Keteladan Nabi Ibrahim

Keteladan Nabi Ibrahim

 

Oleh Prof. Dr. H. Masri Mansoer, MA

SEGALA puji bagi Allah Tuhan semesta alam atas limpahan rahmat, karunia, izin, taufik dan hidayah-Nya, insya Allah beberapa hari lagi kita akan melaksanakan salah satu ritual ibadah yaitu ibadah Haji dan Kurban. Ibadah haji dan kurban tahun ini tidak seperti biasanya, jamaah haji berasal dari berbagai penjuru dunia, tetapi tahun ini hanya sebagian kecil saja akibat wabah korona. Kita memohon kepada Allah agar kita dilindungi dari misibah korona ini dan kiranya Allah segrakan  mengangkat korona dari muka bumi ini khususnya dari bumi Indonesia, agar kita dapat beraktivitas seperti biasa terutama dalam beribadah kepada Allah. Amin.

Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para penerusnya hingga hari akhir nanti. Semoga kita semua dapat merujuk dan meneladani beliau dalam berbagai aspek kehidupan kita.

Bagi kita yang tidak menunaikan ibadah haji disunatkan untuk berkurban bagi yang manpu. Dengan simbol berkurban, berarti kita telah menyembelih sifat-sifat kebinatangan kita, kesombongan, keangkuhan, kecongakan, egoisme, kerakusan, kelobaan, ketamakan, ketidak solideran, hubbud dunya dan memperturutkan syahwat. Mari kita pakaikan dalam diri kita baju takwa, istiqamah, qanaah, ‘iffah, tawaduk, dan ikhlas. Sebab manusia yang kuat dan mulia dalam pandangan Allah adalah orang yang paling takwa sebagaimana arti firman-Nya: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengabarkan” (QS al-Hujarat: 13).

Marilah kita campakkan jauh-jauh sifat dan baju kerakusan, kesobongan, keangkuhan, kecongkaan dan egoisme yang mungkin kita pakai dan praktikkan selama ini. Semua baju dan sifat negatif itu akan menjauhkan kita dari rahmat dan ampunan Allah SWT. Sebab apa pun pangkat dan kebesaran yang kita miliki, semuannya kecil dan tidak berarti di hadapan Allah. Betapa pun kekayaan dan kekuatan kita, miskin dan lemah dihadapan Allah SWT. Betapa pun hebatnya kekuasaan dan pengaruh yang kita miliki, tidak berdaya dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa.

Kurban yang berasal dari kata qa-ra-ba yang artinya “dekat”, berkurban dengan penyembelihan hewan kurban adalah media mendekatkan diri kepada Allah SWT, menumbuhkan solidaritas sosial serta mendekatkan jarak antara si kaya dan si miskin dengan membagikan daging hewan kurban. Dengan berkurban akan terbangun rasa kesetiakawanan, kebersamaan dan empati antarsesama muslim. Karena seorang muslim dengan muslim yang lain itu seumpama satu jasad (kal jasadi) yang bila sakit salah satu bagian tubuh maka akan merasa sakit bagian tubuh yang lainnya. Dan juga bagaikan sebuah bangunan (kalbunyanu) dimana bagian yang satu menguatkan bagian yang lainnya.

Dengan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk tanda syukur dan bentuk ujian ketakwaan dan kecintaan kepada Allah, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Nabi Ibrahim AS. Bahkan Allah katakan kita belum disebut orang yang berbuat baik (birri) kalau belum manpu menginfakkan dan berkurban dengan harta kekayaan yang kita cintai sebagaimana arti firman Allah: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya” (SQ Ali Imran: 92).

Di antara inti semua ibadah dalam Islam adalah untuk mendidik manusia agar memiliki kepeduliaan dan solidaritas sosial. Seperti shalat mendidik kita untuk peduli kepada orang kanan-kiri (sekeliling) kita yang tidak manpu, puasa melatih kita merasakan laparnya kaum fakir miskin, zakat melatihkan tentang berbagi dan tolong menolong, dan haji menempa untuk tidak serakah dan kerja sama. Melalui ibadah kurban ini mari kita bangun dan tingkatkan kesetiakawanan, kebersamaan, saling tolong-menolong dan berbagi di antara sesama kita sehingga tidak ada anggota masyarakat kita yang kelaparan tidak makan, yang sakit tidak bisa berobat dan tidak bisa bersekolah karena tidak punya dana terutama akibat wabah Covid-19 ini.

Ada pola hidup manusia yang dikotomis-kontras sepanjang sejarah yaitu: 1) pola hidup mengutamakan mencari kebaikan akhirat dan pahala yang banyak (QS al-Kautsar); 2) pola hidup yang mengutamakan kenikmatan materi dan bebangga-bangga dengan kenikmatan materi sampai maut menjemput mereka (QS at-Takatsur).

Pola hidup al-kautsar berusaha selalu melakukan kebaikan yang banyak dengan mendirikan shalat tepat waktu, benar dalam shalatnya (membangun komunikasi/konektivitas yang intens dengan Allah), berinfak, dan berkurban dengan apa yang dicintainya bahkan dengan jiwa raganya sekalipun. Pola hidup inilah yang disimbolkan oleh Habil, putra Adam AS, yang selalu taat kepada Allah, ikhlas memberikan infak dan kurbannya dengan harta kekayaan terbaik miliknya dan Allah menerima kurbanya. Inilah karakter muslim-sosialis. Inilah sejarah awal dari ibadah kurban.

Sebaliknya pola hidup materialis-kapitalis, orientasi hidupnya untuk mencari materi-hedonistik sebanyak mungkin bahkan dengan cara-cara memanipulasi, propokasi, korupsi, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta dan kekayaan, pangkat dan jabatan serta popularitas. Inilah simbol Qabil yang ghurur dan hubuddunya, tidak berinfak, berkurban dengan harta kekayaan yang terbaik dan tidak ikhlas dalam beribadah, kurbannya ditolak oleh Allah, makanya dia membunuh Habil, kakaknya, karena kurbannya tidak ditolak oleh Allah. Perseteruan karakter Habil dan Qabil selalu mewarnai sepanjang sejarah dinamika umat manusia, yaitu kelompok manusia yang lebih mencintai Allah dan kelompok manusia lebih mencintai dunia. Ibrahim dan keluarganya adalah orang yang lebih mencintai Allah dari pada yang lainnya. Semoga kita terjauh dari pola hidup at-takatsur dan karakter Qabil ini. Allah berfirman yang artinya: “(1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. (2) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (3) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus” (QS al-Kautsar: 1-3). “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur” (QS al-Takatsur: 1-2).

Kisah kurban mengingatkan kita kepada sosok Ibrahim AS, Ismail dan Hajar. Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah SWT menempatkan istrinya Hajar bersama anaknya Ismail AS, bayi di lembah sunyi, tandus, gersang, tidak ada pepohonan dan makanan, yaitu Bakkah (Mekkah). Hajar dan Ismail ditinggalkan di sana oleh Ibrahim AS. Dan Ibrahim tinggal di Palestina berjarak 1600 KM dari Mekkah, ditempuh dalam waktu 200 jam (8 hari lebih naik unta atau berjalan kaki).

Mari kita coba renungkan dan rasakan sejenak, betapa berat dan sedihnya hati Hajar ditinggalkan dengan anak yang masih bayi tanpa ditemani suami, tidak ada bekal makanan dan kehidupan. Nabi Ibrahim maupun istrinya, Hajar, menerima perintah itu dengan iman, ikhlas dan tawakal, karena dengan itu semua akan menjadi mudah dan dapat diatasi. Keimanan, keikhlasan, dan ketawakalan menjadi pondasi yang kuat menegakan kebenaran, modal penting dalam membangun rumah tangga yang sakinah ma waddah wa rahmah, banyak keluarga yang dewasa ini hancur berantakan karena tidak dilandasi dengan keimanan, keikhlasan, dan ketawakalan. Keimanan dan keikhlasan juga penting dalam membangun masyarakat, pemerintahan dan negara, karena betapa banyak kita lihat oknum pemerintahan, anggota deawan, para penjabat di tingkat pusat sampai daerah, karena tidak berimanan dan ikhlas berurusan dengan hukum dan bahkan dipenjara, na`uzubillah minzalik.

Akibat negara dan bangsa ini kurang diurus oleh oknum-oknum yang tidak ikhlas dan kurang beriman, setiap tahunnya negara mengalami kebocoran yang berasal dari penyalahgunaan wewenang, korupsi dan manipulasi. Banyaknya tindakkan korupsi dan penyelewengan tidak lepas dari ketidakpahaman akan esensi ibadah dalam Islam. Ibadah hanya dipahami sekedar menggurkan kewajiban saja tidak mengubah yang bersangkutan untuk bersikap ikhlas, amanah dan rela berkurban. Sikap ikhlas, amanah dan rela berkurban ini jika diimplementasikan dalam kehidupan dalam berbangsa dan bernegara tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan masyarakat dan bangsa.

Sejarah kurban bermula dari ujian terhadap Nabiyullah Ibrahim yang diperintah mengurbankan anaknya Ismail. Karena lulus ujian ini, Allah memberinya kehormatan sebagai “Khalilullah” (kekasih Allah). Predikat ini karena Ibrahim lulus dalam ujian ketakwaan dan kecintaan kepada Allah melebihi dari cintanya kepada keluarga dan anaknya. Karena itu kalau kita mau menjadi kekasih Allah kita harus beriman, bertakwa dan mencintai Allah melebihi cinta kepada yang lainnya. Seperti firman Allah yang artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS as-Shaffat: 102).

Setelah Ibrahim mendapat perintah penyembelihan putranya melalui mimpi dia musyawarahkan dengan anak dan istrinya, diluar dugaan Ibrahim bahwa Ismail dan Hajar sangat setuju dengan perintah Allah itu dilaksanakan dengan jawaban Ismail: “Hai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepada ayah, insya Allah ayah akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar”. Bahkan jawaban Hajar: “Jika ini memang benar perintah Allah akupun siap disembelih sebagai pengganti Ismail”. Inilah contoh demokrasi dan keterbukaan yang diajarkan oleh keluarga Ibrahim, mungkin bagi sebagian kita bila sesuatu perintah yang memberatkan atau merugikan, kita akan tutupi dan sembunyikan untuk tidak diketahui dan dilaksanakan.

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah itu. Iblis datang menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail silih berganti untuk membatalkan niatnya, tetapi tidak tergoyahkan. Mereka melempar iblis dengan batu, mengusirnya pergi dan Iblispun lari tunggang langgang. Ini bukti keteguhan cinta tiga orang hamba Allah kepada Khaliknya melebihi cintanya terhadap diri, keluarga dan hartanya. Makanya Allah memberi “Khalilullah” (kekasih Allah). Bagaimanakah cinta kita kepada Allah, kalau hanya berkurban dengan seekor kambing/domba saja kita masih berat dan belum sanggup.

Simbol melempar iblis menjadi salah satu rangkaian ritual ibadah haji yakni melempar jumrah; jumratul ula, wustha, dan aqabah di Mina. Karena itu bagi jamaah haji yang pulang ke tanah air sejatinya telah melemparkan iblis dan syetannya di sana dan menjadi haji yang mabrur, tetapi realitasnya belum demikian.

Pada saat prosesi penyembelihan dilakukan Allah SWT memerintahkan Jibril untuk mengambil seekor kibas/domba dari surga sebagai gantinya. Dan Allah SWT berseru dengan firman-Nya, menyuruh Ibrahim menghentikan perbuatannya, tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridloi ayah dan anak yang memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an yang artinya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar, (108) Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (109) (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim" (110) Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS as-Shaffat: 107-110)

Menyaksikan penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia, Malaikat Jibril menyaksikan ketaatan keduanya, setelah kembali dari surga dengan membawa seekor kibas, kagumlah ia seraya terlontar darinya ungkapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menyambutnya “Laailaha illahu Allahu Akbar”. Kemudian disambung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu”.

Inilah sejarah ritual korban yang kita amalkan sampai sekarang. Allah tidak memerintahkan kepada kita menyembelih anak kita, cukup binatang ternak, baik kambing, sapi, kerbau dan lainnya. Sebab Allah tahu, kita tidak akan mampu menjalaninya, jangankan memotong anak kita, memotong sebagian harta kita untuk menyembelih hewan kurban saja, kita masih terlalu banyak berfikir, memotong 2,5% harta kita untuk zakat, kita masih belum mengelak. Memotong sedikit waktu untuk shalat lima waktu berjamaah, kita masih merasa rugi dan sebagainya. Begitu banyak dosa dan pelanggaran yang kita kerjakan, yang membuat kita jauh dari Rahmat Allah SWT. Semoga kita selalu dibimbing oleh dalam meneladani Nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail dalam kecntaan kepada Allah dan kerelaannya berkurban. Wallahu’alam. (ed: ns)

 * Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

** Lihat juga di https://youtu.be/MUypkhNgPdI