Keadaban Digital

Keadaban Digital

Prof Dr Abdul Mu'ti MEd, Guru Besar Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada 2021, perusahaan informasi teknologi raksasa Microsoft telah merilis hasil survei bertajuk Digital Civility Index (DCI). Survei dilakukan pada April-Mei 2020 di 32 negara dengan melibatkan 16 ribu responden.

Survei DCI dimaksudkan untuk mengetahui jenis konten yang diakses dan dibagi serta bagaimana perilaku responden ketika berselancar di dunia maya.

Ada 10 indikator yang menjadi fokus untuk menilai indeks keadaban digital tersebut. Ke-10 indikator itu meliputi hoaks, ujaran kebencian, diskriminasi, misogini, perundungan, memancing kemarahan (trolling), pelecehan terhadap kelompok marginal (microaggression), doxing, pornografi, dan terorisme.

Berdasarkan indikator itu, Microsoft menyimpulkan Indonesia ternyata menempati peringkat 29 dunia dengan indeks 76.

Indonesia juga berada pada posisi terendah di antara negara Asia Tenggara.

Itu menandakan keadaban bangsa Indonesia paling rendah. Hasil survei keadaban itu sungguh paradoks. Selama ini bangsa Indonesia dikenal ramah, sopan, santun, dan berkebudayaan tinggi.

Dari sudut pandang agama dan pendidikan, survei keadaban digital mengingatkan betapa bangsa Indonesia sekarang juga sudah jauh berubah. Apabila membaca suatu berita, kita dengan mudah menemukan komentar yang sangat kasar, kotor, vulgar, dan jauh dari kesantunan. Sungguh mencemaskan!

Perilaku yang buruk itu tidak hanya mencerminkan rusaknya keadaban, tetapi juga berpotensi merobek kerukunan bangsa.

Per Januari 2021, setiap hari, rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 14 menit untuk berinteraksi di media sosial dan 8 jam 52 menit asyik-masyuk di laman internet. Data di atas menunjukkan betapa teknologi digital telah menjadi bagian dari kehidupan.

Pada awalnya, teknologi diciptakan dan dikembangkan untuk membantu dan memudahkan manusia melakukan berbagai aktivitas. Akan tetapi, pemanfaatan dan penggunaan teknologi sangat bergantung pada pengguna. Di tangan manusia beradab, teknologi menjadi alat sangat bermaslahat. Sebaliknya, di tangan mereka yang tidak beradab, teknologi bisa mendatangkan mafsadat. Daya rusaknya sangat besar.

Agama Islam mengajarkan agar manusia senantiasa bertutur kata, bersikap, dan berperikaku terpuji. Berulangkali Alquran memerintahkan agar manusia bertutur kata mulia, baik, benar, lembut, bernas, dan berbagai ekspresi yang mendamaikan. Alquran melarang manusia membuang waktu percuma dengan perkataan dan perbuatan yang tidak berguna. Seorang mukmin akan meraih sukses, kebahagiaan, dan kemenangan bila meninggalkan perkataan dan perbuatan sia-sia (Al-Mukminun [23]: 3).

Nabi Muhammad mengajarkan agar kita meninggalkan qaul al-zur: perkataan yang kasar, kotor, dan tidak bermanfaat. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa berkata dan berbuat al-zur (padahal dia sedang berpuasa), maka Allah akan mengabaikan perbuatan, walaupun dia tidak makan (lapar) dan minum (dahaga). Maknanya, puasa seseorang akan sia-sia atau tidak sempurna.

Ramadan ialah momentum untuk kita membangun keadaban digital. Hakikat berpuasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum, bersetubuh, dan perbuatan yang membatalkan. Puasa juga berarti berhenti memaki, mencaci, menebarkan kebohongan, provokasi kebencian, perundungan, dan berbagai perbuatan yang merugikan. Sumber: Renungan Ramadan Media Indonesia, Senin, 11 April 2022. (sm/mf)