Kebangkitan Peradaban, Memperkuat Optimisme Muslim Asia Tenggara
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., MA., CBE
Pengantar Redaksi Kompas:
Sabtu (17/9/2022), Prof Dr Azyumardi Azra seharusnya menjadi pembicara pada Persidangan Antarbangsa ”Kosmopolitan Islam” di Kajang, Malaysia, memenuhi undangan tokoh Malaysia Dr Anwar Ibrahim dan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM). Dalam penerbangan ke Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (16/9), Ketua Dewan Pers itu mengalami serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit setelah pesawat mendarat. Namun, Minggu (18/9) pukul 12.30 waktu setempat, Prof Azyumardi meninggal. Tulisan ini adalah makalah yang seharusnya disampaikan penulis Analisis Politik harian ”Kompas” itu, dengan judul ”Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Muslim Asia Tenggara", dengan penyuntingan dan izin dari pimpinan ABIM. Selamat jalan Sang Guru...
Asia, termasuk Asia Tenggara, dengan penduduk Muslim berjumlah besar di Indonesia dan Malaysia hari ini dan ke depan memiliki potensi besar kembali menjadi pusat peradaban dunia. Berbagai indikator mendukung optimisme itu.
Sedangkan Amerika Serikat dan Eropa mengalami kemunduran, bahkan krisis ekonomi yang berkelanjutan. Saat yang sama, sejumlah negara Asia bangkit (emerging). Kemajuan ekonomi di negara berpenduduk mayoritas Muslim mendorong peningkatan kualitas pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kondisi kehidupan masyarakatnya.
Pada masa silam, Asia adalah pusat peradaban dunia. Hampir seluruh agama besar lahir dan berkembang di Asia dan menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan peradaban Asia, yang memberikan warisan (legacy) yang tak ternilai.
Peradaban China, India, Persia, dan Muslim pada abad pertengahan memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan peradaban Eropa. Disintegrasi politik dan kemunduran ekonomi memberikan jalan lebar bagi kekuatan Eropa sejak abad ke-16 menguasai Asia. Kolonialisme membuat terjadinya retardasi peradaban Asia. Sekitar 60 tahun pasca-Perang Dunia II, Asia menunjukkan tanda kebangkitan kembali sebagai pusat peradaban.
Wacana tentang ”kemerosotan peradaban Barat’ (the decline of Western civilization)—yang secara implisit memberi peluang bagi kebangkitan kembali peradaban Asia—bukan sesuatu hal baru. Sejarawan terkemuka Oswald Spengler menerbitkan karya dua jilid The Decline of the West; tahun 1918 dan 1922. Dalam buku itu, dia melacak asal usul dan perjalanan peradaban Barat dalam perspektif memudarnya peradaban klasik Eropa. Kemunduran peradaban Barat bermula sejak abad ke-20.
Wacana kemunduran peradaban besar, khususnya di Barat, kembali menemukan momentum ketika sejarawan Paul Kennedy menerbitkan karya, yang kini menjadi klasik, The Rise and Fall of the Great Powers (1987). Penerbitan buku empat tahun sebelum runtuhnya Uni Soviet itu seolah menjadi prophesy bagi Uni Soviet sehingga meninggalkan AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya yang didukung sekutunya dalam percaturan politik, ekonomi, militer, dan budaya global, tidak hanya terhadap Islam, tetapi juga atas kawasan lain.
Meski terdapat negara Muslim yang mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, tetapi belum mampu melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat. Umumnya negara Muslim di Timur Tengah bergantung pada AS dalam bidang ekonomi, politik, dan militer. Situasi berbeda dengan Indonesia yang tak memiliki ketergantungan terhadap AS. Runtuhnya Uni Soviet pada 1990 memberikan peluang bagi AS dan Dunia Barat kian mendominasi dan hegemonik.
Namun, kian banyak ahli menuliskan kemunduran AS, seperti The Decline and Fall of the American Empire, karya James Quinn (2009), serta Jim M Hanson (1993) dan Gore Vidal (1992) dengan judul yang sama. Masa kejayaan AS seakan telah lewat seperti terkesan dalam judul buku Fareed Zakaria, The Post American World (2008).
Persepsi kemerosotan AS bisa bertambah kuat saat dunia menyaksikan kebangkitan China dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. Kebangkitan China seolah sebuah mukjizat. Tekanan AS terhadap China sering diabaikan penguasa China karena ketergantungan AS pada China dalam ekonomi.
Suara dari Asia Tenggara
Pemerintahan berbagai Muslim di Asia Barat dan Asia Selatan sudah lama menaruh asa pada Muslimin Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, untuk memainkan peran lebih proaktif dalam membantu berbagai masalah di dunia.
Suara dari Asia. Wacana ini dihasilkan Majlis El-Hassan, Jordania dan Sasakawa Peace Foundation, Jepang, dalam dokumen yang bertajuk Voices from Asia: Promoting Political Participation as an Alternative for Extremism. Dokumen ini hasil dari Percakapan Meja Bundar yang dipimpin Pangeran Hassan bin Talal di Amman, Jordania, pada 11-12 Juli 2006.
Kenapa suara dari Asia, terutama dari Indonesia dan Malaysia? Sebab, kawasan yang dalam pertemuan itu disebut sebagai WANA (West Asia and North Africa), biasa disebut sebagai Timur Tengah, ditandai banyak konflik berkepanjangan. Banyak kalangan di wilayah itu seolah putus asa dengan situasi yang tak menguntungkan itu.
Dokumen Amman memandang perlu keterlibatan aktor baru yang lebih netral, seperti pemerintah dan civil society dari Asia Tenggara, terlibat dalam menyelesaikan konflik, ekstremisme, dan militansi di kawasan WANA. Indonesia dan Malaysia diharapkan bisa memberikan perspektif lebih segar untuk penyelesaian konflik dan ekstremisme, memperkuat kerja sama, reformasi, rekonsiliasi politik, dan sekaligus memberdayakan pluralisme dalam Islam atas dasar pengalaman negara Asia Tenggara itu.
Lingkaran kekerasan di kawasan WANA haruslah diputus dan diganti dengan dialog, demokrasi, dan hukum yang adil dan efektif. Berbagai upaya juga harus dilakukan untuk memperluas dan memberdayakan partisipasi setiap warga dalam pemerintahan demokratis pada level lokal dan nasional. Dalam konteks itu, perlu identifikasi masyarakat madani guna pemberdayaan mereka.
Proses politik di WANA sering memanipulasi identitas keagamaan sehingga tingkat ekstremitasnya mencemaskan. Karena itu, peran civil society, khususnya yang berbasiskan keagamaan, menjadi sangat penting untuk membendung manipulasi politik yang berujung dengan ekstremisme itu. Masyarakat madani itu mesti memperkuat kerja sama antaragama untuk menemukan nilai yang sama yang bisa membantu terciptanya saling pengertian dan kerja sama dalam menghadapi masalah bersama pula.
Apa yang disebutkan dalam dokumen ”Suara dari Asia”, bukan sesuatu yang baru bagi wacana dan praktik kehidupan politik demokratis dan sosial kewargaan di Indonesia dan Malaysia. Indonesia dan Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim—di tengah keberagaman sosial-budaya dan keagamaan serta politik demokratis yang terus berkembang—dalam pandangan orang luar menjadi contoh baik bagi masyarakat internasional.
Kebangkitan peradaban
Refleksi penulis tentang perkembangan peradaban Muslim pada masa kontemporer menguat setelah mengikuti diskusi terbatas Institute for the Study of Muslim Civilization (ISMC) di Aga Khan University, London, 29 Mei 2008. Memang belum ada evaluasi dan penilaian yang komprehensif mengenai kondisi saat ini.
Secara demografis, jumlah Muslimin meningkat signifikan di tingkat internasional. Diperkirakan lebih dari 1,9 miliar jiwa (2022); berarti menjadi masyarakat agama kedua terbesar setelah Kristianitas (Katolik dan Protestan). Peningkatan itu, terutama dari pertumbuhan kelahiran. Masih banyak Muslimin yang tak menjalankan keluarga berencana. Dengan jumlah yang terus meningkat, kaum Muslim pada dasarnya memiliki potensi yang kian besar pula untuk membangun peradaban Muslim dan peradaban dunia.
Namun, jumlah warga Muslim yang besar belum bisa menjadi aset karena mayoritas tinggal di negara berkembang atau terbelakang. Secara ekonomi menghadapi berbagai kesulitan, seperti kemiskinan.
Banyak anak kaum Muslim tidak mendapatkan pendidikan yang membuat mereka tak punya masa depan untuk memajukan diri sendiri, apalagi peradaban dunia. Memang ada negara Muslim kaya berkat minyak yang mendatangkan windfall terus-menerus karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kondisi itu justru menambah beban negara Muslim lainnya. Keuntungan itu tak mengalir ke negara Muslim miskin dalam bentuk grant atau investasi. Jikalau ada, jumlahnya hanya tetesan (trickle).
Negara Muslim yang miskin atau berkembang harus mengandalkan sumber lain, termasuk menambah utang dari negara atau lembaga keuangan Barat, seperti World Bank. Kondisi ini menambah ketergantungan pada pihak Barat yang pada gilirannya memiliki implikasi ekonomis, politis, dan psikologis pada kaum Muslim.
Salah satu dampaknya adalah dugaan konspirasi penguasa negara Muslim dengan Barat, misalnya untuk mengembangkan ekonomi pasar yang liberal dengan mengorbankan potensi ekonomi warga Muslim. Dampak lebih lanjut, terjadi ketidakpercayaan pada rezim yang berkuasa yang pada gilirannya mendorong berlangsungnya instabilitas politik terus-menerus di banyak negara Muslim.
Jika mau berbicara tentang kemajuan peradaban Islam, sudah saatnya kaum Muslimin membebaskan diri dari psikologi konspiratif dan pikiran tertutup. Lebih menumbuhkan orientasi ke depan daripada romantisisme kejayaan peradaban Muslim di masa silam.
Kembali pada kebangkitan peradaban Islam, kita perlu berbicara tentang prasyarat bagi kebangkitan peradaban itu.
Prasyarat utama adalah stabilitas politik. Demokrasi Indonesia sejak 1999 masih perlu dikonsolidasikan dalam tiga hal: basis konstitusional-legal, kelembagaan politik, dan budaya. Hanya dengan konsolidasi lebih lanjut dapat ditegakkan good governance, penegakan hukum, dan kohesi sosial. Di Malaysia juga mendesak konsolidasi kekuatan politik kaum Muslim yang tercerai berai dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini tak menguntungkan untuk mempertahankan hegemoni politik dan kekuasaan Melayu.
Pendidikan merupakan prasyarat mutlak bagi kebangkitan peradaban Islam. Untuk menjadi tulang punggung kebangkitan peradaban, pendidikan di Malaysia dan Indonesia harus semakin berkualitas sejak dari tingkat dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi. Hanya dengan pendidikan seperti itu, kaum muda negeri ini dapat bertransformasi menuju kemajuan peradaban.
Tak kurang pentingnya adalah pemberdayaan masyarakat madani. Kunci pokok lain adalah pengembangan keadaban masyarakat. Kita menyaksikan kian merosot keadaban publik dalam bentuk pelanggaran hukum dan rendahnya disiplin masyarakat. Pemerintah dan warga sipil sepatutnya memberikan perhatian khusus pada penegakan kembali etika dan keadaban publik ini.
Peradaban hanya bisa terbentuk jika Indonesia dan Malaysia memiliki tingkat kemajuan ekonomi berkeadilan. Selama masih banyak masyarakat Muslim yang miskin, jelas sulit berbicara tentang peradaban. Kebangkitan peradaban memerlukan pemanfaatan sumber daya alam secara lebih bertanggung jawab pula.
Dalam konteks terakhir, kaum Muslimin di Asia Tenggara perlu memberi contoh tentang penerapan Islamisitas secara aktual dalam penyelamatan alam lingkungan dan sumber daya alam. Di sini kaum Muslim harus memperkuat integritas diri pribadi dan komunitas sehingga dapat mengaktualkan Islam rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta. (zm)
Penulis adalah Guru Besar dan Rektor UIN Jakarta periode 1998-2006. Artikelnya dimuat dalam kolom Opini KOMPAS, Senin 19 September 2022, dan bisa diakses langsung di https://www.kompas.id/baca/bebas-akses/2022/09/19/kebangkitan-peradaban-memperkuat-optimisme-muslim-asia-tenggara-1