Jurnalis Harus Patuhi Kode Etik Jurnalistik
Teater Gedung FDIK, BERITA UIN Online— Jurnalis dituntut mampu memahami dan mematuhi kode etik pers dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya. Jurnalis sendiri memiliki peran penting dalam pemenuhan hak asasi atas informasi sehingga diperlukan perlindungan jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Demikian benang merah presentasi ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jentera, Bivitri Susanti SH LLM, dalam seminar bertajuk Jurnalis Melek Hukum: Menyuarakan Kebenaran dengan Tanggung Jawab. Seminar digelar Prodi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) UIN Jakarta di ruang teater lantai 4 Gedung FDIK, Selasa (20/06/2023).
Bivitri menuturkan peran jurnalis dan media yang menaungi sejatinya tumbuh dalam negara demokrasi dimana di Indonesia sendiri diatur dalam UUD 1945 yang mengatur kebebasan berpendapat. Pasal 28 pada UUD 1945 misalnya menegaskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pkiran dengan lisan dan tulisan.
Kehadiran jurnalis dan media, sambungnya, diperlukan untuk memenuhi hak asasi atas informasi publik “Dan karenanya, perannya penting untuk dijaga dalam hal mendapatkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi,” ujarnya.
Meski begitu, sambungnya, seorang jurnalis dituntut memahami dan memperhatikan regulasi dan kode etik profesionalnya. “Meskipun dilindungi oleh undang-undang, tetap saja setiap jurnalis harus paham akan prinsip dan kode etik (jurnalistik, red.),” tandasnya.
Diantara prinsip kode etik jurnalis maupun institusi persnya adalah keharusan menimbang kelayakan sebuah informasi saat akan disajikan. “Pers tentunya tidak boleh menyebarkan berita bohong di publik karena ini tidak sesuai dengan prinsip dan kode etik jurnalistik,” paparnya.
Bivitri menuturkan, perlindungan jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meski demikian, upaya perlindungan masih perlu terus dilakukan.
Realitas di lapangan seperti disebutkan Amnesty Internasional Indonesia menyebutkan masih ditemukannya ancaman terhadap jurnalis dan institusi persnya. Menurut Lembaga ini, terjadi 133 kasus serangan dengan 225 korban jurnalis dan media sepanjang tahun 2022 di Indonesia.
Di sisi lain, regulasi seperti Undang-Undang ITE juga menjerat 20 jurnalis atas alasan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Padahal sejatinya pelaporan jurnalistik para insan pers harus diletakkan dalam bentuk kritik lazimnya di sebuah negara demokrasi.
"Kritik itu perlu. Karena kalau tidak ada kritik, maka tidak akan ada demokrasi. Dan yang memampukan kritik itu adalah informasi yang didapatkan oleh tim jurnalistik," tuturnya.
Seminar berlangsung lancar dimana para mahasiswa Prodi Jurnalistik maupun mahasiswa jurusan dan fakultas lain mengikuti seminar hingga berakhir. Seminar yang dipandu Pranata Humas Kementerian Perhubungan Intan Widhi Astuti ini dihadiri Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum FDIK Dr Rubiyanah MA dan Kaprodi Jurnalistik Dr Bintan Humeira M.Si.
Dalam sambutannya Rubiyanah berharapan seminar menambah wawasan mahasiswa tentang kerja jurnalistik, regulasi, maupun kode etik yang harus dipatuhi jurnalis maupun institusi persnya.
“Diharapkan mahasiswa memiliki bekal pengetahuan praktis tentang hukum dalam dunia pers, seperti UU ITE, UU Pers, kode etik jurnalistik dan lainnya sehingga mereka aware tentang resiko, hak dan kewajiban dalam menulis dan menyebarkan berita,” paparnya. (Ni Rahma/DF/ZM)
