Kenaikan Gaji Hakim dan Momentum Presiden
Ferdian Andi
Dosen di Prodi HTN Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta/
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)
Keputusan Presiden Prabowo Subianto menaikkan gaji hakim hingga 280% menjadi momentum penting untuk menghadirkan eksosistem lembaga peradian yang bersih. Kenaikan gaji para hakim dimaksudkan agar tak terjadi lagi korupsi di lembaga peradilan.
Dalam Asta Cita visi-misi Presiden Prabowo dalam Pemilu 2024 lalu, persoalan reformasi hukum memang menjadi salah satu isu yang mendapat porsi penting. Reformasi hukum yang dimaksud dalam asta cita tersebut di antaranya penegakan supremasi hukum tanpa diskriminasi, adil, dan transparan serta mencegah pemanfaatan hukum sebagai alat politik kekuasaan.
Gagasan reformasi hukum itu cukup kontekstual di tengah ragam persoalan yang mencuat di lingkungan lembaga peradilan. Seperti persoalan suap di lingkungan peradilan yang melibatkan hakim, panitera, penasehat hukum, serta pihak yang berperkara. Keterlibatan sejumlah pihak tersebut merepresentasikan ekosistem lembaga peradilan secara komplit.
Kenyataan tersebut menjadi dasar perbaikan ekosistem lembaga peradilan di Indonesia secara holistik. Perbaikan ekosistem lembaga peradilan sebagai manifestasi desain kelembagaan yudisial yang merdeka sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Perbaikan ekosistem
Transparansi Internasional (2007) mendefinisikan korupsi peradilan (judicial corruption) sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi berupa finansial, materi, maupun non material terkait dengan pengaruh dan keberpihakan dalam proses peradilan dalam sistem peradilan.
Siri Gloppen dalam Court, Corruption, and Judicial Independence (2013) memaknai korupsi peradilan lebih luas, yakni semua bentuk pengaruh yang tidak pantas yang merusak ketidakberpihakan keadilan yang melibatkan aktor manapun dalam sistem peradilan, seperti staf administrasi hingga pengacara. Gloppen menegaskan, korupsi peradilan tidak sekadar terkait hubungan personil peradilan dengan pengguna pengadilan, tetapi juga menyangkut internal di lembaga peradilan.
Kasus suap yang terjadi di lembaga peradilan menunjukkan reformasi lembaga peradilan belum berjalan optimal. Dari sejumlah kasus yang mencuat, polanya memiliki kesamaan dengan melibatkan para pihak yang terkait yang dipicu karena adanya supply and demand.
Padahal, dalam desain ketatanegaraan melalui konsep separation of power, kedudukan lembaga yudisial, tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan negara lainnya. Setiap cabang kekuasaan memiliki kemandirian dalam menjalankan kekuasaannya. Karena hakikatnya, masing-masing cabang kekuasaan berkedudukan setara (equal).
Dalam konteks tersebut, dalam kerja hakim dibutuhkan sistem yang transparan dan akuntabel dengan tetap menjunjung tinggi kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Lembaga peradilan yang independen dan imparisal merupakan esensi dari lembaga peradilan yang merdeka. Begitu halnya, putusan hakim yang adil merupakan poin yang tak bisa ditawar-tawar.
Pada saat yang bersamaan, reformasi birokrasi di lingkungan lembaga peradilan juga tak kalah penting dilakukan. Peran Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan lembaga peradilan menjadi titik fokus pembenahan birokrasi. Upaya ini menjadi bagian penting untuk mengakhiri praktik korupsi di lembaga peradilan.
Di bagian lain, tak luput, peran pengacara yang terlibat dalam kasus korupsi peradilan harus menjadi perhatian oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) khususnya organisasi advokat.
Kebijakan hukum
Kebijakan menaikkan gaji hakim hingga 280% menjadi momentum bagi pemerintahan Prabowo Subianto untuk membentuk ekosistem lembaga peradilan yang bersih dengan menghadirkan kebijakan hukum (legal policy) yang partisipatoris dengan melibatkan pelbagai stakeholder terkait.
Penataan produk legislasi sebagai dasar dalam desain kelembagaan, profesi, dan pola kerja para stakeholder di lingkungan lembaga peradilan dapat dimulai di awal pemerintahan Prabowo Subianto ini.
Merujuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029, hanya terdapat RUU Advokat yang masuk dalam daftar prolegnas. Adapun RUU Jabatan Hakim yang selama satu dekade ini masuk dalam daftar prolegnas, kini tak lagi masuk dalam rincian daftar. Padahal beleid ini diproyeksikan dapat memperkuat kedudukan profesi hakim serta mengatur mekanisme pengawasan hakim
Perubahan UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga mendesak dilakukan. Sejumlah isu dalam perubahan UU Advokat di antaranya mengenai organisasi advokat apakah diterapkan single bar atau multi bar termasuk gagasan keberadaan Dewan Advokat Nasional (DAN). Perubahan UU Advokat menjadi bagian penting dalam perbaikan ekosistem lembaga peradilan.
Neil Gold dalam Judicial Reform in Latin America and Caribbean (1995), menyebutkan reformasi lembaga peradilan berkontribusi penting bagi reformasi pemerintahan. Reformasi lembaga peradilan juga dapat meminimalkan hambatan dalam proses pembangunan ekonomi dan sosial. Kini, saatnya Presiden untuk memperbaiki ekosistem lembaga peradilan. It’s time, Mr. President!
Artikel ini telah dimuat pada kolom opini Jawa Pos (Kamis, 19 Juni 2025)