Kegagalan Multikulturalisme di Eropa Bukan Karena Isu Islamisasi
Gedung Auditorium, BERITA UIN Online - Kegagalan multikulturalisme di negara-negara Eropa bukan hanya berakar pada ketakutan Barat terhadap Islam karena isu Islamisasi Eropa, melainkan muncul dari rasa ketakutan terhadap ideologi multikulturalisme itu sendiri. Hal itu dikatakan dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Amin Nurdin saat dilukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Soiologi Agama di Auditorium Harun Nasution, Rabu (18/5/2022).
Acara pengukuhan dilakukan dalam Sidang Senat Terbuka yang dipimpin Ketua Senat Universitas Abuddin Nata. Turut hadir Rektor UIN Jakarta Amany Lubis, para wakil rektor, para dekan, para guru besar, serta sejumlah tamu undangan. Selain Amin Nurdin, juga dikukuhkan Mukri Aji sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Fikih pada Fakultas Syariah dan Hukum.
“Masyarakat Barat masih menganggap kelompok Muslim bukan hanya sebagai orang asing (aliens) melainkan juga berbahaya, karena itu tidak cocok duduk bersanding dengan tradisi Barat,” katanya.
Amin Nurdin dalam pidato ilmiahnya berjudul “Akankah Multikulturalisme Berakhir? Tsalisun li Abawayni: Masalah Transformasi Identitas Imigran Muslim di Eropa” itu mengatakan, munculnya sikap stereotip dan labelling (cap) yang mengandung kebencian dan permusuhan terhadap Islam menimbulkan sikap rasistis. Stereotip ini menyebar ke seluruh masyarakat Eropa melalui media massa dan dipolitisasi oleh para politisi, yang tidak mewakili gambaran sebenarnya dunia Islam dan gaya hidup mereka sebagai orang asing bagi nilai-nilai Barat.
Lebih lanjut Amin menjelaskan, kebencian Barat terhadap Islam di satu sisi tidak hanya mendiskreditkan multikulturalisme, tetapi di sisi lain juga menumbuhkembangkan tesis Huntington “clash of civilizations” antara Barat dan Islam.
“Peradaban Islam dianggap sebagai “musuh dalam selimut” (enemy behind the blanket) bagi peradaban Barat. Isu ini kemudian menjadi bagian dari isu sentral di abad ke-21, khususnya di negara-negara Barat,” ujar Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta periode 2008-2010 tersebut.
Secara khusus, menurut Amin, teori Huntington telah menjadi inspirasi Islamophobia bagi banyak tokoh pemerintah, seperti Donald Rumsfeld, Donald Trump, Vladimir Putin, dan Silvio Berlusconi dalam mengambil kebijakan pemerintahan mereka.
Ketakutan Barat ini sebenarnya sudah diprediksi Huntington, disadari atau tidak disadari. Teori ini juga mempunyai efek politik dan sosial, yaitu menjadi bibit munculnya sikap Islamophobia di tengah masyarakat Eropa diikuti diskriminasi dalam undang-undang oleh lembaga-lembaga pemerintah yang sebenarnya ditujukan kepada kelompok Muslim.
“Namun, di sini tampak adanya paradoks terhadap multikulturalisme itu sendiri. Di satu pihak, muncul kesadaran bahwa kelompok minoritas perlu diakomodasi, tetapi di lain pihak paham demokrasi Barat berikut lembaga-lembaganya justru menjadi penghambat akomodasi kaum Muslim itu sendiri,” jelas Amin.
Selain itu, Amin menegaskan bahwa faktor krisis ekonomi sejak tahun 2008 yang dialami Barat dan Amerika Serikat juga menjadi alasan utama penolakan multikulturalisme. Faktor ekonomi ini berkaitan erat dengan semakin tingginya tingkat pengangguran dan kriminalitas serta semakin meningkat pula sikap anti imigran dan anti Muslim terhadap warga pendatang.
“Biaya penerapan multikulturalisme memang mahal,” katanya.
Amin Nurdin lahir di Sulit Air, Sumatera Barat, pada 3 Maret 1955. Ia menamatkan pendidikan S1 di IAIN Jakarta tahun 1985, pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, dan pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta tahun 2007. (ns)
Foto: Hermanudin (Humas UIN Jakarta)