Kementerian Agama, dari Moderasi ke Transformasi Beragama
Postur Kementerian Agama di pemerintahan Prabowo-Gibran mengalami perubahan. Sejumlah bidang yang semula di bawah payung Kementerian Agama kini bergeser langsung di bawah Presiden, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH dan Badan Penyelenggara Haji, BPH.
Presiden dalam kapasitasnya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan diperkenankan melakukan perubahan formasi kelembagaan di setiap kementerian. Perubahan status kelembagaan ini harus segera diikuti dengan perubahan sejumlah aturan hukum.
Seperti Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya mengenai kedudukan BPJPH, serta UU No 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Target penataan kelembagaan hingga akhir 2024, sebagaimana bunyi Pasal 36 Peraturan Presiden (Perpres) No 139/2024, secara kalkulasi waktu akan dapat dicapai. Pada titik ini, pemerintah dan DPR harus melakukan akselerasi untuk mengubah sejumlah UU. Setidaknya, perubahan dapat dilakukan dalam dua bulan ke depan. Mekanisme legislative review bisa ditempuh DPR dan pemerintah.
Di luar soal polemik dua lembaga, yang semula di bawah koordinasi Kementerian Agama, kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo ini dapat dimaknai sebagai upaya memperkuat tugas Kementerian Agama pada urusan yang lebih substantif dan transformatif, khususnya dalam pembangunan di sektor keagamaan.
Di sisi lain, sektor yang dari sisi kelembagaan ditarik di bawah koordinasi Presiden dinilai sebagai bidang yang dianggap penting atau mendesak. Dalam arti kata lain, kebijakan ini secara ideal harus menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan dalam menjawab tantangan yang kian kompleks di tengah-tengah masyarakat.
Tantangan kehidupan beragama tentu tak sekadar soal moderasi dalam beragama, yang dalam satu dekade terakhir ini menjadi salah satu program prioritas Kementerian Agama. Sejatinya, terdapat persoalan lain yang tak kalah penting, yakni soal kebutuhan akan transformasi beragama dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Agama ditempatkan sebagai instrumen pemantik untuk mentransformasikan kehidupan individu, sosial, bahkan negara yang sesuai dengan pesan luhur agama. Agama berkedudukan sebagai inspirasi, pemandu, sekaligus garis pembatas dalam setiap tindak tanduk, baik di ruang privat maupun publik.
Seperti disampaikan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, ”Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban” (RM AB Kusuma, 2009).
Ragam persoalan sosial yang belakangan mencuat di ranah publik, seperti penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), judi online, kekerasan dalam rumah tangga, gangguan kesehatan mental, kriminalitas, perkataan kasar, fitnah di media sosial, hingga korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) harus menjadi perhatian kita bersama sebagai bangsa.
Pada titik ini, agama sejatinya ditempatkan sebagai salah satu instrumen penting untuk menjawab ragam persoalan sosial di tengah masyarakat.
Kebijakan Presiden Prabowo dalam mengubah formasi kelembagaan di Kementerian Agama dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan agama sebagai faktor pemantik dalam mentransformasikan kehidupan masyarakat ke dalam situasi yang lebih baik.
Substansi beragama
Postur Kementerian Agama pascapenarikan dua sektor dari Kementerian Agama langsung di bawah koordinasi Presiden menjadikan kementerian ini fokus pada dua sektor penting, yakni urusan pendidikan keagamaan dan bimbingan masyarakat beragama yang semuanya menjadi area substansial.
Bidang pendidikan keagamaan masuk dalam program kerja Astacita 4 pemerintahan Prabowo, yakni memperkuat sumber daya manusia (SDM). Sejalan dengan itu, bidang ini menjadi urusan penting yang dikelola Kementerian Agama.
Apalagi, rentang kendali Kementerian Agama adalah dari pusat hingga ke daerah, bahkan kecamatan. Hal ini karena bidang keagamaan merupakan kewenangan pemerintah yang tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Pendidikan keagamaan yang dikelola Kementerian Agama menjadi bagian penting dalam penguatan SDM unggul yang didasari pada nilai-nilai agama.
Lembaga pendidikan Islam tingkat dasar dan menengah, menurut data Kementerian Agama (2023), meliputi raudhatul athfal (31.029 swasta); madrasah ibtidaiyah (1.711 negeri, 24.709 swasta); madrasah tsanawiyah (1.525 negeri, 17.545 swasta); dan madrasah aliyah (809 negeri, 8.930 swasta). Data ini belum termasuk pendidikan tinggi keagamaan.
Dari data yang sama, pendidikan Kristen terdiri dari SD teologi Kristen (65), SMP teologi Kristen (101), sekolah menengah teologi Kristen (162), dan sekolah menengah agama Kristen (49). Adapun pendidikan Katolik taman seminari (65) dan sekolah menengah agama Katolik (101).
Untuk pendidikan Buddha, rinciannya pratama widya (73), adi widya (11), madyama widya (5), dan utama widya (5). Adapun pendidikan Hindu meliputi nava (37) dan mula (2).
Angka kuantitatif lembaga pendidikan keagamaan ini menjadi modal penting untuk menghadirkan transformasi beragama sebagai respons atas sengkarut persoalan sosial yang terjadi saat ini. Agama dengan perangkat nilai yang dimilikinya berdialektika dengan tantangan zaman yang makin kompleks, yang berbeda dari masa-masa sebelumnya.
Sejalan dengan hal itu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat, yang menjadi bagian dari struktur Kementerian Agama, menjadi instrumen penting dalam memfasilitasi keberagamaan masyarakat Indonesia.
Peran negara dalam melakukan bimbingan terhadap pemeluk umat beragama dimaknai sebagai komitmen negara dalam memberikan jaminan terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama dan kepercayaannya. Negara berkewajiban untuk memfasilitasi warga negara dalam menjalankan agama dan kepercayaannya dengan baik.
Agama tidak berada di menara gading atau tidak pula hanya disuarakan melalui khotbah, yang dalam waktu bersamaan abai terhadap persoalan yang terjadi di tengah-tengah para pemeluknya. Nilai-nilai agama yang bersemayam pada diri setiap umat semestinya menjadi instrumen penting sebagai pemandu lelaku, baik di ruang privat maupun publik.
Demikian pula individu yang mendapatkan kewenangan di ruang publik sebagai penyelenggara negara, menjadikan nilai-nilai agama sebagai pemandu untuk bekerja dengan baik. Inilah substansi penting keberagamaan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, transformasi beragama menjadi agenda mendesak yang harus segera dilakukan. Kementerian Agama pada titik ideal menjadi leading sector untuk mewujudkan transformasi beragama. Narasi, program, dan ragam gerak kementerian idealnya ditujukan untuk mendorong transformasi beragama dalam rangka mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Transformasi beragama
Transformasi beragama menjadi pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh bangsa ini sebagai manifestasi dari nilai-nilai ketuhanan sebagaimana disebutkan dalam Pancasila.
Pada titik yang lain, posisi ini sekaligus mengonfirmasi kedudukan agama sebagai instrumen penting untuk menjawab persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.
Seyyed Hossein Nasr (2002: 197), dalam The Heart of Islam Enduring Values for Humanity, menegaskan doktrin Islam yang tertanam dalam batin masyarakat Islam secara ideal dapat bertahan menghadapi tantangan-tantangan besar, seperti globalisme dan konsumerisme dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam.
Dia berpandangan ragam persoalan tersebut bersifat periferal dan sementara.
Ketahanan Islam dalam menghadapi tantangan tersebut, ujar Hossein Nasr, disebabkan konsepsi tauhid yang dapat dimaknai sebagai manifestasi ”integrasi” jiwa individu dengan Tuhannya, yang di sekelilingnya terdapat lingkaran keluarga, lingkaran sebagian kota, lingkaran bangsa (wathan), lingkaran masyarakat Islam (ummah), dan yang ujungnya lingkaran seluruh umat manusia.
Keseluruhan sistem tersebut memiliki kesamaan pusat yang sama dengan didasarkan pada hubungan dasar antara manusia dan Tuhan.
Dengan demikian, kedudukan agama yang didasari keyakinan terhadap Tuhan dapat menjadi instrumen sekaligus mekanisme yang baik dalam merespons setiap tantangan zaman. Agama yang memiliki dimensi profan sekaligus transendental harus ditransformasikan dan dikontekstualisasikan untuk menjawab pelbagai persoalan di tengah masyarakat.
Transformasi beragama menjadi pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan: negara, agamawan, ilmuwan, dan pemeluk agama. Upaya ini untuk menjadikan keadaban personal yang dimanifestasikan dalam bentuk ritualitas linier dengan keadaban di ruang publik.
Temuan Pew Research Center, yang dirilis Agustus 2024, mengungkapkan Indonesia sebagai negara paling religius di dunia dengan skor 98 persen. Temuan ini didasarkan pada pertanyaan seberapa penting agama dan seberapa intensif dalam beribadah.
Temuan ini bertolak belakang dengan temuan lainnya, seperti laporan Drone Emprit yang mengungkap Indonesia sebagai negara paling banyak pelaku judi online, yakni 201.122 orang, dan temuan PPATK yang mengungkapkan transaksi judi online dari 2017 hingga triwulan I-2024 sebesar Rp 600 triliun.
Persoalan sosial ini harus jadi perhatian bersama. Maka, salah satu pilihan yang harus ditempuh adalah melakukan transformasi beragama.
(Prof. Dr. Ahmad Tholabi S.Ag., S.H., M.H., M.A.)
Artikel ini telah tayang di Kompas.id pada tanggal 19 November 2024. Baca artikel selengkapnya pada tautan berikut