Kebebasan Beragama di Barat Boleh Mengkritik Agama Lain
Gedung SPs, BERITA UIN Online - Kebebasan beragama di Barat tidak hanya dapat dilihat dari kebebasan dalam mempraktikkan kepatuhan beragama pada kehidupan sehari-hari, tetapi, di saat yang sama, berlaku pula pada bolehnya perilaku mengkritik, bahkan pada tingkat tertentu, menyerang agama yang dianut oleh orang lain.
Hal itu dikatakan Ketua Umum Pimpinan Cabang Internasional Muhammadiyah Tiongkok Muhammad Aziz pada Seminar Nasional bertajuk “Koreksi Kebebasan Beragama Ala Barat” yang digelar di Aula Prof Suwito Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta, Rabu (29/6/2022).
Selain Muhammad Aziz, narasumber lain yang tampil adalah Guru Besar SPs UIN Jakarta Masykuri Abdillah dan Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung Dina Sulaeman. Seminar dibuka Direktur SPs UIN Jakarta Asep Saepudin Jahar serta dipandu Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Riri Kharirah Ali.
Kebebasan dan rasa saling menghormati atau menghargai, menurut Aziz, merupakan dua prinsip yang tidak dapat dipisahkan. Secara lebih rinci, kebebasan beragama dan menghormati adalah interaksi di mana masyarakat dalam menjalankan hak-hak mereka.
“Individu dan kelompok sosial terikat oleh hukum moral untuk memperhatikan hak orang lain. Termasuk kewajiban mereka sendiri kepada orang lain dan kebaikan bersama semua orang,” katanya.
Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama. Hak ini termasuk kebebasan untuk berpindah agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dan di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, pengamalan, peribadatan dan ketaatan.
Namun demikian, jelas Aziz, operasionalisasi Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia itu tidak dapat dilepaskan dari ideologi politik yang dianut oleh sistem negara. Pada idelogi politik liberal misalnya, kebebasan beragama dianggap sebagai penting, sentral dan bermanfaat.
Argumen dasar liberal adalah bahwa masyarakat bebas dihargai dan semua bentuk kebebasan, termasuk kebebasan beragama, saling terkait. Sedangkan menurut Stepan (2000), liberal kebebasan beragama mencakup kebebasan beribadah dan kebebasan untuk memajukan ide-ide keagamaan dalam masyarakat sipil dan melarang agama melanggar demokrasi, hukum, dan kebebasan beragama orang lain.
Ide kebebasan beragama, lanjut Aziz, semakin hadir dalam konstitusi negara dan dokumen internasional yang melindungi berbagai kebebasan. Namun, jaminan kebebasan beragama seringkali tidak terwujud.
“Studi empiris menemukan bahwa dukungan negara terhadap agama merupakan alasan penting rendahnya tingkat kebebasan beragama bahkan di negara demokrasi,” ujar kandidat doktor dari Hohai University, Nanjing, Tiongkok, itu.
Islamofobia
Masykuri Abdillah mengatakan, di kalangan negara-negara Barat saat ini masih muncul fenomena Islamofobia, yang berkembang setelah terjadinya peristiwa penyerangan menara kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 oleh Al-Qaedah. Islamofobia juga terjadi di negara minoritas Muslim lainnya, seperti India, Cina (kasus Uigur), dan Myanmar (kasus Rohingya).
Di kalangan umat Islam sebenarnya juga terdapat “teologi kebencian”, yakni aqidah “al-wala’ wa al-bara’, yang berarti kecintaan kepada sesama Muslim dan lepas diri atau kebencian terhadap non-Muslim atau yang dibenci oleh Allah.
Oleh karena itu, menurut Masykuri, ada empat penguatan yang harus dilakukan. Pertama, perlu ada sosialisasi pemahaman keagamaan yang moderat serta menekankan pentingnya toleransi dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat majemuk. Kedua, dalam konteks Islam, perlu pemahaman yang tepat terkait hubungan antara Muslim dan non-Muslim.
Ketiga, perlu ada sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai sosial budaya (kearifan lokal) tentang kerukunan dan kedamaian sebagai modal sosial, penguatan kesadaran dan penegakan hukum, baik bagi aparatur negara maupun tokoh agama, terutama terhadap regulasi tentang kehidupan beragama.
Keempat, penguatan wawasan kebangsaan dan integrasi nasional, yang meliputi sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Kebhinnekaan.
Penguatan empat hal tersebut, lanjut Masykuri, dilakukan melalui berbagai kegiatan, terutama pendidikan yang mendukung faham kemajemukan dan toleransi serta penyiaran agama yang berorientasi kepada kedamaian dan kerukunan, bukan sebaliknya, yang justru bernarasi konflik.
“Selain itu perlu juga ada dialog dan kerja sama antarumat beragama. Dialog dilakukan untuk mewujudkan saling pengertian di antara para tokoh dan pemeluk agama-agama yang ada, serta penyelesaian masalah yang terjadi,” ujarnya. (ns)