
Kegamangan hidup sebagaimana digambarkan di atas harus segera diatasi karena lebih jauh akibatnya bisa mendorong diri kita untuk menyelesaikan kelabilan hidup ini dengan cara nekat, seperti bunuh diri atau mencelakakan orang lain. Keadaan seperti ini juga sering mendorong orang mencari jalan pintas untuk menenangkan diri dengan sesuatu yang terlarang, seperti mencandu narkoba, bergabung dengan kelompok garis keras yang menawarkan jalan pintas ke surga dengan melakukan bom bunuh diri, atau perbuatan-perbuatan lain yang melawan hukum.
Akhirnya, kita semua semakin sadar bahwa teori kepuasan hidup Abraham Maslow (1908-1970) tidak cukup. We need more! Yang kita butuhkan sesungguhnya ialah kedekatan diri dengan Tuhan (taqarrub ila Allah). Kepuasan sejati berujung ke Sana. Al-gina gina al-nafs (kekayaan sejati adalah kekayaan batin).
Sumber: Media Indonesia, Selasa 05 April 2022. (sm/mf)