Kaleidoskop Politik 2024
Adi Prayitno
Beragam peristiwa politik aktual yang terjadi sepanjang 2024 sangat membetot perhatian publik.
Namun, jika diringkas secara sederhana, ada dua peristiwa politik yang paling fenomenal, yakni pecah kongsi Joko Widodo (Jokowi) dan PDI-P serta terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden ke-8 RI.
Peristiwa politik lain, seperti pemilihan kepala daerah serentak nasional di 545 daerah seluruh penjuru Tanah Air, terkesan landai dengan tingkat partisipasi politik rendah.
Tentu tak ada yang menyangka hubungan Jokowi dan keluarga besarnya harus berakhir tragis dengan PDI-P. Kebersamaan selama 23 tahun porak-poranda tanpa bekas.
Keretakan berawal dari manuver Jokowi yang membangkang terhadap keputusan PDI-P di Pilpres 2024. Alih-alih mendukung Ganjar Pranowo, jagoan PDI-P, Jokowi justru merestui putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo, meski saat itu status Gibran masih kader Banteng.
Tak ada yang percaya Jokowi melakukan akrobat politik maha-ekstrem yang tak pernah dilakukan politisi mana pun sebelumnya. Jokowi bukan hanya melawan partainya, melainkan juga berkongsi dengan Prabowo yang notabene rival politiknya selama dua periode pemilu.
Jokowi cukup fenomenal sebab tikungan politiknya sangat tajam. Bahkan bisa disebut, ia satu-satunya presiden di negara ini yang bersitegang dengan partainya sendiri.
Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, terlihat tak memiliki persoalan apapun dengan partai yang membesarkannya. Gus Dur memang bersitegang dengan Muhaimin Iskandar terkait urusan legalitas kepengurusan partai, tetapi tidak dengan PKB.
Banyak pihak berspekulasi soal motif Jokowi melawan PDI-P. Mulai dari keinginan Jokowi menunjukkan dirinya sebagai king maker politik, tidak terima selalu diremehkan sebagai ”petugas partai”, hingga soal dugaan ia ingin melanggengkan dinasti politik.
Apapun dalihnya, Jokowi sudah resmi ditalak PDI-P. Tragis dan menyedihkan.
Berkongsi dengan rival
Selain berseberangan dengan PDI-P, Jokowi pada Pemilu 2024 berkongsi dengan Prabowo, rival politiknya pada dua pilpres sebelumnya.
Nyaris tak ada peristiwa politik serupa di negara mana pun, di mana dua seteru politik yang bersaing keras selama sepuluh tahun, bisa bersatu. Koalisi acak, koalisi fleksibel, bahkan koalisi tanpa pola hanya menjadi ciri khas politik Indonesia yang menganut sistem presidensialisme multipartai (Dan Slater, 2018).
Jokowi ingin menunjukkan kelas politiknya sebagai presiden, bukan lagi petugas partai. Sepanjang masa kampanye pilpres, Jokowi sibuk menunjukkan gestur keberpihakan kepada Prabowo-Gibran.
Efek endorsement Jokowi sebagai presiden terbukti ampuh memberikan faedah elektoral yang signifikan. Berbagai survei mengungkapkan fakta di mana masyarakat yang mengaku puas dengan kinerja Jokowi, terutama dengan program bansos, cenderung mendukung Prabowo-Gibran ketimbang calon lain. Ini yang disebut efek memutar dari Jokowi ke calon yang didukung.
Persekutuan dengan Prabowo tampaknya juga dijadikan ajang pembuktian Jokowi unjuk kehebatan sekaligus berupaya mempermalukan PDI-P dalam tiga hal sekaligus.
Pertama, mengalahkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam satu putaran pilpres. Kedua, menghabisi perolehan suara PDI-P di pemilihan legislatif. Ketiga, meloloskan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) —yang saat itu diklaim sebagai satu-satunya ”partai Jokowi”— ke parlemen, untuk menggembosi basis suara pemilih Jokowi yang masih gamang bersama PDI-P.
Di pilpres, PDI-P terbukti hancur lebur. Ganjar Pranowo -Mahfud MD berada di peringkat bawah dengan perolehan suara sekitar 16,47 persen, jauh di bawah perolehan suara Prabowo-Gibran yang mencapai 58,58 persen.
Akan tetapi, di pemilu legislatif, suara PDI-P tetap digdaya sebagai pemenang meski perolehan suaranya turun sekitar 3 persen dibandingkan hasil Pemilu Legislatif 2019.
Tentu yang paling tragis adalah PSI tak lolos ke parlemen. Padahal upaya keras untuk meloloskan PSI ke Senayan cukup terasa dengan mengamplifikasi PSI sebagai partai Jokowi serta mendapuk Kaesang Pangarep—putra bungsu Jokowi—sebagai ketua umum partai.
Yang diuntungkan dari efek perang saudara antara Jokowi dan PDI-P secara politik adalah Prabowo yang terpilih sebagai presiden. Mungkin sudah suratan takdir, salah satu faktor kunci penyebab Prabowo menang pilpres adalah koalisi total dengan Jokowi, mantan pesaing politiknya.
Prabowo presiden
Prabowo terpilih menjadi presiden tentu menjadi kalender politik paling viral sepanjang tahun politik 2024. Setelah melalui perjuangan politik yang cukup panjang, berliku, dan mendaki, akhirnya ketua umum Partai Gerindra itu menang pilpres.
Jalan Prabowo menjadi orang nomor satu di republik ini terbilang heroik. Sejak 2004, Prabowo bermimpi menjadi presiden melalui konvensi Golkar.
Meski kalah konvensi, mantan Danjen Kopassus ini mendirikan Partai Gerindra di 2008 sebagai kendaraan politik maju Pilpres 2009 berpasangan dengan Megawati, tetapi kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla. Prabowo kembali kalah di Pilpes 2014 dan 2019 dari Jokowi.
Slogan tentara tak pernah mati (soldier never die) sangat melekat pada sosok Prabowo. Butuh 20 tahun bagi mantan Menteri Pertahanan ini tampil sebagai pemenang.
Prabowo membuktikan bahwa ”tidak ada kematian abadi dalam politik”.
Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Koran Kompas, 31 Des 2024.