Kesabaran Kolektif
Dr Muhbib Abdul Wahab MA
Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum Imla Nasional
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia tampaknya belum mereda. Jumlah yang positif terpapar Covid-19 maupun korban meninggal terus bertambah. Hal ini berarti bahwa jihad kolektif lawan Covid-19 dan aneka bencana lainnya menghendaki ketahanan mental spiritual yang tangguh.
Salah satu ketahanan mental spiritual itu adalah kesabaran kolektif. Mengapa kesabaran kolektif sangat penting, terutama dalam menghadapi situasi genting? Karena kesabaran kolektif itu merupakan energi positif yang dahsyat berbasis prinsip kemaslahatan bersama. Kesabaran kolektif itu merupakan benteng pertahanan diri yang kokoh untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan demi kebaikan semua.
Kesabaran kolektif itu harus menjadi mentalitas tangguh dalam menghadapi pandemi, dengan dibarengi pendekatan diri kepada Allah melalui salat, berdoa, dan bertawakal kepada-Nya. Kesabaran kolektif itu sarat optimisme dan pertolongan Ilahi karena memang Allah selalu membersamai dan mencintai orang-orang yang sabar (QS al-Baqarah [2]: 153 dan 177, Ali Imran [3]: 146).
Kesabaran kolektif itu dapat menghadirkan sikap dan berpikir positif, berbaik sangka kepada Allah sekaligus ridha terhadap ketentuan-Nya. Kesabaran kolektif mengantarkan manusia sebagai hamba yang “dimiliki”, bukan memiliki kehidupan ini. “Orang-orang yang sabar itu apabila ditimpa musibah, mereka berkata bahwa “Sesungguhnya kami ini milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali.” (QS al-Baqarah [2]: 156).
Hasil riset David deSteno dan tim di Northeastern University terhadap 105 responden, menunjukkan bahwa orang sabar itu memiliki kebiasaan unik: ramah dan mudah bersyukur. Disebutkan dalam jurnal Emotion, sikap terima kasih dan mudah bersyukur ternyata bisa membantu orang bersikap sabar. Orang yang ramah memiliki kesabaran lebih kuat dan mampu mengendalikan diri, tidak mudah marah, memiliki imunitas tubuh, dan daya juang tinggi.
Kesabaran kolektif itu diyakini kunci kemenangan karena orang sabar selalu optimistis dan pantang menyerah dalam menghadapi musibah. Orang sabar memiliki karakter positif, selalu mencari solusi, tidak berkeluh kesah salain kepada Allah. Kekuatan sabar membuatnya istikamah beribadah personal dan sosial. “Dan orang-orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS a-Ra’d [13]: 22)
Integrasi sabar dan salat itu ditunjukkan oleh Allah sebagai jalan kemenangan dan penuh harapan untuk memperoleh pertolongan-Nya. “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar”. (QS al-Baqarah [2]: 153). Oleh karena itu, jihad lawan Covid-19 tidak cukup dengan pendekatan klinis, medis, dan sosiologis, tetapi juga harus ditopang kesabaran kolektif, salat, zikir, doa, istighfar, tobat, dan sedekah.
Dengan demikian, esensi kesabaran kolektif adalah berdisiplin positif, menahan diri dengan tidak menyalahi protokol kesehatan, membudayakan pola hidup sehat dan bersih, dan membugarkan iman dan imun tubuh. Di masa pandemi ini, kesabaran kolektif menjadi ujian bersama dengan menahan diri, membetahkan hati untuk menjaga diri agar tidak tertulari dan menulari, menjauhi kerumunan, menjaga jarak dengan sesama, tetap memakai masker, dan disiplin mencuci tangan.
Selain itu, kesabaran kolektif itu harus menjadi komitmen moral semua disertai niat yang tulus karena Allah semata. Sebab, pahala sabar secara kolektif itu pasti sangat besar di mata Allah. “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS az-Zumar [39]:10). Kekuatan kesabaran kolektif itu diharapkan dapat menembus pintu langit, untuk menggapai pertolongan, perlindungan, dan kasih sayang Allah SWT.
Jadi, energi kesabaran kolektif itu sangat dahsyat, terutama dalam menghadapi pandemi dan musibah seperti saat ini. Alquran bahkan menjadikan sabar sebagai syarat utama belajar agar dapat meraih ilmu, seperti dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS. Karena dalam proses pembelajarannya kurang sabar, Nabi Musa AS akhir harus berpisah dengan gurunya, Khidir AS. Artinya, kesabaran itu harus modal spiritual untuk menghadapi aneka kesulitan dan ujian, termasuk ujian pandemi.
Oleh karena itu, Allah menghendaki umat Islam meneguhkan kesabarannya tanpa batas. Kesabaran kolektif itu mamang harus sepanjang hayat, bukan temporer, terutama selama pandemi belum sirna. “Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 200). Jadi, kesabaran kolektif harus menjadi benteng pertahanan mental spiritual dalam melawan dan memenangi pandemi, karena “Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan”. (QS al-Insyirah [94]: 5-6).
Sumber: Hikmah Republika, Kamis, 11 Februari 2021. (mf)