Kampus sebagai Ruang Sosial
Tantan Hermansah
Peristiwa bunuh diri mahasiswa, baik di tingkat sarjana di Jawa Barat (Kompas, 21/11) maupun pascasarjana spesialis di Jawa Tengah, di mana keduanya terjadi pada 2024, memaksa kita untuk merenungkan ekosistem kampus sebagai ruang sosial.
Memang, jika kita perdalam, lembaga pendidikan setingkat universitas yang sering didefinisikan sebagai ruang akademik, merupakan arena dialektika berbagai pemikiran rasionalitas objektif.
Rasionalitas dan objektivisme seperti menjadi ruh yang membuat seseorang seperti memiliki kebebasan untuk melakukan tindakan apapun.
Namun, dinamika di dalamnya juga menunjukkan kecenderungan yang perlu dikaji lebih dalam.
Sistem kampus sering kali menghasilkan tekanan akademik yang lebih mengutamakan individu daripada kelompok, menciptakan isolasi sosial bagi sebagian mahasiswa, dan akhirnya menghasilkan ruang-ruang kesendirian.
Dalam pandangan Henri Lefebvre (1991), ruang adalah hasil produksi sosial yang mencerminkan relasi kuasa yang dipengaruhi kekuatan ekonomi dan politik. Lefebvre membagi ruang sosial menjadi tiga dimensi utama.
Pertama, ruang representasi. Adalah ruang yang dimaknai sebagai tempat interaksi dan penciptaan makna sehari-hari. Pada ruang ini, setiap anggota di dalamnya saling menyamakan pemahaman yang mencakup simbol, emosi, dan pengalaman yang dialami di ruang tersebut.
Kedua, ruang yang dirancang, merupakan ruang yang mencerminkan kepentingan dan ideologi dominan melalui perencanaan arsitek atau kebijakan.
Di ruang ini setiap anggota diarahkan untuk menjadi “sesuatu” seperti ideologi dan keinginan pemilik ruang. Lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan umumnya masuk dalam kategori ruang ini.
Ketiga, ruang praktik spasial, yang melibatkan rutinitas dan penggunaan ruang oleh individu, sering kali melalui negosiasi atau konflik.
Di ruang ini setiap anggotanya bisa saling berebut atau kompromi sehingga setiap pihak bisa saling mendapatkan manfaat dari ruang tersebut.
Selanjutnya dalam kritiknya terhadap kapitalisme, Lefebvre menyoroti fragmentasi dan komersialisasi ruang yang mengubahnya menjadi alat kontrol dan eksklusi.
Dalam konteks kampus, gagasan ini mengingatkan bahwa ruang fisik seperti kelas, perpustakaan, dan asrama tidak hanya berfungsi untuk produktivitas akademik, tetapi juga harus mendukung pengalaman sosial yang inklusif.
Dengan memahami kampus sebagai ruang sosial dinamis, kebijakan yang lebih manusiawi dan komunitatif dapat dirancang untuk mencegah alienasi dan membangun ekosistem pendidikan yang memberdayakan seluruh civitas akademika.
Desain Ruang Sosial di Kampus
Kasus bunuh diri mahasiswa menunjukkan bahwa sebagian individu gagal melakukan proses integrasi sosial di kampus.
Ketidakmampuan ini bisa jadi disebabkan minimnya modal sosial bawaan, yakni ketika mereka belum menjadi mahasiswa, atau ekosistem kampus yang tidak inklusif.
Nir modal sosial dan ekosistem yang tidak mendukung itulah yang kemudian terakumulasi menjadi perasaan keterisolasian.
Sedangkan kampus, sebagai institusi pendidikan, tentu memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan ekosistem sosial yang mendukung pengembangan potensi individu sekaligus menanamkan empati sosial.
Dengan segala kapasitas dan kemampuannya, visi kampus harus betul-betul diterjemahkan dalam segala hal terkait proses pembelajaran.
Ekosistem kampus semestinya dirancang sedemikian rupa agar setiap individu memiliki ruang untuk menyalurkan minat, bakat, dan potensi secara positif.
Kampus dapat membangun kanal-kanal kegiatan yang mendorong kolaborasi, seperti kuliah kerja nyata (KKN), praktikum lapangan, dan proyek kelompok. Kolaborasi ini tidak hanya meningkatkan kapasitas individu, tetapi juga memperkuat modal sosial mahasiswa.
Namun, ruang sosial ini tidak seharusnya terbatas pada kegiatan akhir masa studi—seperti yang umum terjadi. Sejatinya, sejak dia mulai mahasiswa mulai mengenali dirinya sebagai bagian dari kampus, sekaligus bagian dari masyarakat.
Sejak dini, mereka perlu diajak terlibat aktif dalam berbagai ruang sosial, sehingga potensi mereka berkembang secara bertahap.
Di samping itu, pola pendidikan di kampus yang terlalu berorientasi pada aspek akademik semata perlu ditinjau ulang atau dipikirkan kembali.
Kampus harus mengintegrasikan pendekatan-pendekatan sosial ke dalam kurikulum. Sebagai contoh, pada mata kuliah yang saya ampu, selalu memasukkan program engagement bersama masyarakat seperti live-in.
Di mana kegiatan ini dilakukan dalam bentuk pelibatan mahasiswa dalam observasi sosial secara langsung. Diharapkan dengan proses ini dapat menjadi cara efektif untuk membangun empati sosial.
Program ini memungkinkan mahasiswa memahami teori yang dipelajari di kelas sekaligus mengaplikasikannya di lapangan, sehingga teori menjadi alat analisis yang relevan pada persoalan yang nyata dan realtime.
Kampus memiliki ruang yang luas untuk mendesain ekosistem sosial yang lebih inklusif. Dengan menambahkan dimensi sosial dalam proses pembelajaran, kampus dapat mengikis pandangan bahwa universitas adalah "menara gading."
Lebih jauh, kampus dapat berperan sebagai agen empati sosial yang mencetak individu-individu berkapasitas akademik sekaligus sosial.
Kini saatnya kita, sebagai bagian dari ekosistem kampus, merefleksikan bersama: apakah ruang sosial yang ada telah cukup memfasilitasi integrasi dan kolaborasi?
Jika belum, maka sudah waktunya kita menciptakan atau menemuka formula baru untuk menjadikan kampus sebagai ruang sosial yang inklusif, memberdayakan, dan relevan dengan masyarakat.
Penulis adalah Pengajar Sosiologi Perkotaan, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Kompas.com, Selasa 26 November 2024.