Kemiskinan di Indonesia dan Peran PTAI
Sebagai bagian dari civitas akademika sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), terkadang muncul pertanyaan: peran lebih apakah yang telah atau bisa dilakukan PTAI dalam membantu pemerintah dalam penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Sengaja artikel ini difokuskan pada isu tersebut karena nyaris belum menjadi basis gerakan kampus--khususnya PTAI.
Sedangkan untuk peran-peran sosial, politik, kalangan civitas PTAI di Indonesia bisa dikatakan cukup kuat dan kental. Sebut saja misalnya, dialog antar agama-agama untuk memperkuat toleransi dan kerukunan; pejuang kesetaraan gender; aktivis politik, lingkungan, demokrasi, bahkan HAM, dan politik luar negeri.
Tulisan ini tentu tidak sedang menegasikan pentingnya hal-hal selain masalah Kemiskinan. Namun hanya ingin mencoba menyentuhkan PTAI atau kampus dengan persoalan riil yang sedang dihadapi masyarakat saat ini. Sebab, bagi warga miskin sekarang mungkin lebih penting mendapatkan minyak tanah dengan mudah, dibanding harus ikut nyoblos pilkada; atau lebih suka harga turun dibanding dengan pergantian rejim.
Jika berbicara mengenai pendekatan dan penanggulangan masalah Kemiskinan di Indonesia, hampir tidak banyak menemukan pemikiran yang khas, baik dari sisi pendekatan, maupun dari sisi program di lapangannya. Jikapun ada program-program pengentaskan Kemiskinan dan kesenjangan yang dilakukan secara terbatas oleh civitas kampus, pendekatan yang dilakukan program yang dilaksanakan terbilang copypaste.
Misalnya kita bisa menyimak laporan pemberdayaan masyarakat dari sebuah buku yang baru terbit, “Pemberdayaan Masyarakat di Kampung Badak Putih dan Kampung Situ Duit” (2007), baik dari pendekatan yang digunakan maupun dari program yang dilaksanakan di lapangan, hampir memuat laporan yang seperti kebanyakan.
Jika ditanya: “bagaimana konstruksi Islam tentang pengentasan Kemiskinan di Indonesia?” Mungkin tidak semua Civitas Kampus yang fasih menjawabnya, tetapi justru lembaga-lembaga seperti Dompet Dhuafa, Masyarakat Mandiri, dan lembaga-lembaga sejenis lebih fasih. Mereka bisa menjelaskan ruang lingkup kerja, basis kajian, sampai kepada keberlanjutan pengelolaan agenda dan progam serta rancangan strategi kebijakannya. Bahkan, cukup banyak kepeloporan hadirnya lembaga-lembaga yang concern sekali dalam melakukan pemberdayaan ummat dari persoalan Kemiskinan dengan pendekatan yang sistematis, justru datang dari luar PTAI. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya, kalangan PTAI ini yang menjadi salah satu nara sumber penting dalam memberikan ruh agama di dalamnya.
Memang tidak penting ciri ke-PTAI-an melekat pada sebuah program. Alasannya yang penting adalah tujuan dari setiap program tercapai. Ada “banyak jalan menuju roma”, sebagaimana ada banyak teknik dalam melakukan pemberdayaan.
Namun pentingnya kampus-kampus berbasis Islam membangun suatu konstruksi mengenai bangunan kebijakan berbasis persoalan riil masyarakat Indonesia saat ini, merupakan kepentingan yang mendesak. Jangan sampai, justru kampus-kampus PTAI malah berperan melanggengkan Kemiskinan ini, hanya karena tidak memiliki solusi atas masalah yang sedang terjadi, dengan cara memberikan nasihat bahwa “Kemiskinan adalah taqdir!”
Setidaknya ada beberapa pandangan mengapa PTAI sangat penting mengikuti dan terlibat dalam pergulatan menanggulangi masalah Kemiskinan di Indonesia.
Pertama, Kemiskinan terjadi tidak semata-mata problem ekonomi dan politik, tetapi juga masalah budaya dan agama. Secara normatif Islam adalah agama yang concern sekali dalam persoalan menanggulangi masalah Kemiskinan; masalahnya bukan pada norma, tetapi pada aksi jelas, tegas, sistematis, dan terstruktur.
Kedua, tidak mustahil bahwa langgengnya Kemiskinan dan kesenjangan juga disupport langsung atau tidak oleh pemahaman akan agama dan budaya dan tidak tepat. Misalnya pandangan bahwa masalah kekayaan dan rejeki adalah urusan Tuhan, berdampak cukup signifikan pada keluarga muslim untuk melahirkan anak lebih banyak, meski di bawah kemampuan ekonomi keluarga itu. Atau konsep sabar, sebagai bentuk kepasrahan kepada Tuhan ketika ia ada dalam keadaan miskin, atau konsep sumerah dan lain-lain yang sama-sama membuai.
Termasuk juga pemahaman akan institusi yang dibangun untuk charity, seperti zakat, dan sebagainya, di mana mendorong terjadinya ketergantungan masyarakat Islam miskin kepada bantuan sehingga menjadi malas!
Ketiga, PTAI memiliki potensi strategis dalam memainkan peranan untuk masalah pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Sebab, kebanyakan institusi PTAI disupport oleh mahasiswa pedesaan, mayoritas kalangan menengah ke bawah, dan juga banyak di antara mahasiswanya sekaligus merupakan aktivis masyarakat dengan kemampuan keagamaan, seperti menjadi pengurus masjid/ mushalla, pesantren, madrasah, dan sebagainya.
Ketiga hal itu jika dielaborasi lebih lanjut akan memiliki karakter khas PTAI.
Misalnya, penanggulangan Kemiskinan melalui institusi masjid. Atau memberikan pemahaman lebih progressif kepada para da’i dalam menerangkan makna-makna sabar, zuhud, dan lain-lain. Serta sejumlah program lain yang bisa didetailkan. Dengan ikut nimbrung dalam persoalan ini, maka peran PTAI akan menjadi semakin besar bagi pergulatan bangsa ini. Terlebih lagi, di beberapa PTAI saat ini fakultas-fakultas yang berdimensi non agama, seperti fakultas ekonomi, sains, bahkan kedokteran, sudah ada yang berdiri. Sehingga PTAI ini tidak memiliki kendala dalam masalah sumberdaya. Tinggal spirit ke-PTAI-annya saja yang perlu dikembangkan.
Sebenarnya upaya-upaya untuk ikut berperan pada persoalan pengentasan Kemiskinan di Indonesia sudah dicoba dilakukan. Baik berupa sumbang pikir dalam bentuk karya-karya ilmiah, juga dalam bentuk program aksi. Salah satunya adalah program pengentasan Kemiskinan dengan menggunakan pendekatan asset building. Bahkan penggagas sekaligus pelopor konsep ini, Prof M. Sherraden, datang langsung ke Indonesia mengingat Indonesia bisa jadi satu-satunya negara berkembang yang mau atau berminat melaksanakan program ini. Sayangnya program yang hampir dikerjasamakan dengan salah satu departemen ini tidak berjalan mulus. Padahal secara teoritis dan praktis karena berkaca pada pengalaman banyak negara lain, sangat mungkin menuai keberhasilan.
Kembali kepada peran Perguruan Tinggi Agama Islam dalam persoalan Kemiskinan, sepertinya tetap akan menjadi tuntutan jaman. Sebab, bukan hanya masalah eksistensi dari lembaga pendidikan tinggi saja. Ada alasan sosio-antropologis yang tidak kalah penting, yaitu PTAI merupakan salah satu jalur mobilitas vertikal kaum santri untuk menapaki tangga kemakmuran.
Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Ketua Jurusan Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Dosen Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta. Sumber: https://akurat.co/news/id-1163873-read-kemiskinan-di-indonesia-dan-peran-ptai?fbclid=IwAR3T0mZbdCwcgZJM9RHqq5Xov-0URs2rEn77J6yZImtirtL2dEtRVPeu_54, Minggu, 12 Juli 2020. (mf)