Kepala SPI Abdul Hamid Cebba: Gratifikasi Bersifat Netral
Gedung Rektorat, BERITA UIN Online – Kepala Satuan Pengawasan Internal (SPI) UIN Jakarta Abdul Hamid Cebba mengatakan bahwa gratifikasi memiliki arti atau bersifat netral. Oleh karena itu tidak semua gratifikasi merupakan hal dilarang atau sesuatu yang salah.
Hal itu dikatakan Abdul Hamid Cebba dalam keterangan tertulisnya yang disampaikan kepada BERITA UIN Online di Gedung Rektorat, Senin (1/11/2021).
Cebba mengatakan, tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih harus dilakukan dengan partisipatif, transparan, dan akuntabel. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 18 Tahun 2020. PMA ini menjadi bukti keseriusan Kemenag dalam mengokohkan tata kelola pemerintahan di lingkungan Kemenag.
“Pencegahan korupsi ini menjadi perencanaan program nasional,” katanya.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu, gratifikasi adalah semua pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Oleh karena itu gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tidak semua gratifikasi merupakan hal dilarang atau sesuatu yang salah.
Kriteria gratifikasi yang dilarang, lanjut dia, adalah gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan. Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak wajar.
“Gratifikasi juga merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001,” ujar Cebba.
Dikatakan, pengendalian gratifikasi adalah bagian dari upaya pembangunan suatu sistem pencegahan korupsi. Sistem ini bertujuan untuk mengendalikan penerimaan gratifikasi secara transparan dan akuntabel melalui serangkaian kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif badan pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat untuk membentuk lingkungan pengendalian gratifikasi.
UIN Jakarta, kata Cebba, saat ini telah melakukan dua kebijakan pengawasan dalam mencegah terjadinya gratifikasi. Pertama, kebijakan pengawasan inti, meliputi pengawasan intern yang tujuannya untuk kesejahteraan rakyat.
Kedua, pengawasan fokus, yang meliputi pengawasan intern untuk pencegahan korupsi. Pencegahan gratifikasi bukan pada aspek formal saja, melainkan menjadi kesadaran bersama intern pribadi yang meliputi aspek budaya, aspek tata kelola, dan aspek pengendalian sistem.
Gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Seluruh pegawai dapat melaporkan kecurigaan tindakan gratifikasi kepada Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) dalam waktu 30 hari.
“Jika tidak maka dianggap suap. Jadi, jika terbukti suap yang merupakan tindak pidana maka ada konsekuensi pidananya,” katanya.
Cebba lebih lanjut menjelaskan, menurut UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001, sedikitnya ada 30 jenis jenis korupsi yang dikelompokkan menjadi kerugian negara, suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasaan, perbuatan curang, dan konflik kepentingan dalam pengadaan.
Secara teori, korupsi terjadi karena tekanan dari lingkungan, kesempatan dalam sistem yang lemah, dan pembenaran atas perbuatan yang dilakukan. Selain itu korupsi juga terjadi karena kapasitas atas kemampuan dalam jabatan, wewenang, otoritas, kedudukan yang dimiliki.
“Strategi pemberantasan korupsi ini ada di tangan KPK, meliputi penindakan, pencegahan, dan pendidikan,” jelas Cebba.
Sementara kunci diri pencegahan korupsi, antara lain, jangan mau menjadi korban dan jangan mau jadi pelaku. Selain itu, ada sembilan nilai anti korupsi yang disepakati oleh seluruh instansi di Indonesia, yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. (ns)