Ka`bah: Rumah Pembebasan

Ka`bah: Rumah Pembebasan

Prof. DR. KH Nasaruddin Umar

 

Ka’bah juga dikenal sebagai rumah pembebasan (Bait al-‘Atiq). Disebut demikian karena kehadiran bangunan suci Ka’bah sesungguhnya adalah simbol pembebasan.

Ketika Adam dan hawa melanggar peraturan surga lalu keduanya dijatuhkan ke bumi penderitaan dari langit kebahagiaan. Pada saat itulah Allah Swt menginstruksikan Malaikat untuk membuatkan rumah pertobatan atau rumah pembebasan bagi Adam dan Hawa.

Ka’bah adalah makhluk syurgawi yang diutus untuk men­jemput anak manusia di bumi penderitaan untuk kembali ke syurga kebahagiaan. Ka’bah berfungsi untuk menenangkan kembali hati dan pikiran Adam dan Hawa beserta anak cucunya yang jiwanya bergejolak sebagai kekhilafan yang baru dilakukannya.

Yang lebih penting, Ka’bah mendekatkan kembali anak manusia setelah berjauhan dari Tuhannya. Tidak ada bentuk penderitaan paling pedih selain hamba berjarak dengan Tuhannya. Itulah sebabnya Allah Swt menurunkan sebuah ayat dalam rangkaian drama kosmik di dalam surah al-A’raf berikut ini:

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itu­lah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Q.S. Al-A’raf/7:26).

Jalan penyelamatan setelah tersesat karena pelanggaran ialah menutupi aurat sebagai simbol dosa dan kemaluan. Penutup aurat dan sekaligus dilengkapi dengan perhiasan dan aksessoris ialah pakaian ketakwaan (libas al-taqwa). Pakaian ketakwaan inilah yang mampu menutupi aurat kelemahan dan dosa kita sebagai umat manusia.

Renungkan kembali ketika kita mandi ihram sebelum menunaikan haji. Kita telanjang bulat. Kemudian kita membersihkan diri dengan air dalam bentuk mandi su­nat untuk ihram. Setelah itu kita menggunakan pakaian khusus yang membalut lekuk-lekuk tubuh kita. Sepotong kain ihram putih tak berjahit, sekaligus mengingatkan kita sebagai pakaian di dalam liang lahat. Tidak ada satupun menyertai kita selain selembar kain itu. Tidak ada atribut, pangkat dan jabatan. Tidak ada juga berbagai jenis harta kekayaan yang kita miliki. Pakaian ketakwaan tidak pernah hancur bersama hancurnya tubuh sekalipun. Pakaian ini yang menyertai dan sekaligus membela kita sepanjang zaman di akhirat kelak.

Pelajaran berharga yang kita peroleh dari drama kosmik ini ialah kita tidak boleh jatuh di dalam lubang yang sama seperti kata pepatah. Ayat Al-Qur’an juga menyatakan hal yang sama:

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya paka­iannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (Q.S. Al-A’raf/7:27).

Perjalanan ibadah haji bagaikan napak tilas siklus per­jalanan kosmik. Kita seolah menjadi pemeran utama di dalam drama kosmik itu. Dan yang amat penting, kita terasa berada di dalam perjalanan pulang ke kampung halaman rohani kita di syurga, tempat nenek moyang kita Adam dan Hawa diciptakan.

Tempatnya para Nabi dan para kekasih Tuhan yang lainnya. Bahkan kita pun merasa bagian dari kekasih Tuhan yang diundang secara khusus ke rumah-Nya, Baitullah, rumah pembebasan (Bait Al-‘Atiq). (rm.id/zm)

 

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal. Artikelnya dimuat Tangsel Pos, Jumat 15 Juli 2022.