Kepala Mahad Jamiah: Inilah 3 Indikator Orang Bertakwa Usai Ramadhan

Kepala Mahad Jamiah: Inilah 3 Indikator Orang Bertakwa Usai Ramadhan

Ciputat, BERITA UIN Online-- Ciri-ciri orang yang sukses puasa Ramadhan itu di antaranya ada tiga indikator. Demikian disampaikan Kepala Mahad Jamiah UIN Jakarta Dr Akhmad Sodiq MA dalam ceramahnya pada acara Khotmul Quran Putaran IV Fikes UIN Jakarta secara virtual pada Jumat, (7/5/2021).

Sodiq mengutip firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 133-134 yang artinya “Bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan menuju surganya yang luasnya seluas langit dan bumi disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Selanjutnya, di ayat 134, disebutkan tiga ciri orang yang bertakwa, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat senang dan pada saat susah, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Sodiq menjabarkan, indikator pertama adalah dermawan, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya di kala senang maupun susah, di kala rizkinya lapang maupun sempit.

“Inilah yang disebut dengan dermawan. Maka orang yang bertakwa adalah orang yang dermawan. Semakin dermawan, maka semakin tinggi tingkat ketakwaannya kepada Allah,” ujar Sodiq.

Menurutnya, orang dermawan itu adalah orang yang mau berbagi, walaupun ketika tidak punya harta untuk disedekahkan, dia sedekah dengan jabatannya, jika tidak punya jabatan, dia sedekah dengan ilmunya. Ketika keilmuannya terbatas, dia sedekah dengan pikirannya. Ketika pikirannya terbatas, dia sedekah dengan tenaganya. Ketika tenaganya terbatas, dia sedekah dengan senyumnya, ketika dia bermasalah dengan senyum, doalah yang menjadi sedekahnya.

“Jika tidak mampu berdoa, maka diamnya adalah sedekahnya, karena dengan diam berarti dia tidak membuat masalah,” imbuhnya.

Untuk menjadi dermawan, Sodiq menjelaskan, kuncinya hanya satu, yaitu bersikap zuhud terhadap dunia. Dikutipnya, ulama sufi mengatakan, shohibid dunya bibadanin, wa farriqhu bilqolbi. Genggamlah dunia dengan tanganmu, jangan kau masukkan ke dalam hatimu, sehingga ketika ia lepas dari genggamanmu, tidak sampai menyakitkan dan menyusahkan hatimu.

“Begitu juga orang dermawan, baginya dunia ini sepele, yang kata Nabi SAW seperti sayap nyamuk, tidak ada harganya di matanya, maka ia mudah berderma, terlebih lagi di saat pandemi seperti ini, apalagi di bulan Ramadhan,” tandasnya.

Indikator kedua, kata Sodiq, ciri orang yang bertakwa adalah orang-orang yang mampu menahan dan meredam amarahnya (wal kaazhimiinal ghoizho), kemampuan mengelola emosinya sangat canggih.

“Maka demikianlah orang yang bertakwa, yang mampu menahan amarahnya, sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya tidak tahu kalau ia sedang marah,” kata pengasuh Majelis Zikir dan Ta’lim Mihribul Muhibbin Peruri Ciputat itu.

Selanjutnya, dosen Akhlak Tasawuf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan itu mengutip kisah Nabi Ibrahim dalam hadis Shahih Bukhori.

Diceritakannya, tatkala Nabi Ibrahim dilempar ke api menggunakan manjanik, ketapel besar dengan batu sebesar rumah, maka kondisi di sekitarnya menjadi heboh. Tanah memohon izin kepada Allah untuk membuat gempa, agar api mati tertelan gempa. Angin meminta izin kepada Allah untuk membuat taufan agar apinya tercerai berai. Air meminta izin kepada Allah untuk membuat banjir besar, agar apinya mati tersiram air. Bahkan malaikat Jibril menawarkan bantuan kepada Nabi Ibrahim AS. Kata Jibril, “Apa yang perlu aku lakukan wahai Ibrahim?” Dengan santai Nabi Ibrahim menjawab, “Aku tidak butuh kepadamu, aku hanya butuh kepada tuhanmu, Allah SWT, Hasbunallah wani’mal wakil, cukuplah Allah sebagai penolongku.”

“Di saat semuanya panik, Nabi Ibrahim santai, karena emosinya stabil, di hatinya hanya ada Allah SWT, sumber ketenangan dan kedamaian,” tegasnya.

Ketika itu, lanjut Sodiq, Allah berfirman, “Yaa naaru kuunii bardan wa salaman alaa ibrahim.” Hai api, jadilah dingin yang menyelamatkan Ibrahim. Akhirnya masalah selesai tanpa menimbulkan kehebohan, tidak ada yang rusak, tidak ada gempa, tidak ada topan, tidak ada banjir terselesaikan dengan cara yang terbaik.

“Masalah bisa diselesaikan secara baik-baik dengan emosi yang stabil, sehingga tidak menimbulkan konflik,” terangnya.

Ditegaskannya, dengan ketakwaannya, emosinya menjadi stabil, hatinya tenang, tidak mudah terprovokasi, tidak mudah terpancing, tidak mudah tersinggung, tidak mudah oleng, dan tidak mudah menyebarkan berita hoaks.

Tolok ukur kualitas ketakwaan seseorang itu, papar Sodiq, lihatlah saat dia dalam kondisi marah. Ketika dia dalam kondisi marah, namun tetap terjaga ucapannya, tindakannya masih berada dalam koridor quran hadis, tetap keluar kata-kata yang bijak, tidak menyakiti orang lain, maka dia masuk kategori muttaqin.

“Tapi kalau ketika dia marah, dari mulutnya keluar kata-kata kotor dan menyakitkan, perbuatannya keluar dari koridor quran dan hadis, maka dia masuk ke dalam kategori fasik,” imbuhnya.

Ciri yang yang ketiga, ungkap Sodiq, wal aafiina anin nas, orang yang mau memaafkan kesalahan saudaranya.

“Kalau ada saudaranya yang mempunyai kesalahan kepadanya, ia mudah memaafkan. Kalo dia yang punya salah, tidak gengsi untuk minta maaf,” katanya.

Diterangkannya, orang yang pemaaf adalah sang pemenang, karena memaafkan itu berarti berada dalam posisi yang tidak bersalah. Orang yang minta maaf itulah yang salah.

Maka orang yang memaafkan itu, sambungnya, posisinya menang, di atas angin. Kemenangan Idul Fithri ini, menurut Sodiq, hanya mampu diraih oleh orang-orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, bahkan memaafkan orang-orang yang menyakiti dan menzholiminya.

“Semoga tiga ciri-ciri orang bertakwa ini ada dalam diri kita. Amin,” pungkas pria kelahiran Pasuruan Jawa Timur itu mengakhiri taushiahnya.

Ceramah lengkap Dr Akhmad Sodiq dapat dilihat di kanal Yotube Fikes UIN Jakarta dengan judul Merawat Spirit Ramadhan. (mf)