Jamuan Makalah Terakhir dan Kenangan Bersama Kak Edi

Jamuan Makalah Terakhir dan Kenangan Bersama Kak Edi

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA.  

Almarhum Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. Phil., MA., CBE, yang bagi komunitas Ciputat akrab  disapa dengan Kak Edi, merupakan sosok yang sangat berpengaruh tidak hanya di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tetapi Nusantara dan bahkan dunia. Panggilan akrab ini kemudian sudah menjadi satu kesatuan dengan diri Kak Edi karena beliau merasa senang kalau dipanggil dengan panggilan tersebut. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Kak Edi tampak tidak begitu nyaman kalau dipanggil terlalu lengkap dengan gelar yang berderet. Kak Edi lebih senang menggunakan kata CBE di belakang namanya, yaitu Azyumardi Azra, CBE (Commander of the Order of British Empire). Lebih dari itu, Kak Edi merupakan sosok ilmuwan sejati dan cendekiawan yang disegani oleh berbagai kalangan, namun tetap sederhana dan disiplin. Karena itu, Kak Edi layak disebut sebagai sosok yang memiliki integritas dan multitalenta.

Kini, sosok yang multitalenta tersebut telah tiada. Ia berpulang ke haribaan Yang Maha Kuasa, Ahad 18 September 2022 lalu, di rumah sakit Serdang, Kuala Lumpur, Malaysia, ketika akan mempresentasikan makalahnya di acara Persidangan Antarbangsa bertajuk “Kosmopolitan Islam: Mengilham Kebangkitan Islam, Meneroka Masa Depan.” Kak Edi mengalami sesak nafas ketika pesawat baru akan mendarat di Kuala Lumpur, yang kemudian dibantu oleh temannya yang kebetulan bertemu di pesawat. Setelah dibawa ke rumah sakit Serdang, dekat bandara, Kak Edi langsung ditangani oleh dokter dan dibantu oleh Duta Besar Indonesia di Malaysia untuk membantu segala sesuatu yang diperlukan. Namun, nyawa Kak Edi tidak dapat diselamatkan. Ia kembali ke haribaan Yang Maha Memiliki Ruh, Allah SWT yang ternyata lebih menyayangi Kak Edi.

Diketahui, almarhum sedianya akan mempresentasikan makalah pada hari Sabtu 17 September 2022 di Kajang Malaysia. Makalah yang akan dipresentasikannya berjudul, “Nusantara Untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Muslim Asia Tenggara”. Makalah ini sudah dikirim beberapa saat sebelum Kak Edi sendiri berangkat ke Kuala Lumpur. Belakangan, makalah ini kemudian beredar luas di berbagai media setelah beliau wafat, terutama melalui media sosial. Salah satu kehebatan almarhum adalah kecepatannya membuat makalah dan komitmennya untuk selalu menulis setiap ada undangan seminar atau konferensi lengkap dengan catatan kakinya. Sosok yang sulit dicari tandingannya untuk saat ini.

Bahkan, tentang kecepatan dan kemampuannya menulis makalah, Prof. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta periode 2006-2010 & 2010-2015, red.) dengan nada bercanda mengatakan bahwa jika kepala Azyumardi didekatkan ke printer, maka akan keluar ribuan lembar tulisannya. Ternyata makalah yang akan dipresentasikan di Kuala Lumpur merupakan makalah yang terakhir dan sekaligus makalah yang mendahului orangnya. Maksudnya, meski penulisnya sendiri tidak mampu membacanya, namun makalahnya tetap hadir di persidangan antarbangsa. Ini adalah suatu kejadian yang sangat langka, yakni kita disuguhi jamuan makalah terakhir Kak Edi dengan sebuah judul yang sangat optimistik untuk meneroka masa depan Nusantara.

Jamuan intelektual terakhir ini tentu sangat layak disebut sebagai bukti bahwa Kak Edi selalu memberikan gizi intelektual bagi bangsa dan umat. Makalah terakhir Kak Edi seakan-akan berkata, “Teruskanlah perjuanganku karena aku sudah membuktikan bahwa kendati orangnya sudah tidak ada, namun intelektualitasnya masih hidup.” Inilah pesan yang amat kuat dalam jamuan makalah Kak Edi dan sekaligus  perjalanan alfa dan omega Azyumardi Azra, CBE. Makalahnya tetap sampai di forum persidangan antarbangsa di Kuala Lumpur kendati orangnya tidak hadir. Pesan ini tentu mengisyaratkan agar para intelektual, akademisi, dan aktivis untuk selalu menjaga ruh intelektualitas, independen, berani, dan produktif.

Kini, Kak Edi sendiri tengah menikmati alam yang berbeda dengan alam kita. Yakinlah bahwa alam yang Kak Edi tempati sekarang jauh lebih nyaman dan menyenangkan dibandingkan dengan alam kita. Kak Edi sedang bersama dengan ruh para nabi dan wali, menikmati jerih payahnya selama hidup 67 tahun di alam dunia. Ketahuilah bahwa ruh Kak Edi juga sedang membaca komentar kita di berbagai media, baik cetak maupun non-cetak. Jadi, jangan berhenti berkomentar dan berdoa untuk Kak Edi agar ruh Kak Edi tetap aktif dan nyaman di alam sana.

****

Pertemuan penulis dengan Kak Edi sejatinya dimulai sejak tahun 1982. Ketika itu, penulis sudah menjadi mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Di saat yang sama, penulis juga berkegiatan di HMI dan sering mengikuti diskusi dengan Kak Edi. Bahkan, beberapa kali penulis bersama teman berkunjung ke rumahnya di Pisangan, Ciputat. Setelah Kak Edi kembali dari tugas belajarnya di Columbia University, penulis semakin sering berkomunikasi, terutama ketika ikut perkuliahan Sejarah Peradaban Islam di Pascasarjana UIN Jakarta. Sebagai dosen, Kak Edi sangat disiplin ketika mengajar dan tepat waktu. Jika ada mahasiswa yang terlambat tanpa alasan, ia bakal langsung diminta menutup pintu dari luar.

Komunikasi kami semakin intens ketika saya terpilih menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Waktu itu, Kak Edi sendiri menjadi Rektor. Dari komunikasi ini, penulis menangkap kesan Kak Edi merupakan sosok yang jika menginginkan sesuatu sangat determinan. Ingin segera berhasil. Salah satunya ketika Kak Edi mengupayakan perubahan IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta sekaligus mendorong perubahan fisik kampus, yang kata Prof. Malik Fajar, sulit dibedakan antara pabrik kaos dan kampus. Dan, perubahan IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta pun berhasil dilakukan dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 031 Tahun 2002 yang menjadi payung hukum perubahan tersebut.

Keberhasilan Kak Edi mendorong perubahan IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta menjadikannya layak disebut sebagai pelopor utama perubahan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dari STAIN-IAIN menjadi UIN. Kepeloporan ini memberikan pengaruh signifikan bagi wajah PTKIN dengan hadirnya PTKIN berstatus UIN sebanyak 29 UIN di seluruh Indonesia. Semua ini tentu tidak dapat dilepaskan dari kegigihannya memperjuangkan transformasi UIN. Perubahan yang tidak semata bersifat kelembagaan, melainkan juga keunikan bidang ilmu yang ditawarkannya. Karena itu, pada setiap kesempatan, Kak Edi selalu mengatakan bahwa Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Sains dan Teknologi di UIN memiliki keunggulan akademik dan spiritual dibandingkan dengan fakultas serupa di perguruan tinggi umum.

Transformasi IAIN menjadi UIN juga yang dipelopori almarhum tidak hanya secara formal dan fisik, melainkan juga perubahan budaya belajar dan cara berpikir (mindset). Salah satu bukti perubahan budaya belajar terlihat dari mahasiswa yang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran. Budaya belajar di fakultas ini menjadikan mahasiswanya hampir tidak memiliki waktu luang untuk sekadar bermain dan bercanda karena jadwal kuliah yang sangat padat, ditambah dengan tugas individu dan tugas kelompok. Sehari-hari mereka biasa pulang malam hari dan sampai di rumah atau kontrakan pun masih perlu mengerjakan tugas. Karena itu, sulit diharapkan mahasiswa kedokteran untuk ikut demonstrasi atau aktif kegiatan di luar mata kuliah inti. Budaya belajar seperti ini kemudian menjalar ke beberapa fakultas lain, yang lebih fokus pada pencapaian prestasi akademik. Inilah salah satu bukti bahwa transformasi IAIN ke UIN turut menghadirkan perubahan besar dalam segala aspek kehidupan kampus.

Kesan lain penulis tentang Kak Edi adalah sosoknya yang begitu peduli pada pengembangan kualitas sumber daya manusia di lingkungan IAIN/UIN. Ini ketika di masa Kak Edi menjabat Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta, digelar program pembibitan dosen. Penulis sendiri dimintanya langsung menjadi manajer pembibitan dosen yang kala itu berlokasi di Wisma Sejahtera (Gedung Perpustakaan lama). Tugasnya, mengelola kelas bahasa Inggris dan bahasa Arab selama enam bulan, dimana pesertanya dipersiapkan belajar ke berbagai perguruan tinggi tujuan. Bagi peserta yang diterima aplikasi beasiswa studinya ke perguruan tinggi luar negeri, ia akan diberikan kursus intensif bahasa lagi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh masing-masing negara atau perguruan tinggi yang dituju. Inilah salah satu bentuk kepedulian Kak Edi dalam mempersiapkan sumber daya pengajar terbaik di lingkungan IAIN/UIN.

Selain itu, Kak Edi sendiri merupakan rektor yang dipilih langsung oleh seluruh elemen kampus. Cerita ini dimulai ketika Rektor IAIN Jakarta kala itu, Prof. Quraish Shihab, diangkat menjadi Menteri Agama, sedang Plt. Rektor dipercayakan kepada Prof. Ahmad Sukarja. Tidak lama kemudian diadakan pemilihan rektor definitif lewat senat plus, yaitu melibatkan dosen dan perwakilan mahasiswa. Sebagai panitia pemilihan, saya menyaksikan sendiri bagaimana Kak Edi muncul sebagai pemenang dengan meraih suara terbanyak pemilih dari perwakilan mahasiswa, dosen, dan senat. Kemenangan yang mengantarnya menjadi Rektor UIN Jakarta periode pertama, periode 1998-2002. Pada periode kedua, saya diminta untuk konsolidasi pemilihan guna menyukseskan Kak Edi sebagai Rektor dengan mendorong raihan suara terbanyak di tingkat senat. Pada pemilihan rektor yang cukup berat karena berkompetisi dengan calon berkaliber nasional, seperti Prof. Din Syamsuddin dan Prof. Nasaruddin Umar, Kak Edi berhasil meraih suara terbanyak hingga menjadikannya Rektor UIN Jakarta untuk periode kedua, 2002-2006. Keterpilihan ini membuktikan Kak Edi merupakan sosok pemimpin yang banyak diinginkan dan dipilih sebagian besar warga kampus sendiri.

Hal lain yang penulis tangkap dari sosok Kak edi adalah kemampuannya menata pikiran dan tindakannya. Satu waktu, saya yang kala itu menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin dan beliau menjabat Rektor menghadapnya untuk satu keperluan fakultas di ruangannya di gedung rektorat. Saat masuk ke ruangannya, ia terlihat sedang marah-marah kepada salah seorang Kepala Biro yang duduk di depannya. Namun hebatnya, setelah mempersilahkan masuk dan duduk, Kak Edi tetap mengetik dan meneruskan marahnya diselingi diskusi dengan penulis. Dalam hati, saya membatin, ini orang multi-tasking karena bisa melakukan tiga pekerjaan dalam waktu bersamaan, yaitu mengetik di komputer, marah-marah, dan berdiskusi. Inilah kenangan yang sangat berkesan dan sampai sekarang penulis masih heran bagaimana dia mengelola dirinya seperti itu.

Akhirnya, Kak Edi sangat layak disebut sebagai sosok yang multitalenta, multidisiplin, dan multi-tasking, dengan kiprahnya yang luar biasa dan perlu kita teruskan perjuangannya. Selamat jalan Kak Edi menuju alam keabadian, semoga ruh Kak Edi berada di sisi Yang Maha Memiliki ruh.

   

Ciputat, 23 September 2022

Penulis adalah Guru Besar Filsafat Islam UIN Jakarta.