Kampus Hijau Dimulai dari Budaya Hidup

Kampus Hijau Dimulai dari Budaya Hidup

Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., PhD

 

Ketika tiga unit bus listrik kampus yang kami sebut Bilis, mulai beroperasi di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagian orang melihatnya sebagai penambahan fasilitas transportasi semata.

Padahal, kehadiran Bilis sesungguhnya membawa pesan yang jauh lebih mendasar: perubahan lingkungan tidak dimulai dari mesin, tetapi dari kesadaran manusia.

Teknologi hanyalah alat; budaya hiduplah yang menentukan arah peradaban. Dalam percakapan global tentang keberlanjutan, kampus sering disebut sebagai living laboratory, ruang hidup tempat gagasan etis, teknologi, dan kebiasaan sosial diuji secara nyata.

Perguruan tinggi tidak cukup mengajarkan teori pembangunan berkelanjutan di ruang kelas, tetapi perlu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari: dari cara energi digunakan, ruang hijau dirawat, hingga bagaimana sivitas akademika berpindah dari satu gedung ke gedung lain.

Teknologi dan Kesadaran Lingkungan

Transportasi listrik kini dipandang sebagai salah satu solusi penting dalam upaya menekan emisi karbon dan memperbaiki kualitas udara, terutama di kawasan perkotaan. International Energy Agency (IEA) dalam Global EV Outlook 2024 mencatat bahwa elektrifikasi transportasi publik berkontribusi signifikan dalam mengurangi polusi udara serta ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Namun laporan yang sama juga menegaskan satu hal krusial: teknologi hanya efektif jika dibarengi perubahan perilaku mobilitas masyarakat. Artinya, mengganti kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik saja tidak cukup.

Jika pola hidup tetap sama mengandalkan kendaraan untuk jarak dekat, menumpuk kendaraan di ruang sempit, dan mengabaikan opsi berjalan kaki, maka teknologi hijau berisiko menjadi sekadar kosmetik ekologis. Ia terlihat ramah lingkungan di permukaan, tetapi gagal menyentuh akar persoalan: cara manusia menggunakan ruang dan energi secara berlebihan.

Di sinilah tantangan sesungguhnya berada, bukan pada kecanggihan mesin, melainkan pada kesiapan budaya. Kampus memiliki posisi strategis dalam ujian ini.

Sebagai ruang pendidikan, kampus bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga arena pembentukan kesadaran. Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah kampus hanya menjadi etalase inovasi teknologi, atau benar-benar membangun etos ekologis di kalangan warganya?

Kesadaran lingkungan tidak tumbuh dari instruksi administratif semata, tetapi dari kebiasaan yang dipraktikkan secara konsisten. Karena itu, kehadiran Bilis kami posisikan sebagai fasilitas pendukung, bukan solusi tunggal. Ia membantu mobilitas sivitas akademika, terutama bagi mereka yang membutuhkan, sekaligus menjadi simbol komitmen institusi terhadap keberlanjutan.

Namun pesan yang lebih penting adalah ini: keberlanjutan menuntut perubahan cara hidup, bukan sekadar perubahan mesin. Teknologi boleh maju, tetapi tanpa kesadaran manusia, ia kehilangan makna etisnya.

Berjalan Kaki sebagai Budaya Akademik

Di tengah budaya serba cepat dan tuntutan efisiensi, berjalan kaki kerap dipandang sebagai pilihan yang sepele, bahkan tidak produktif. Mobilitas ideal sering diukur dari kecepatan dan kemudahan, bukan dari dampaknya terhadap kualitas hidup.

Padahal, berbagai riset mutakhir justru menunjukkan bahwa berjalan kaki memiliki manfaat yang jauh melampaui sekadar perpindahan fisik.

Studi dalam Journal of Transport & Health (2023) menegaskan bahwa lingkungan kampus yang mendorong aktivitas berjalan kaki berkorelasi positif dengan kesehatan mental, penurunan stres akademik, serta peningkatan interaksi sosial antarwarga kampus.

Lebih dari sekadar aktivitas jasmani, berjalan kaki memiliki makna akademik dan filosofis yang mendalam. Dalam sejarah intelektual, berjalan sering menjadi bagian integral dari proses berpikir. Para filsuf Peripatetik berdiskusi sambil berjalan, karena gerak tubuh diyakini membantu kejernihan pikiran dan keluwesan argumentasi.

Tradisi ini mengingatkan kita bahwa berpikir tidak selalu lahir dari duduk diam di balik meja, tetapi juga dari perjumpaan dinamis antara tubuh, ruang, dan gagasan.

Di lingkungan kampus, berjalan kaki memperlambat ritme yang terlalu tergesa. Ia membuka ruang dialog spontan antara dosen dan mahasiswa, memungkinkan percakapan yang lebih egaliter, dan memperkuat rasa kebersamaan sebagai komunitas ilmiah.

Kampus yang ramah bagi pejalan kaki secara tidak langsung membangun budaya keterbukaan dan kebersamaan—dua prasyarat penting bagi iklim akademik yang sehat. Dengan berjalan kaki, kita tidak hanya mengurangi emisi karbon dan kepadatan kendaraan, tetapi juga merawat tubuh, pikiran, dan relasi sosial.

Kampus yang sehat secara fisik akan lebih siap melahirkan pemikiran yang jernih dan produktif.

Dalam jangka panjang, budaya berjalan kaki bukan sekadar pilihan mobilitas, melainkan bagian dari etika akademik yang menempatkan kesehatan manusia dan kualitas interaksi sebagai inti dari proses pendidikan.

Konsep green campus kerap direduksi menjadi daftar indikator teknis: jumlah panel surya, pengelolaan air, atau armada kendaraan listrik.

Semua itu penting, tetapi belum menyentuh akar persoalan. Fritjof Capra dalam The Systems View of Life (2015) mengingatkan bahwa krisis lingkungan bersumber dari cara berpikir yang terfragmentasi, memisahkan teknologi dari nilai, dan kebijakan dari etika.

Karena itu, kampus hijau sejatinya adalah kampus beradab.

Kampus yang menempatkan keberlanjutan sebagai bagian dari etika hidup bersama.

Ia ramah bagi pejalan kaki, inklusif bagi difabel, aman, dan nyaman sebagai ruang belajar. Ia mendidik melalui keteladanan, bukan sekadar kampanye.

Edgar H. Schein dalam Organizational Culture and Leadership (2017) menegaskan bahwa budaya institusi dibentuk oleh praktik yang diulang setiap hari, bukan oleh slogan. Ketika dosen, pimpinan, dan mahasiswa terbiasa memilih opsi yang lebih ramah lingkungan, pesan pendidikan itu bekerja secara diam-diam namun efektif.

Sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam, UIN Jakarta memandang keberlanjutan sebagai bagian dari amanah moral.

Etika Islam menempatkan manusia sebagai penjaga bumi, bukan pemilik mutlak. Prinsip moderasi dan tanggung jawab menuntut penggunaan sumber daya secara proporsional dan berkelanjutan, bukan berlebihan, bukan pula abai.

Tiga unit Bilis yang kini beroperasi di lingkungan UIN Jakarta adalah simbol komitmen, bukan tujuan akhir. Ia memudahkan mobilitas sivitas akademika, tetapi sekaligus mengundang pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana kita bersedia mengubah kebiasaan hidup kita sendiri?

Kampus hijau tidak lahir dari satu kebijakan atau satu fasilitas baru, melainkan dari konsistensi langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama dan diulang setiap hari. Tanpa perubahan perilaku, teknologi ramah lingkungan akan berhenti sebagai ornamen modernitas.

Sering kali kita mengira bahwa kemajuan cukup diukur dari apa yang kita tambahkan: gedung baru, kendaraan baru, sistem baru. Padahal, keberlanjutan justru menuntut keberanian untuk mengurangi, mengurangi ketergantungan pada kendaraan, mengurangi pola hidup yang terlalu cepat, dan mengurangi jarak sosial yang tercipta oleh rutinitas yang mekanistik.

Kampus sebagai ruang pendidikan seharusnya menjadi tempat pertama di mana kesadaran semacam ini tumbuh.

World Health Organization (WHO) dalam Global Status Report on Physical Activity (2022) mengingatkan bahwa kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular pada usia produktif.

Dengan mendorong budaya berjalan kaki dan mobilitas aktif, kampus sesungguhnya sedang berinvestasi pada kesehatan jangka panjang sivitas akademika, sebuah investasi yang sering luput dari perhitungan pembangunan karena hasilnya tidak instan dan tidak selalu terlihat.

Saya membayangkan kampus sebagai ruang hidup, bukan sekadar ruang kerja. Tempat orang bergerak, berjalan, berinteraksi, dan belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga dari lingkungan yang membentuk kebiasaan.

Antropolog Tim Ingold dalam Being Alive (2011) menulis bahwa manusia membentuk dunia melalui cara ia bergerak di dalamnya. Gerak tubuh bukan sekadar perpindahan, tetapi cara manusia berelasi dengan ruang, waktu, dan sesama.

Akhirnya, kampus hijau bukan proyek sesaat yang selesai ketika fasilitas diresmikan. Ia adalah proses panjang membangun kesadaran, kebiasaan, dan keteladanan.

Jika kita mampu memulai dari diri sendiri dari langkah-langkah kecil yang konsisten, maka UIN Jakarta tidak hanya menjadi kampus ramah lingkungan, tetapi kampus yang berkelanjutan, sehat, dan beradab.

Dan barangkali, yang perlu kita renungkan bersama bukanlah seberapa canggih fasilitas yang kita miliki, melainkan ke arah mana kaki kita melangkah, dan nilai apa yang kita bawa dalam setiap langkah itu.

Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Disway.id, Jumat, 26 Desember 2025