Kearifan, Pengakuan terhadap Minoritas

Kearifan, Pengakuan terhadap Minoritas

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Semua orang arif itu pintar, tetapi tidak semua orang pintar itu arif. Banyak orang pintar, tetapi seperti kurang ajar. Kearifan terjadi manakala kita mampu memberikan pengakuan terhadap orang yang berbeda dengan diri kita. Termasuk memberikan pengakuan terhadap kaum minoritas.

Pada saatnya memang selalu kita takjub kepada sosok kepribadian Nabi Muhammad SAW. Tidak ada yang meragukan bahwa masyarakat yang dihadapi Nabi, baik di Mekah maupun terutama di Madinah, ialah masyarakat yang sangat plural.

Di Madinah ada kelompok berdasarkan agama dan kepercayaan seperti komunitas agama Kristen Monofisit, Kristen Nestorian, Kristen Ortodoks, Yahudi, Zoroaster, Majusi, dan aliran-aliran kepercayaan lainnya. Dari segi etnik di sana ada suku Khazraj dan suku ‘Auz, serta kelompok pendatang lainnya karena di Kota Madinah banyak sekali pendatang dari luar seperti Persia dan Afrika.

Ditambah lagi dengan adanya kelompok berdasarkan politik, yakni kelompok yang menghendaki kehadiran Nabi Muhammad di Madinah, seperti dua etnik disebutkan di atas yang telah menjalin perjanjian damai dengan Nabi yang dikenal dengan Bai’ah ‘Aqabah pertama dan kedua, dan kelompok lainnya menolak kehadiran Nabi seperti minoritas Yahudi dan sekutu mereka dari kelompok minoritas Kristen.

Pada saat Nabi masuk di perbatasan Madinah untuk memenuhi undangan mereka, sudah mulai muncul masalah karena kedua sponsornya, yaitu suku Khazraj dan suku ‘Auz, sama-sama meminta Nabi untuk menetap di tengah suku mereka. Nabi dengan cerdasnya menyelesaikan persoalan itu dengan mengatakan kita nanti melihat unta saya di mana ia akan berlutut menurunkan saya.

Unta Nabi memutari Kota Madinah yang waktu itu relatif masih belum terlalu luas seperti sekarang. Luasnya kurang lebih sama dengan lingkaran parit (khandaq) yang pernah digali Nabi sebagai benteng. Unta Nabi berhenti di suatu tempat dan kebetulan di tempat pemberhentian unta itu di perbatasan kedua suku besar tadi. Akhirnya, kedua etnik itu menerima keputusan Nabi.

Nabi membaca Kota Madinah yang sedemikian kompleks dan menyimpan potensi konflik, terutama yang paling mendesak ialah mengalirnya pengungsi umat Islam dari Mekkah dan dari kota-kota lain mengikuti Nabi. Masyarakat sudah mulai terpola menjadi dua, yaitu kelompok pendatang (Muhajirin) dan kelompok pribumi (Anshar).

Sebelum terjadi konflik, Nabi segera melakukan program yang disebut gerakan persaudaraan (al-ikha’), yaitu mempersaudarakan antara kelompok pribumi dan pendatang dengan cara melakukan kawin-mawin antara keduanya. Laki-laki Muhajirin diserukan kawin dengan perempuan Anshar, demikian pula sebaliknya. Kedua kelompok masyarakat itu terjadi pembauran yang ideal.

Pengalaman Nabi tersebut bagus dicontoh untuk program transmigrasi dan kelompok migran lainnya di bumi Nusantara. Seandainya para transmigran atau kelompok imigran lainnya di suatu tempat melakukan kawin silang dengan suku atau etnik pribumi atau penduduk lokal setempat, ketegangan etnik yang sering membayangi negeri kita akan terselesaikan dengan permanen.

Banyak sekali para pendatang datang ke daerah hanya untuk menyedot kekayaan di daerah itu. Selesai disedot, pindah lagi ke daerah lain. Tanah dan potensi-potensi di daerah setempat dibeli dengan cara korupsi atau berkolusi dengan pemerintah daerah setempat. Akhirnya, penduduk setempat menjadi ‘penonton’ dan ’pembantu’ terhadap diri dan kepentingan orang yang berasal dari kota.

Hal itu mirip dengan apa yang dilakukan kolonialisme dahulu. Karena itu, masyarakat daerah seperti belum pernah merasakan kemerdekaan sejati untuk berdaulat di daerhanya sendiri. Mereka selalu merasa ada unsur luar yang menguasi dirinya sendiri.

Situasi seperti ini tidak mungkin terjadi kalau sejak dini kita menerapkan pengalaman positif yang dirintis Nabi Muhammad SAW. Pelajaran paling berharga yang kita bisa peroleh dari Nabi dalam kasus di atas ialah ketidakraguan Nabi untuk memberikan pengakuan terhadap berbagai kelompok minoritas di sana.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 April 2022. (sm/mf)