Kesempatan Emas
JARANG-JARANG Indonesia mendapat tempat dalam laporan khusus secara ekstensif dan positif dari media internasional. Memang, seperti dikutip pada paragraf awal laporan khusus majalah The Economist (12-18 September 2009), tentang Indonesia sepanjang 18 halaman, negara-negara tertentu baru bisa menjadi headlines jika ada 'berita jelek' tentang negara-negara tersebut. Dan, Indonesia menjadi berita internasional karena berita-berita jelek tersebut, khususnya dalam 10 tahun terakhir; sejak dari kekerasan antaretnis dan agama, krisis ekonomi sejak akhir 1997 yang memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kekuasaan pada Mei 1998, ancaman disintegrasi Indonesia, pengeboman Bali 2002 dan serangan-serangan bom 'bunuh' lainnya, tsunami Aceh akhir 2004, dan seterusnya.
Namun, sesungguhnya Indonesia tidak sejelek pemberitaan semacam itu. Indonesia yang disebut The Economist pernah berada pada tubir 'kiamat' 10 tahun silam, kini memiliki golden chance (kesempatan emas) untuk menjadi jauh lebih baik. Kesempatan emas itu tentu saja kembali berada di tangan Presiden SBY yang bakal dilantik kembali untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober 2009. Memang laporan khusus The Economist ini memberikan banyak kredit kepada Presiden SBY yang dalam masa pemerintahan pertamanya berhasil menciptakan stabilitas politik yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Kesempatan emas. Ada empat alasan besar The Economist untuk optimis terhadap masa depan Indonesia lebih baik. Walaupun, hemat saya, alasan-alasan tersebut dapat dipersoalkan. Pertama, menurut The Economist, dalam beberapa tahun ke depan, kombinasi pertumbuhan usia muda dengan menurunnya angka kelahiran, Indonesia bakal mengalami peningkatan rasio penduduk usia kerja. Bahkan, tahun depan lebih dari separuh penduduk Indonesia akan berada di wilayah urban, yang berarti meningkatnya konsumsi--sumber pokok pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Alasan pertama ini, hemat saya, questionable. Alasannya sederhana. Ledakan penduduk usia kerja sampai sekarang belum bisa diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja baru. Karena itu, ledakan usia kerja berarti meningkatnya pengangguran penduduk usia produktif, yang menimbulkan berbagai konsekuensi sosial dan politik. Karena itu, kalau alasan ini dapat diterima, tidak ada alternatif lain kecuali peningkatan lapangan kerja secara besar-besaran. Dan, ini berarti harus ada investasi besar-besaran pula, baik dengan modal dalam negeri sendiri maupun luar negeri. Dan kita tahu, belum terlihat tanda-tanda meyakinkan bagi investasi besar-besaran tersebut.
Alasan kedua The Economist untuk optimis adalah pengendalian fiskal dalam beberapa tahun terakhir sehingga pemerintah memiliki dana memadai untuk memperbaiki infrastruktur dan fasilitas publik yang telantar. Lagi-lagi alasan ini dapat pula dipertanyakan banyak orang. Hingga sekarang ini, pemerintah masih menghadapi berbagai masalah dalam pengembangan infrastruktur. Ketersediaan dana yang memadai tetap menjadi hambatan. Selain itu, tidak mudah merealisasikan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, misalnya, yang menghadapi kesulitan besar dalam pembebasan lahan karena inflasi harga oleh masyarakat sendiri. Akibatnya, target-target untuk pembangunan jalan raya jauh daripada tercapai sampai sekarang. Karena itu, agar pembangunan infrastruktur yang sangat vital bagi peningkatan investasi dapat terlaksana dengan baik, pemerintah perlu melakukan terobosan-terobosan kebijakan drastis.
Alasan ketiga menurut The Economist adalah terpilihnya SBY kembali sebagai presiden memberikan mandat lebih besar baginya untuk melaksanakan berbagai penataan kembali (reforms) yang dibutuhkan Indonesia. Walaupun terpilihnya dia kembali dalam catatan The Economist terkait banyak dengan reputasinya sebagai pejuang dalam pemberantasan korupsi dan juga karena kebijakannya membagi-bagikan uang kontan [BLT] kepada orang-orang miskin. Hemat saya, alasan ketiga ini juga problematis. Memang Presiden SBY kini memiliki mandat dan bahkan kekuatan politik sangat besar, bukan hanya sebagai eksekutif, tetapi juga di lembaga legislatif; tetapi terdapat peningkatan pesimisme kalangan publik terhadap pemberantasan korupsi, misalnya, karena kini sedang terjadi 'penyunatan' otoritas KPK melalui berbagai cara.
Alasan keempat untuk optimis adalah bakal berlanjutnya stabilitas politik. Tetapi, The Economist juga mencatat masih terdapatnya banyak kelemahan dalam sistem elektoral dan kesenjangan-kesenjangan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif yang bersumber dari Konstitusi [UUD 1945 dengan segala amandemennya]. Bahkan dalam pandangan majalah ini, demokratisasi di Indonesia terlihat kacau, dan karena itu memerlukan pembenahan-pembenahan seperlunya.
Memang terdapat cukup alasan bagi berlanjutnya stabilitas politik Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dan, Presiden SBY sendiri kelihatan berusaha memastikan hal tersebut dengan berupaya membangun koalisi yang 'sempurna' dan 'menyeluruh', baik pada lembaga legislatif maupun eksekutif. Yang terakhir ini, misalnya, dengan menyertakan berbagai kekuatan politik termasuk yang pernah berseberangan dengan dia ke dalam kabinet. Dengan begitu, keriuhan politik yang dapat mengancam stabilitas politik dapat diminimalisasi.
Optimisme The Economist yang dalam hal-hal tertentu questionable itu, bagaimanapun boleh jadi merupakan pelipur lara bagi Indonesia. Optimisme penting bagi bangsa ini. Bahwa optimisme itu mengandung masalah-masalah tertentu, perlulah antisipasi menyelesaikannya, supaya optimisme itu tidak ilusif; dan kesempatan emas itu lepas dari genggaman. **
* Azyumardi Azra adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
**Artikel ini dimuat di rubric Resonansi Harian Umum Republika, Kamis, 1 Oktober 2009
Â